Bukan Robot, Karyawan Juga Manusia

Illustrasi robot dan manusia (pic: money.howstuffwork.com)


Meskipun bekerja keras  sering dijadikan alasan bagi perusahaan untuk melanggar jam kerja karyawan, namun pengusaha tetaplah wajib mematuhi sistem jam kerja nasional yang telah ditetapkan pemerintah, sebab karyawan bukan robot, mereka berhak beristirahat dan bersosialisasi dengan keluarganya



Bukan hal mengherankan bila di seluruh dunia saat ini sedang dilanda gila kerja, ketatnya persaingan di bidang ekonomi telah membuat dunia bisnis seakan tidak bisa istirahat sedetikpun. 


Ketatnya persaingan yang dihadapi, terlebih sebuah  ketakutan akan larinya pelanggan ke competitor lain, membuat semua perusahaan dituntut terus-menerus bekerja 24 jam tanpa henti, sehingga jam kerja yang gila-gilaan ini telah dianggap sebagai kerja keras yang wajar.


Seringkali perusahaan melupakan bahwa karyawannya bukan robot yang bisa terus menerus dipakai tanpa henti, namun dengan sistem shift tanpaknya hal itu kembali dianggap normal. 


Sistem shift yang berlaku di kantor pusat dengan karyawan berjumlah banyak mungkin bukan masalah besar, namun bagi mereka yang bekerja di daerah, nampaknya perusahaan menutup mata tentang itu, sehingga terkadang sering dijumpai karyawan-karyawan di daerah harus ekstra kerja lembur tanpa pergantian dengan siapapun karena tidak ada penggantinya, bahkan bisa jadi tanpa uang lembur.



Nombok dan kerja keras


Sudah jamak terjadi pegawai sebuah perusahaan besar yang ditempatkan di daerah, atau memang juga putra daerah, kerap harus bekerja sesuai tuntutan perusahaan tanpa adanya pergantian tugas atau shift karena tidak adanya karyawan pengganti. Bahkan bukan hanya masalah pekerjaan, tapi juga untuk pengeluaran kantor , mereka harus nombok dahulu. Tak jarang mereka tekor karena salah hitung, ataupun karena tak ada print out sebagai tuntutan perusahaan saat membeli keperluan, akibatnya kantor tidak mau tahu dan tidak mau mengganti. 


Kejadian seperti ini sering dijumpai di daerah, misalnya seorang karyawan yang uang bensinnya tidak diganti karena tidak memiliki print out akibat membeli bahan bakar di  pinggir jalan. Atas nama ketertiban, atau boleh jadi kecurigaan, bagian administrasi keuangan perusahaan tak mau tahu, tak ada bukti tak ada ganti, bisa ditebak karyawan cilik cuma menangisi uang yang telah dia keluarkan, yang baginya sangat berarti.


Bisa dimaklumi bila perusahaan mengambil tindakan seperti di atas, mungkin karena sebelumnya pernah terjadi karyawan-karyawan curang yang akal-akalanan memark up pengeluaran kantor. Tapi haruskah gara-gara kelakuan karyawan sontoloyo, malah justru karyawan jujur menjadi korban?


Diperlukan sistem deteksi kejujuran yang diterapkan di perusahaan, sehingga perlakuan terhadap karyawan tidak "gebyah uyah", berapa sih arti pengeluaran karyawan jujur yang seupil dibanding keuntungan perusahaan?


Namun kenyataan di lapangan, karyawan sering hanya berani terima nasib, sebab 

mereka memerlukan pekerjaan itu, sehingga takut dipecat, apalagi tingginya tingkat persaingan di dunia kerja, belum lagi perjanjian kerja yang mengikat, sehingga perusahaan menuntut berlebih, dengan konseksuensi pemberhentian bila menolak.



Karyawan juga manusia


Hari kerja karyawan telah diatur dalam Undang-undang ketenagakerjaan negara kita, setelah sebelumnya Senin sampai dengan Jumat, sedangkan hari Sabtu sebagai alternatif, dapat libur sesuai kebijakan perusahaan. Yang kemudian diatur kembali dengan UU Ketenagakerjaan yang baru, atau populernya disebut Omnibus Law yang memberlakukan aturan lebih ketat.


Di banyak perusahaan dengan tingkat kekhawatiran berlebihan terhadap persaingan  perusahaan kompetitor lama ataupun baru, diberlakukan kerja yang lebih gila lagi, akibatnya hari kerja karyawan yang biasanya Senin sampai dengan Sabtu, namun dalam kenyataannya karyawan tetap harus bekerja di hari Minggu, karena perusahaan mengadakan beragam event-event agar tidak kalah bersaing dengan perusahaan lain.


Karyawan adalah manusia, manusia tetap manusia, bukan robot. Ketika karyawan yang manusia dipaksakan bekerja melebihi aturan perusahaan, tentu saja daya tahannya lama-lama melemah. Padahal sebagi manusia, karyawan memerlukan waktu istirahat, apalagi sebagai makhluk sosial, mereka memiliki hubungan dengan istri, anak-anak, dan keluarganya. Karena tuntutan perusahaan yang super gila, seringkali karyawan tidak ada waktu lagi untuk bersosialisasi, bahkan tak ada waktu untuk dirinya sendiri. 


