Ganteng, Review Saldonya Dong!

Illustrasi pria terkejut (pic: kompashealth.com)


Negara ini memerlukan manusia-manusia berjiwa besar, yang terlihat tak memiliki apa-apa karena ketidakinginannnya untuk pamer, namun justru saat diperlukan, dia rela merogoh koceknya dalam-dalam tanpa ingin diketahui orang lain ataupun diliput oleh media, demi membantu orang lain



Sedang lahir tren pamer saat ini, salah satunya yang sedang viral adalah challenge Review Saldo ATM dengan video berkalimat "Ganteng, Review Saldonya dong," banyak beredar di berbagai situs jejaring sosial, seperti TikTok, Instagram, juga Twitter.


Memang sepintas lucu, unik, dan membuat khalayak penasaran. Namun tahukah Anda dibalik keseruan dan seru-seruan itu jika dipikir secara realistis dan mendalam, terkandung tujuan yang sangat duniawi.



Kecintaan teramat sangat pada duniawi


Maraknya konten-konten di media sosial tentang tren pamer harta, baik yang dilakukan artis maupun orang kaya, juga banyak diikuti beberapa anak muda yang dengan bangganya menunjukkan sisa saldo ATM bernilai miliaran rupiah.


Hal itu terjadi akibat kecintaan yang teramat sangat pada duniawi, coba kita pikirkan tujuan ajang pamer itu kalau bukan sekedar menunjukkan sisi duniawi yang bakal ditinggalkan, sebab tidak akan bisa dibawa ke alam kubur.


Akibat pemikiran materialistis maka akan melahirkan hedonisme, hingga menumbuhkan aliran-aliran yang menafikkan keberadaan Tuhan. Kitab suci hanya dipandang sebagai dongengan jaman dahulu, kuno, dan tidak masuk akal. Yang ujung-ujungnya melahirkan keberanian menentang Tuhan sebab Dia dianggap tidak ada.


Fenomena seperti itu telah banyak terjadi di seantero dunia, seperti lahirnya konsep penentangan kehendak Tuhan dengan merubah takdir dan ciptaan-Nya. Mereka yang merasa salah dilahirkan sebagai laki-laki padahal keinginannya menjadi perempuan, segera buru-buru mengoperasi alat kelaminnya. Tuhan dianggap sosok goblok yang salah menciptakan, padahal kalau ditelusuri secara mendalam bukankah kehidupan ini hanya sekedar ujian dan cobaan, ada kehidupan ukhrawi lebih abadi yang sering dilupakan.


Konten pamer harta, pamer saldo ATM, pamer kemewahan, hingga konten ganti kelamin pun yang diunggah di media sosial maupun media mainstream lainnya sangat menarik minat orang untuk menonton, sebab media sosial telah memfasilitasi kondisi ini, akibatnya semua orang bisa memproduksi konten.



Riya' pemicu nafsu pamer segalanya


Mengapa orang sangat bernafsu memamerkan kekayaan yang dimilikinya? Bisa jadi karena:


Melupakan kematian


Padahal firman Tuhan dalam kitab suci "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai masuk ke dalam kubur" (At-Takasur 1-2) telah membuktikan bahwa kehidupan dunia sangat menyilaukan, indah, menarik hati,tak jemu memandang, melahirkan keinginan untuk lebih terpandang, lebih kaya dari orang lain, akibatnya  nafsu duniawi berpacu tiada habisnya, hingga lupa batas usia yang diberikan Tuhan. Memamng Tuhan tidak pernah melarang memikirkan kehidupan duniawi, namun juga tidak melupakan ukhrawi di akhirat kelak.


Sikap pamer


Kehidupan dunia melahirkan sikap ingin selalu menunjukkan segala sesuatu yang dimiliki demi mendapatkan sanjung puji. Memang pada awalnya dengan alasan klise demi mengejar kepuasan, namun pernahkan kepuasan itu didapatkan jika tak ada sanjung puji dan perhatian dari semua orang? Inilah yang dalam agama disebut sebagai sikap riya'.


Orang yang selalu berpikiran riya' akan selalu lelah dalam hidupnya, lebih mudah terpukul, kecewa, stres dan sakit hati, jika tak mendapatkan sanjung puji ataupun perhatian dari sekitarnya.


Bangga


Setelah kegiatan pamer dilakukan, maka reaksi dari orang-orang akan terperangah kaget dan terkagum-kagum. Sehingga melahirkan beragam perasaan pada si tukang pamer, yang salah satunya pastilah menyeringai bangga, tidak mungkin menangis sedih.


