Perppu Cipta Kerja Vs UU Cipta Kerja: Setali Tiga Uang?

Ilustrasi Perppu Cipta Kerja (pic: detiknews.com)


Ketika modal besar tak dimiliki rakyat jelata maka sampai kapan pun mereka hanya akan menjadi buruh di negeri sendiri namun setidaknya mereka menginginkan haknya tidak dikurangi


Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja pada Desember tahun lalu, untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2021.

Publik menilai Undang-Undang Cipta Kerja telah kalah di MK, sehingga wajib diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun karena tidak memegang asas keterbukaan pada publik. Apalagi MK juga menilai metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.


Libur bagi pekerja

Meskipun putusan MK telah mewajibkan pemerintah melakukan perbaikan terhadap isi UU Cipta Kerja dalam jangka waktu yang ditentukan. Namun tampaknya pemerintah tetap ngeyel mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja daripada mendorong revisi Undang-undang Cipta Kerja. Padahal isi Perppu sebetulnya tidak beda jauh dengan UU Cipta Kerja, yakni agar investor banyak masuk ke Indonesia sehingga roda ekonomi terus berjalan.

Banyaknya protes dari masyarakat, tak membuat pemerintah bergeming. Hingga melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tetap menyatakan Perppu Cipta Kerja sah karena antisipasi ancaman situasi ekonomi global. 

Investor yang masuk ke suatu negara telah lama dianggap sebagai syarat peningkatan ekonomi. Apalagi ketika sebuah negara dalam kondisi utang menggelembung, maka diperlukan suatu cara demi menyelamatkan ekonomi. Ketika warga negara tak bisa diharapkan mampu mendukung sebuah ekonomi dan investasi, maka tak ada cara lain selain mengharapkan modal investasi dari luar.

Perppu Cipta Kerja bukan hanya mencakup tentang investor luar negeri, namun juga investor dalam negeri, terutama yang berkaitan dengan perusahaan. Diperlukan satu cara agar para pengusaha tetap dapat menjalankan usahanya, dan tidak ngambek dengan kelakuan para pekerja, sebab pengusahalah yang memiliki modal.

Dari kacamata pengusaha, Perppu Cipta Kerja sangat menguntungkan, memberi imbal balik yang positif bagi perusahaan. Sebab dalam Perppu jelas disebutkan bahwa pekerja hanya berhak libur satu hari dalam seminggu. Jelas roda perusahaan akan berjalan efektif tanpa libur yang terlalu banyak.

Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, pekerja berhak menikmati libur dua hari, yakni Sabtu dan Minggu. Namun setelah Omnibus Law dikeluarkan, maka libur berkurang menjadi hari Minggu saja. Jadi meskipun pemerintah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, toh tak ada bedanya diantara keduanya, yakni libur bagi tenaga kerja hanya satu hari yaitu Minggu saja. Secara teori memang ada hari libur. Namun secara praktek di lapangan, terkadang buruh atau karyawan bekerja melebihi batas waktu, sehingga hari libur pun dijalani. 


Pesangon dan uang penghargaan masa kerja

Dari kacamata pekerja, Perppu Cipta Kerja dianggap tidak menguntungkan sama sekali, sebab hanya memihak pengusaha, alasan itu berdasar pada aturan yang terdapat didalamnya.

Pesangon bagi karyawan yang terkena PHK atau pensiun, jelas dianggap merugikan pekerja karena dikurangi. Bila dalam UU ketenagakerjaan terdahulu, pesangon yang diberikan 12 kali lipat bagi yang memiliki masa kerja melebihi 15 tahun. Namun dalam UU Cipta Kerja, pesangon hanya 9 kali lipat dari gaji. Tiga bulan gaji melayang tak bersisa. Jelas dianggap merugikan pekerja.

