Israel vs Hamas, Terorisnya yang Mana?

Bayi-bayi prematur di Gaza (pic: nbcnews.com)

Bayi-bayi prematur Palestina sekarat perlahan di rumah sakit Al Nasser saat tenaga medis dipaksa segera angkat kaki untuk evakuasi tanpa dibolehkan membawa makhluk-makhluk lemah yang tak bisa berperang bahkan untuk bernafas pun harus memakai inkubator

Terkadang saya sempat bingung, terjebak pada tanda tanya. Sebetulnya siapa sih teroris yang sebenarnya? Hamas atau Israel? Kalau Hamas teroris, berarti Israel pahlawannya. Tapi kenapa pahlawan memaksa tenaga medis meninggalkan bayi -bayi prematur Palestina tak berdaya di rumah sakit Al Nasser, hingga secara perlahan meregang nyawa? Sebiadab itukah yang dijuluki sosok pahlawan?

Kemudian saya teringat kembali pada sejarah bangsa kita saat dijajah Belanda. Kala itu, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, dan banyak lagi yang saat ini kita sebut sebagai pahlawan, namun saat itu disebut teroris oleh penjajah, karena berani melawan demi mewujudkan kemerdekaan tanah airnya.

Strategi yang dipakai penjajah kolonial kala itu, dan bahkan sampai saat ini tetap sama, pecah belah dan jajahlah (devide et impera). Mereka berupaya menguasai seluruh dunia dengan strategi dan cara apa pun demi tetap sebagai bangsa penguasa, supremasi kulit putih, bahkan dengan cara propaganda sekali pun.


Apa beda Palestina dengan Ukraina?

Propaganda sebagai sebuah pemikiran berdasar kehendak dan ambisi. Istilah kasarnya adalah hoaks yang dibungkus secara rapi, fitnah yang dipoles dengan kemuliaan, pencitraan dengan mencuri hati dan perasaan khalayak ramai. Namun di balik semua itu, propaganda tak pernah lepas dari strategi devide et impera semata.

Saat Rusia menyerang Ukraina, dunia gegap gempita membela Ukraina. Pilihan sikap ini tak jauh-jauh dari propaganda, yang tentu saja dibuat oleh ahlinya, yakni negara negara barat, notabene bangsa kulit putih. Mereka terlebih dahulu berhasil menguasai belahan dunia dibanding bangsa kulit berwarna. Sehingga kecerdasan dan kecerdikan mereka tak ada bandingnya. 

Banding terbalik dengan penderitaan Palestina, yang sekian lama dijajah dan dikuasai Israel. Anak anak dan wanita Palestina dianiaya, dipenjara. Penduduknya diusir secara paksa dari rumahnya demi perintah pengadilan karena dianggap ilegal, padahal pengadilannya adalah milik Israel sendiri. 

Namun sikap dunia tak segegap gempita seperti saat membela Ukraina. Padahal penderitaan Palestina lebih lama, pahit, dan berdarah-darah, dibanding bekas negara bagian Rusia tersebut. Mengapa demikian? Silahkan dipikirkan sendiri.


Nasib sandera anjing Israel di tangan Hamas

Setelah peristiwa 7 Oktober, telah lebih dari 15.200 nyawa warga Palestina direnggut paksa oleh Israel. Negara zionis ini dengan pongah dan bangganya membombardir, menghancurkan, serta membunuh ribuan nyawa warga sipil akibat dendam penyerangan Hamas. Padahal setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata pelakunya bukan murni Hamas, namun justru tentara IDF sendiri yang kalut, hingga menembaki warga sendiri dari helikopter apachenya. Bahkan saya sempat berpikir, jangan-jangan hal tersebut sengaja dilakukan Israel demi sebuah propaganda menyudutkan Hamas. Agar dunia kian mempercayai bahwa organisasi ini memang benar benar biadab dan teroris.

Namun dunia tak sebodoh seperti dahulu kala. Media massa pun kini tak hanya dimiliki negara barat saja, sehingga dunia kian dapat melihat kebenaran yang ada. Tersedianya beragam media sosial dan tayangan streaming, membuka mata dunia tentang kebenaran yang sesungguhnya. Tak ada yang direkayasa, tak ada yang ditutup-tutupi, dan propaganda tak ditelan begitu saja.

Seperti propaganda yang dilakukan Israel terhadap Hamas yang dikabarkan melakukan pelecehan seksual terhadap sandera wanita, bahkan mutilasi terhadap bayi-bayi Israel dan sandera anak berkewarganegaraan Amerika yang ternyata tak terbukti. Bahkan, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, juga hampir termakan berita bohong anak semang kesayangannya. Tapi kemudian malu sendiri, sebab sandera anak Amerika ternyata masih hidup sebab turut dilepas Hamas bersama sandera Israel lainnya saat gencatan senjata beberapa waktu lalu.

Beberapa waktu lalu Hamas melepas sanderanya setelah pertukaran tahanan. Banyak hal positif yang tercatat dari pertukaran ini. Meskipun Israel mencemooh sebagai pencitraan. Jika memang terbukti Hamas melakukan pencitraaan, sebetulnya bisa dimaklumi, sebab Israel yang memberi contoh terlebih dahulu, dengan propaganda palsunya. Meskipun kini seluruh dunia tak mempan lagi dengan aksi tipu-tipu tersebut.