Ingin menunjukkan kesuperannya


Keinginan dipandang lebih oleh semua orang, mungkin bagi mereka yang mampu mencapainya bukanlah masalah besar, namun bagi mereka yang tidak mampu dan hanya bisa menonton saja, pastilah menimbulkan rasa iri, bahkan gawatnya dengki, hingga ingin merebut apa yang dimiliki oleh si tukang pamer sebab tidak peka terhadap keadaan orang lain 


Kurang rasa empati

Pernahkah si tukang pamer berpikir bagaimana bila orang lain yang kehidupannya berada di bawahnya melihat apa yang dipamerkannya? Apalagi di masa pandemi dengan tingkat kemiskinan penduduk meningkat, belum lagi mereka yang mengalami putus hubungan kerja (PHK). Bahkan bisa saja si tukang pamer mengganti chalengenya dengan acara berbagi ke kaum dhuafa, tapi keinginan diketahui orang banyak dengan mengundang liputan media melahirkan riya' baru yang bertujuan hanya pamer.


Dari sisi duniawi, si tukang pamer juga wajib siap-siap membayar lebih pajaknya, sebab Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu stand by pada perluasan basis pajak serta melakukan pengawasan terhadap wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, terutama warganet yang suka pamer-pamer di media sosial, sebagaimana dikutip dari kompas.com (9/8/2021)



Sikap terbaik menghadapi maraknya challenge


Jadi bagaimana sebaiknya menyikapi challenge-challenge yang marak akhir-akhir ini?


Jika ingin menonton, tonton saja, namun dengan tetap bersikap cerdas emosi dan empati menyikapi tentang dampaknya.


Ingin ikut juga? Pikirkan matang-matang bahwa yang Anda lakukan benar-benar bukan untuk riya' alias pamer demi mencari pujian dan sanjung puji, perhatikan juga sekitar Anda, apakah akan ada yang merasa terluka dengan yang Anda lakukan. 


Pikirkan hasil yang Anda dapatkan dari mengikuti ataupun menonton, 

jika Anda menonton,  berarti akan menambah pundi-pundi uang si tukang pamer, sementara Anda sebagai penonton tak memperoleh apa-apa selain berkomentar "waduh", "gue pingin juga", "seandainya aku seperti itu", dan sebagainya.

Jika Anda mengikuti, yakinkah akan bermanfaat? lebih bermanfaat memberi isi saldo pada orang-orang miskin ataukah cuma pamer isi saldo?


Mereka yang suka pamer harta, baik artis maupun orang-orang biasa, merupakan orang egois, kurang peka dengan masalah sosial, terutama kondisi pandemi Covid-19 yang memberi pukulan berat bagi sistem kesehatan serta sosial ekonomi, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologis masyarakat, demikian pendapat Psikolog Sosial asal Solo, Hening Widyastuti sebagaimana dikutip dari kompas.com (10/8/2021).




Negara ini memerlukan manusia-manusia berjiwa besar, yang terlihat tak memiliki apa-apa karena ketidakinginannnya untuk pamer, namun justru saat diperlukan, dia rela merogoh koceknya dalam-dalam tanpa ingin diketahui orang lain, apalagi diliput oleh media, demi membantu orang lain. Memang di satu sisi bagus diliput media, asalkan tujuannya agar semua orang tertarik untuk berbuat baik serupa, bukan malah agar semua orang tahu bahwa dialah yang mampu memberikan semua itu.


Mari berhenti memproduksi sikap riya', memberi dan menunjukkan perbuatan dengan tujuan pamer, menyombongkan diri agar berlimpah sanjung puji, sebab Tuhan di atas sana tidak pernah pamer, padahal Dia Maha Sibuk setiap waktu mencukupi kebutuhan hamba-hamba-Nya baik yang taat maupun durhaka. Sungguh Tuhan sangat Maha Kaya Raya. Dia bukan hanya Maha Baik tapi juga Maha Bajik, sebab tetap menebar kebajikan memberi rezeki pada hamba-Nya meskipun durjana dan durhaka pada perintah-Nya.


Kini, saatnya kita meniru kebajikan Tuhan, dengan memberii dan menunjukkan segala sesuatu tanpa keinginan segunung sanjung puji. 

Stop berbuat riya'! sebab sangat melelahkan', gelisah menikmati, dan membuahkan stres berkepanjangan.


 

Comments