Teori Picik Pemisah Kaum Agamis dan Kaum Pancasilais

Bung Tomo (pic: indisch4ever.nu)


Jika terus menerus terjadi pertikaian antara kaum agamis dan kaum pancasilais, maka akan menimbulkan kejenuhan dalam masyarakat, yang berujung peralihan pilihan publik pada tukang adu domba yang menawarkan dagangan ideologinya



Indikasi terjadinya upaya picik untuk membenturkan Agama dan Pancasila, dengan tujuan agar yang pancasilais membenci yang agamis, sementara yang agamis benci pada yang pancasilais, sehingga sama-sama saling curiga, bahwa pancasilais pasti tidak agamis, dan yang agamis pasti tidak pancasilais, maka dapat ditebak si peraih kemenangan dari upaya ini adalah si aktor pembentur.


Padahal nun dahulu kala, saat belum disebut sebagai pancasila, sumber aturan dan keluhurannya bersumber dari agama, namun sekarang mulai terbaca upaya-upaya pembenturan untuk saling membenci. Siapa yang akan tepuk tangan dan menjadi pemenangnya? Mereka yang bukan pancasilais dan bukan agamis.



Teori picik Devide et Impera


Setelah 17 Agustus 1945,  kehidupan Indonesia diliputi suasana persatuan dan kesatuan yang kental untuk mempertahankan negara ini, sebab saat itu terdapat  upaya ngeyel penjajah untuk kembali bercokol di negara ini. Bukan hanya itu saja, terdapat upaya rongrongan dari dalam negeri untuk mengganti ideologi Pancasila. Meskipun saat itu tak banyak media yang mengekspos, namun segala upaya penggantian ideologi Pancasila sebagai satu kesepakatan luhur selalu berhasil digagalkan.


Kita pasti ingat bagaimana Muso memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) di jamannya, ingin mendirikan Negara Soviet di Indonesia dengan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis, serta beragam rongrongan lainnya yang berupaya mengganggu satu-satunya ideologi yang sudah disepakati di negeri ini.


Entah kenapa selalu ada saja anak bangsa yang tak puas dengan sebuah kesepakatan yang telah dibuat bersama, ambisi dan ego untuk mengutamakan kepentingan pribadinya tanpa legowo dengan musyawarah mufakat yang telah disepakati.


Demikian pula yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, terlihat jelas sebuah upaya pembenturan antara kaum pancasilais dengan kaum agamis, segala macam adu domba tampaknya mulai menunjukkan hasil yang diinginkan.


Setelah selama sekian waktu usaha pengobrak-abrikan hanya terfokus pada Pancasila tetap tak membuahkan hasil, demikian juga dengan mengobrak-abrik kaum agamis, hanya berbuah tak melebihi target yang diinginkan, maka kemudian berkembanglah sebuah strategi licik sebagaimana yang dipakai oleh Belanda saat menjajah negara kita, "Devide et Impera" yang berarti pecah belah dan jajahlah.


Bagi penganut teori licik dan picik ini, akan terlalu banyak memakan waktu untuk dapat menguasai sebuah negara jika hanya memerangi satu persatu kekuatan pemersatunya, maka diupayakan sebuah penghancuran dari dalam, dengan membenturkan semua unsur kekuatan pemersatu agar terpecah-belah sendiri. Sehingga si tukang adu domba hanya perlu duduk manis menonton, dan seakan terkesan tidak ikut campur tangan.


Akibat teori picik ini, kini berkembang sebuah prasangka bahwa mereka yang agamis pastilah tidak pancasilais, dan hal itu dibumbui si pengadu domba dengan pokesan hoaks yang seakan fake, meramu bumbu-bumbu dengan beragam polesan agar terlihat banyak hal-hal dalam pancasila yang bertentangan dengan agama. Dan ujung-ujungnya hoaks itu ampuh mempengaruhi mereka yang kurang berpikiran luas. Sehingga hal yang ditunggu-tunggu tukang adu domba terjadi, protes sepihak yang dilakukan pihak agamis dilihat oleh kaum pancasilais sebagai bentuk perlawanan dan tantangan. Di saat itulah kaum pancasilais memandang kaum agamis sebagai kaum penentang, maka bergeraklah propaganda si pengadu domba yang mengobarkan kenyataan bahwa kaum pancasilais adalah mereka yang jauh dari agama, sehingga makin menimbulkan keinginan kaum agamis untuk melawan.


