Djoko Tjandra dan Remisi Kemerdekaannya

Djoko Tjandra (pic: kompas.com)


Benarkah peringatan hari kemerdekaan baru-baru ini sepertinya justru menjadi kemerdekaan bagi para koruptor?



Anda masih ingat Djoko Tjandra? terpidana kasus suap penghapusan nama dari red notice keimigrasian dan pengurusan fatwa bebas yang memperoleh pemotongan vonis dalam kasus perkaranya, secara tak dinyana dan tak diduga di peringatan hari kemerdekaan Indonesia baru-baru ini, kembali memperoleh surprise remisi hukuman. 


Dikutip dari kompas.com (22/8/2021) Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Rika Aprianti menyatakan, 214 orang terpidana kasus korupsi mendapatkan remisi umum, termasuk remisi yang diperoleh Joko Tjandra dengan alasan dia telah menjalani sepertiga hukuman.



Penerima remisi di sekitar Djoko Tjandra


Narapidana kasus korupsi mendapat remisi umum tahun 2021 berdasarkan Pasal 34 Ayat (3) PP Nomor 28 Tahun 2006 karena dianggap telah memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana, sedangkan yang mendapat remisi berdasarkan Pasal 34A Ayat (1) PP Nomor 99 Tahun 2012 dianggap telah memenuhi dua syarat, yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang telah dilakukan, dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.


Beberapa nama dari 214 orang terpidana korupsi penerima remisi selain terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra, adalah mereka yang berada di kisaran kasus Djoko Tjandra itu sendiri, diantaranya adalah Tommy Sumardi terpidana kasus suap pelarian Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya terpidana kasus suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari.



Sikap KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai remisi hukuman yang diperoleh Joko Tjandra  merupakan hal biasa saja, sebab merupakan hak seorang narapidana, termasuk napi kasus tindak pidana korupsi, sebagaimana dikutip dari kompas.com (22/8/2021)


Korupsi sebagai extra ordinary crime memberi imbas buruk pada multi-aspek sebab dapat merugikan keuangan maupun perekonomian negara, sehingga dianggap hal yang ganjil dan aneh bila justru para narapidana kasus korupsi mendapat diskon besar-besaran remisi hukuman, akibatnya banyak pihak menyoroti hal tersebut.


Seperti ICW yang mempertanyakan kebijakan Kemenkumham memberi potongan hukuman dengan alasan Djoko Tjandra dianggap berkelakuan baik, padahal telah nyata sempat melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman.


Permasalahan korupsi di negeri ini  kian menggelinjang setelah RUU KPK disahkan beberapa waktu lalu hingga melahirkan adanya dewan pengawas, yang dilanjutkan rumitnya permasalahan KPK dengan tes wawasan kebangsaan (TWK) karena berujung pemecatan pegawainya yang dianggap kredibel, kemudian berlanjut dengan keringanan hukum terhadap sejumlah narapidana kasus korupsi, dan kian membuat geleng-geleng kepala masyarakat awam dengan pemberian remisi pada para koruptor negeri ini.



Saktinya Djoko Tjandra


Masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana Djoko Tjandra saat berstatus buron bisa bebas keluar masuk Indonesia karena mendapat surat jalan yang diterbitkan atas inisiatif Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, sehingga dengan surat itu ia melenggang membuat e-KTP dan paspor di Jakarta. Namun setelah berhasil ditangkap dan divonis, hukumannya justru dikurangi, bahkan mendapat remisi saat HUT ke-76 RI.


Rangkaian kejadian yang diibaratkan sebuah pangkal jebakan batman, sebab setelah lolosnya RUU KPK beberapa waktu lalu sebagai pertanda melemahnya KPK karena tidak dilibatkan dalam pembuatannya, yang kemudian dilanjutkan dengan adanya tes TWK sebagai kelanjutan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN, jeratan hukuman untuk para koruptor seakan mengendor.


Bahkan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai pemberian remisi Djoko Tjandra tidak tepat dan melanggar hukum, sebab sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pemberian remisi untuk terpidana kasus korupsi harus memenuhi dua syarat, yaitu berstatus sebagai justice collaborator, dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan. Sedangkan Djoko Tjandra bukan merupakan justice collaborator, justru merupakan pelaku utama.


Adanya remisi terhadap narapidana korupsi terutama Djoko Tjandra menunjukkan sikap pemerintah dalam kasus korupsi dengan bukti nyata memberi remisi, padahal Joko Candra dinilai tidak layak memperoleh remisi. Memang di satu sisi hal itu sebagai konsekwensi peralihan status pegawai KPK mejadi ASN, maka sudah pasti berada di bawah kendali pemerintah.


Runtutan kejadian berkaitan koruptor yang terjadi di tanah air seakan menjadi bukti nyata prediksi Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman beberapa waktu lalu, saat menilai keputusan jaksa penuntut umum terkait pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding Djoko Tjandra merupakan drama yang diperpanjang, sebagaimana dikutip dari kompas.com (12/8/2021).


Remisi Joko Tjandra menunjukkan bahwa pemerintah memiliki andil dalam pengurangan hukuman koruptor, namun diam seribu basa saat alih status pegawai KPK menjadi ASN yang dianggap merugikan para pegawai yang kredibilitas dan berani dengan ending dipecat.


Peringatan hari kemerdekaan baru-baru ini sepertinya justru menjadi kemerdekaan bagi para koruptor sebagaimana pernyataan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, dikutip dari kompas.com (20/8/2021).



Benarkah korupsi kian membudaya dan menjadi tradisi karena akar-akarnya telah kuat menancap di bumi yang kita cintai? Hanya Tuhan, kita, dan koruptor yang tahu.












 

Comments