Uang penghargaan masa kerja selain dikurangi, juga memberi pilihan bagi pengusaha, apakah memberikan untuk pekerjanya ataupun tidak. Pekerja merasa dirugikan, sebab setelah diPHK atau pensiun jelas mereka sangat memerlukan penopang finansial.

Di satu sisi, UU Cipta Kerja sangat memihak pada pengusaha. Namun di sisi lain pengusaha juga diperlukan di sebuah negara, karena modal sangat vital. Ketika pemilik modal ngambek dan tidak mau memodali, maka pemerintah akan kelimpungan mencari pemilik modal.

Namun bila pekerja yang ngambek, tentu tak terlalu menjadi masalah, sebab tenaga kerja banyak bertebaran dimana-mana. Pasokannya teramat banyak, bahkan terkadang tenaga kerja asing seperti dari negara China justru dibawa oleh investornya sendiri. Jadi wajarlah bila pekerja memandang UU Cipta Kerja hanya menguntungkan pemilik modal.


Perppu dan Pemakzulan

MK jelas menyebut UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dua tahun. Namun belum genap tahun, pemerintah menganggap keadaan sedang darurat dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Sehingga banyak yang memprotes tindakan tersebut karena dianggap mengada-ada.

Ide mengeluarkan Perppu masih dalam pertanyaan besar, apakah memang keputusan murni dari presiden, ataukah dari para pembisiknya, sebab bagaimanapun keputusan ini telah membuat publik tersentak. Di saat UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, justru keluar Perppu Cipta Kerja. Sehingga keadaan darurat dianggap hanya akal-akalan karena isi Perppu Cipta Kerja setali tiga uang dengan UU Cipta Kerja.

Banyak yang memandang sinis terhadap keluarnya Perppu ini, karena dianggap sebagai upaya ngeyel presiden demi merangkul investor sebanyak-banyaknya, mengeruk modal dari pengusaha, baik dalam negeri maupun luar megeri. 

Sedangkan beberapa pihak menilai bahwa perppu ini bukan keputusan murni presiden, namun hanya ide dari pembisik-pembisiknya yang memiliki maksud tertentu. Sebab keputusan menerbitkan Perppu dapat membuat sang presiden termakzulkan (impeachment) akibat keputusan yang banyak ditentang rakyatnya. Apabila mayoritas anggota DPR siap mengajukan usulan pemakzulan Presiden melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja maka impeachment dapat dilakukan dengan mudah.

Ketika keadaan darurat yang melatarbelakangi keluarnya Perppu adalah resesi global, lalu bagaimana dengan keadaan dalam negeri sendiri? Sebab masyarakat juga tengah dalam kondisi babak belur setelah bangkit dari pandemi. Ditambah dengan keluarnya Perppu yang kian ketat dalam memberikan hari libur dan mengurangi jumlah pesangon, jelas membuat wong cilik cenat-cenut.

Sebagian isi Perppu Cipta Kerja yang kerap digembar-gemborkan pemerintah di media massa beberapa waktu lalu adalah poin-poin yang dilihat sepintas sebagai perubahan positif untuk para pekerja. Seperti misalnya boleh menikah dengan teman sesama tempat kerja, yang dahulu dalam UU Ketenagakerjaan jelas dilarang. 

Seperti apa pun keputusannya, pekerja tetap terpinggirkan karena mereka dianggap tidak memiliki modal. Sebab sudah selazimnya dalam sebuah perusahaan, pengusaha dan pemilik saham adalah pemilik suara, akibatnya jelas harus menguntungkan si pemilik modal. 


Sehingga dapat dipahami betapa pentingnya memiliki sebuah modal usaha, Namun sampai kapan hal tersebut tidak akan dapat dilakukan oleh wong cilik jika modal besar ternyata hanya dimiliki oleh asing dan aseng. Ketika ltelah demikian kenyataannya, maka bukan hal mengherankan bila rakyat negara ini selama-lamanya hanya akan menjadi pekerja abadi di negeri sendiri.

Comments