Hal-hal pertentangan seperti inilah yang menjadii cita-cita si tukang adu domba, dengan sibuknya kaum pancasilais dan agamis berperang sendiri, maka ajaran si tukang adu domba otomatis naik ke permukaan, menjadi sebuah ideologi unggulan yang terlihat seperti sebuah pilihan terbaik dibandingkan mereka yang sibuk bertikai.


Muncullah simpati dari berbagai pihak, yang bisa jadi menamakan dirinya kaum netral, ataupun mereka yang merasa jengah dari kaum pancasilais ataupin agamis, yang kemudian bergabung dengan ideologi baru yang tampaknya lebih baik, padahal sejatinya adalah si tukang adu domba dengan topeng fitnahnya.



Misi tukang adu domba penjual ideologi


Kita sering melupakan adanya tukang adu domba di sekitar kita, bahkan terkadang tertipu habis-habisan dengan sikap manis dan sikap yang seolah  bijak dari mereka, sehingga kita tergerak untuk pro si tukang adu domba ketimbang mendamaikan pihak yang bertikai.


Timbul sebuah kesan salah paham bahwa kaum agamis pasti tidak pancasilais, dan kaum pancasilais pasti tidak agamis, padahal kaum agamis sudah pasti pancasilais, sebab sila-sila Pancasila adalah bersumber dari nilai-nilai agama. Justru yang patut dipertanyakan adalah mereka yang mengaku sebagai pancasilais namun jauh dari aturan-aturan agama, sudah pasti mereka bukan pancasilais, sebab pancasila bersumber dari nilai-nilai keagamaan. Contoh termudah adalah dari sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, pastinya tidak akan terlepas dari aturan agama karena berkaitan dengan Tuhan, perintah dan larangan-Nya, ketika ditemukan mereka yang mengaku pancasilais tapi melakukan hal yang dilarang agama ,maka patut dipertanyakan jiwa pancasilaisnya.


Sudah saatnya berhenti mengadu domba dan memisahkan antara pancasilais dengan agamis, sebab keduanya sama-sama saling berkaitan erat, tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, sebab dilahirkan oleh Ibu pertiwi di alam Indonesia yang majemuk, dan dimerdekakan dengan darah dan air mata para pejuang.


Jika kita kembali menguak sejarah, bagaimana para santri Surabaya bergerak melawan penjajah demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari upaya perebutan kembali oleh Belanda. Takbir Allahu Akbar yang diucapkan Bung Tomo, merupakan pengobar semangat yang diteriakkan oleh mereka yang agamis dalam berjuang melawan dan mengusir penjajah dari keinginnanya bercokol kembali di Surabaya pada 1 November, yang kemudian diperingati sebagai hari Pahlawan.


Makin jelas bahwa Pancasila tidak perlu terlalu diribut-ributkan hanya sebagai sebagai sebuah teori, sebab Pancasila telah lama mendarah daging di jiwa dan sanubari bangsa ini, hingga berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.


Patut menjadi sebuah tanda tanya besar bila ada pihak-pihak yang terkesan membuat jurang pemisah antara kaum agamis dan pancasilais, Ada misi terselubung apa?  Mungknkah ada misi menawarkan dagangan yang lebih tok cer dari agamis dan pancasilais? Sebab jika terus menerus terjadi pertikaian antara kaum agamis dan kaum pancasilais, maka akan menimbulkan kejenuhan dalam masyarakat, yang berujung peralihan pilihan publik pada tukang adu domba yang menjual dagangan ideologinya.




17 Agustus 2021, saatnya bangsa Indonesia bersatu kembali melindungi kemerdekaan negeri ini, dengan tidak mudah terprovokasi oleh berbagai upaya propaganda untuk memecah kaum agamis dan pancasilais, sebab agamis dan pancasilais sejatinya adalah satu kekuatan pemersatu yang ingin diambil alih dari negeri ini oleh penjajahan ideologi tukang adu domba.


Mari satukan kekuatan, bahu membahu menyelamatkan negeri ini!








 

Comments