Karyawan tidak akan memiliki waktu untuk diri sendiri, jika setelah kelelahan saat pulang kerja, ternyata masih ada telpon dari atasan yang meminta data file dan seabrek ini itu, belum lagi email yang sudah wajib periksa sebelum keesokan harinya.


Saat karyawan kehilangan kekuatan dirinya untuk menerima segala gempuran pekerjaan yang berlebihan, maka lelah dan melemahlah dia, ketika tak mampu lagi menangani permasalahan perusahaan, bukan tidak mungkin perusahaan tak memerlukan dia lagi, seperti robot yang telah rusak, dibuang, dan digantikan robot baru dengan energi yang lebih tokcer.


Kejam? memang kejam. Sadis? terlalu sadis. Tetapi memang seperti itulah fenomena perusahaan-perusahaan masa kini, tak mau buang waktu hanya untuk alasan kemanusiaan, sebab di jaman hedonisme dan materialistis, sedetik saja ketinggalan langkah kompetitor, maka turunlah laba perusahaan, apalah artinya mengganti satu karyawan dibanding kerugian yang setara dengan gaji 100 karyawan?


Sisi-sisi kemanusiaan memang mulai luntur oleh peradaban jaman, bahkan nilai-nilai spiritual terkadang dianggap penghambat roda perusahaan, sehingga demi keefisienan waktu terkadang diberlakukan shift agar perusahaan tetap jalan, sementara ibadahpun tetap dapat dijalankan. Bahkan bukan hal mengherankan, jika kumandang adzan yang memakan waktu beberapa menit kerap diganti dengan comercial break karena dirasa  lebih menguntungkan.

 

Masalah pemerahan kerja karyawan bukanlah hal baru, bahkan telah membudaya setelah era perbudakan dan penjajahan. Mungkinkah sistem kerja gila-gilaan saat ini adalah perbudakan model baru di dunia modern? Jika di jaman perbudakan adalah demi memperoleh makanan pengganjal perut, namun di jaman modern saat ini demi memperoleh materi dan kepuasan.


Bahkan yang lebih gilanya, kondisi kerja keras sampai mati seringkali dipoles angan-angan semu yang membuat jauh dari kesan perbudakan, malah terasa seperti sebuah tuntutan dan kebutuhan, sehingga dikenallah istilah workaholik alias gila kerja.



Karoshi dan 996


Kegilaan waktu kerja bagi workaholik bukanlah satu masalah besar, namun bagi mereka yang sudah berada pada titik kelelahan dan kejenuhan, pemaksaan jam kerja di luar kepatutan aturan waktu kerja, justru akan menjadi beban mental dan moral yang akan memicu stres, bahkan yang paling gawat adalah bunuh diri, hal itulah yang saat ini banyak terjadi di Jepang dan di China.


Bukan hal baru bila Jepang adalah negara dengan etos budaya kerja paling disiplin dan terkesan gila gilaan, bahkan sebagian pekerja disana memiliki julukan gila kerja. Bagi mereka yang menolak hal tersebut, sudah pasti tersisih oleh persaingan kerja, sehingga dengan sangat terpaksa, mereka mengikuti budaya Karoshi tersebut. Namun saat kelelahan memuncak padahal tuntutan kerja meningkat, maka akan memicu tingkat stres tertinggi yang memicu perasaan tak berguna dan ketakutan tidak dipekerjakan lagi jika berhenti melakukannya, akibatnya keinginan bunuh diri menguat karena rasa tak berdaya.


Demikian pula yang terjadi di negara Tirai Bambu, China. Setelah mengalami kemajuan ekonomi pesat dibanding negara lain, hingga kemudian berubah menjadi raksasa ekonomi dunia setelah Amerika. China benar-benar berpacu melawan waktu, bahkan kabarnya demi mengejar target ekspor ke luar ngeri, barang barang itupun diproduksi saat masih di atas kapal pengangkutan.


Budaya gila kerja di China dikenal dengan julukan 996, kerja lembur ekstrem yang dimulai jam sembilan pagi, berakhir jam sembilan malam, selama enam hari dalam seminggu. Bahkan Pengadilan Tinggi China sendiri khawatir dengan budaya kerja perusahaan di negaranya karena dianggap melanggar aturan ketenagakerjaan, sehingga mengeluarkan peringatan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi besar, perusahaan rintisan atau start up, serta perusahaan swasta lain, sebagaimana dikutip dari CNN (28/8/2021).


Pengadilan bertindak tegas karena pada Januari lalu, dua karyawan perusahaan e-commerce Pinduoduo meninggal,  salah satunya bunuh diri akibat perusahaan menerapkan jam kerja berlebih terhadap pekerjanya.



Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Mungkinkah memiliki kemiripan dengan Jepang dan China? Adakah karyawan yang stres dan kelelahan karena harus mati-matian bekerja tanpa istirahat selama sepekan?


Meskipun bekerja keras  sering dijadikan alasan bagi perusahaan untuk melanggar jam kerja karyawan, namun pengusaha tetaplah wajib mematuhi sistem jam kerja nasional yang telah ditetapkan pemerintah, sebab karyawan bukan robot, mereka berhak beristirahat, bersosialisasi dengan keluarganya, dan liburan. 



 

Comments