Resesi Seks, Kok Bisa?

Ilustrasi hubungan dingin (pic: health.clevelandclinic.org)


Tujuan sebuah percintaan bukan hanya senang-senang semata namun juga dituntut pertanggungjawaban kepada Tuhan sebab cinta bukan hanya milik sepasang kekasih saja


Banyak orang bingung mneyimpulkan mengapa resesi seks bisa terjadi. Sebetulnya hal tersebut bukan hanya mulai menunjukkan tanda-tandanya di Indonesia, namun juga seluruh dunia. Data dunia menunjukkan bahwa jumah kelahiran bayi yang menurun sebgaai pertanda resesi seks telah melanda.

Hal yang perlu dipahami adalah mengapa tiba-tiba resesi seks bukan menjadi sesuatu yang mengejutkan di saat ini. Ada beberapa alasan yang membuat kondisi tersebut bukan hal yang mengejutkan lagi, diantaranya adalah:

Kebutuhan ekonomi kian meningkat

Ketika sebuah pasangan memutuskan mengikat diri dalam pernikahan, maka kesiapan mereka dalam mengantisipasi kebutuhan hidup meningkat. Ketika hal itu terjadi maka ada dua pilihan ketika kebutuhan ekonomi kian meningkat.

Saat pertama menikah mungkin kebutuhan hidup tak terlalu mencekik leher, sebab biasanya masih ditunjang dengan bantuan finansial dari orangtua. Namun seiring waktu, kebutuhan akan kian meningkat, apalagi telah terlahir anak-anak dari pernikahan. Sehingga membuat pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu sampai ekonomi mereka mumpuni.

Bahkan terkadang dari kerentanan tersebut membuat pasangan enggan lagi memikirkan seks, akibatnya bisa saja menganggap seks sebagai sebuah beban karena mengakibatkan kelelahan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Sehingga bisa jadi pasangan kemudian menempuh perceraian sebab menganggap seks sebagai biang kerok permasalahan.

Kehidupan seks menyimpang

Kehidupan seks menyimpang bisa juga menjadi penyebab resesi seks terjadi. Sebab yang dikejar bukan memperoleh keturunan tetapi kebutuhan seks semata. Ketika hal tersebut terjadi, tentunya penerus keturunan tak menjadi hal utama. Apalagi bila mereka tak bisa menghasilkan keturunan kecuali dengan cara mengadopsi ataupun bayi tabung, yang tentu saja dapat mengurangi frekuens kelahiran.

Pernikahan dianggap beban

Ketika seseorang menganggap bahwa pernikahan hanyalah sebuah beban, karena banyaknya kewajiban dan komitmen yang harus dijalani. Misal adanya pembagian harta gono gini bila terjadi permasalahan, atau pembagian hak asuh anak, ataupun kelahiran anak-anak yang menuntut perhatian dan pengasuhan.

Hal-hal seperti inilah ynag menyurutkan keinginan seseorang untuk menjalani biduk penikahan. Akibatnya timbul pemikiran jika hidup sendiri saja lebih nyaman, kenapa harus menikah dan melayani orang lain, terutama anak-anak yang terkadang dianggap cerewet dan banyak tuntutan.

Tidak siap beban batin

Terkadang ketika ingin menjalani sebuah kehidupan bersama dalam pernikahan, banyak orang dibayangi dengan sebuah beban batin. Beban ketika harus menjumpai orang-orang baru dalam pernikahan, seperti mertua, ipar dan keluarga pasangan. 

Apalagi bila pernah mendengar cerita kanan kiri yang dibumbui dengan beragam kisah pahit tentang mertua dan ipar, yang dapat memicu konfli batin. Biasanya hal-hal seperti inilah yang dapat menyurutkan keinginan seseorang untuk mengarungi biduk pernikahan. Sehingga timbul pemikiran, kalau hidup swndiri lebih nyaman, kenapa harus terbebani dengan orang asing yang akan memasuki kehidupan.

Trauma dengan percintaan

Resesi seks juga bisa terjadi ketika sesorang pernah mengalami luka hati karena cinta. Sehingga jangankan terpikir untuk merajut masa depan dan memiliki anak-anak, memikirkan pasangan kembali saja bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Akibatnya timbul sikap antipati terhadap cinta, apa tah lagi kehidupan seks, sebab hal tersebut dianggap muara Ĺ‚uka dan sakit hati, enggan lagi mengalaminya.


Itulah beberapa alasan penyebab terjadinya resesi seks. Hal-hal terseut tidak akan terjadi ketika setiap orang masih berusaa berpikir secara relijius. Sebab di balik sebuah kerumitan pernikahan dan kelahiran anak-anak, ada sebuah janji Tuhan yang Maha indah ketika keturunan dan pasangan dapat menolong di kehidupan akhirat kelak. Bukankah kehidupan bukan hanya di dunia saja?

Bahkan ketika berpikir secara rasional, bukankah keturunan adalah juga sebuah investasi? Bukan hanya untuk masa depan, dimana saat orangtua sudah tua, maka anak-anak yang merawat dan menjaga orangtua dalam menghadapi masa udzurnya. Karena itu perlu pendekatan norma agama dalam mengatasi resesi seks, adanya keturunan yang menyenangkan hati sebagaimana tuntunan doa yang Tuhan firmankan dalam kitab suci-Nya. 

Tuhan mengajarkan adanya imbal balik dan keseimbangan antara hubungan anak dan orangtua. bukan hanya anak yang berbakti pada orangtua, namun juga orangtua yang menyayangi dan mengasihi anak anaknya. Itulah mengapa Tuhan mewajibkan orangtua menafkahi anak-anaknya dan melarang menyakiti mereka. Sedangkan anak diwajibkan Tuhan untuk merawat dan mendoakan orangtua ketika sudah tua, bahkan ketika telah meninggal, bukankah doa anak sholeh sangat diperkenankan Tuhan?

Ketika mencerna dan memahami semua itu, masihkah resesi seks akan menghantui? Semua kembali pada pola pikir dan kedalaman pemahaman seseorang akan sebuah rasioanalitas percintaan. Tujuan sebuah percintaan bukan hanya senang-senang semata, namun juga dituntut pertanggungjawaban kepada Tuhan, sebab cinta bukan hanya milik sepasang kekasih saja.

Comments