Jika benar tuduhan selama sekian waktu bahwa Hamas teroris, mestinya berdarah dingin dung? Tapi kenyataan di lapangan, kenapa hanya kejam terhadap musuh, sementara terhadap sandera, baik warga sipil Israel, wanita, anak anak, bahkan anjing, Hamas sangat manusiawi. 

Keadaan sandera Hamas bila dibandingkan dengan tahanan wanita dan anak anak Palestina yang dilepas Israel sungguh banding terbalik. Selain tak boleh berbicara dengan wartawan, ada beragam intimidasi yang dilakukan Israel, seakan takut borok kekerasannya diketahui dunia. Bahkan ancaman untuk memenjarakan kembali bila tahanan Palestina yang dilepas berbicara kepada wartawan. Jelas menunjukkan siapa teroris yang sesungguhnya.

Hamas menukar sandera Israel dengan tahanan yang notabene kaum lemah yakni anak-anak dan wanita Palestina di penjara Israel. Negara zionis ini memenjarakan dan mengintimidasi wanita dan anak-anak. Mereka ditangkap saat masih bocah, dan dilepas kembali setelah remaja. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya perlakuan Israel terhadap kaum tak berdaya.

Hal menarik dan patut menjadi sorotan dari sandera yang dilepas Hamas, adalah terdapat seorang gadis bersama anjingnya dalam kondisi baik-baik saja. Jika terhadap anjing saja, Hamas memperlakukan dengan baik, tidak dianiaya, apa tah lagi tehadap sandera yang manusia.

Mari bandingan dengan perlakuan Israel. Jika terhadap wanita, anak-anak, orang lanjut usia, bakan bayi-bayi, Israel tanpa hati nurani tega mencabut nyawa mereka, apalagi hanya kepada seekor anjing.

Hal ini bukan sebuah propaganda, atau sentimen pribadi. Namun berdasar kenyataan yang terjadi. Silahkan hitung berapa jumlah wanita dan anak anak, juga warga lanjut usia yang mati di tangan Israel.

Tanpa rasa manusiawi dan hati nurani sedikit pun, genosida terjadi bukan hanya di Jalur Gaza, namun juga di Tepi Barat. Korban tewas telah melebihi lima belas ribu, bukan hanya pria dewasa, wanita, anak-anak, penduduk lanjut usia, bahkan bayi-bayi prematur pun dipaksa setor nyawa demi harga diri bangsa zionis. Belum lagi yang dipaksa meregang nyawa di bawah reruntuhan bangunan karena tidak adanya alat berat yang memadai untuk menyelamatkan mereka.

Bahkan ditengah suasana gencatan senjata beberapa waktu lalu, justru Israellah yang pertama melanggarnya, hingga menewaskan empat bocah Palestina. Mungkin karena alasan bukan di Jalur Gaza namun di Tepi Barat sehingga Israel melakukannya, namun apakah negara ini pikun karena ia berurusan dengan warga yang sama, yakni Palestina.


Tak ada sebab tanpa akibat

Tampaknya ambisi pemusnahan massal Israel terhadap warga Palestina terlalu besar. Mungkin terbuai angan-angan kosong karena kejayaan bangsa kulit putih berhasil menguasai Amerika.

Bukan rahasia lagi bila Amerika yang kini mayoritas dihuni bangsa berkulit putih, dahulunya dimiliki penduduk asli berkulit merah, yakni suku Indian.

Christopher Columbus yang dianggap penemu benua Amerika, adalah sebenarnya menguasai wilayah ini dengan cara menjajah. Kalau kita membuka sejarah, betapa banyak warga suku Indian yang mati karena genosida.

Berapa banyak bocah-bocah suku Indian yang orangtuanya tewas karena berperang dengan bangsa kulit putih. Mereka dipungut serta dikumpulkan dengan alasan dirawat dan diadopsi oleh pendatang kulit putih. Ternyata istilah adopsi hanya sebuah topeng. Sebab ternyata anak-anak indian itu justru diperbudak dan dilecehkan.

Sejarah mencatat ribuan warga suku indian telah dirampas hak-haknya. Ketika ada dari mereka yang berani memberontak dan melawan,yang diistilahkan sebagai teroris oleh bangsa kulit putih. Maka tak ada pilihan lain selain pembantaian besar-besaran alias genosida.

Setelah berhasil menduduki dan menguasai Amerika, terlaksanalah keinginan pendatang kulit putih untuk menjadi penguasa wilayahnya. Kini penduduk aslinya tersisih ke daerah-daerah pinggiran. Sementara yang di perkotaan jumlahnya tak sebanding dengan warga kulit putih. 

Bahkan saat masih kecil, saya pernah berpikir bahwa Amerika adalah negara orang bule alias kulit putih. Ternyata fakta sesungguhnya adalah milik warga asli berkulit merah, yakni suku Indian. Namun terkalahkan karena kalah strategi dan persenjataan.

Mungkin keberhasilan dari Amerika inilah yang kian membuat angan-angan Israel terbuai ke langit ke tujuh. Boleh jadi peristiwa 7 Oktober direkayasanya, atau mungkin jika tidak, bisa jadi momentum tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kian menyudutkan Hamas. Entah karena kalut, friendly fire, atau memang unsur kesengajaan, yang pasti di 7 Oktober itu, ternyata tentara Israel telah menyerang penduduknya sendiri saat pesta seni serta menyerang rumah penduduk dengan memakai helikopter apache.

Dengan kecanggihan tekhnologi dan adanya cctv dimana-mana, akhirnya terenduslan belang Israel yang menembaki warganya sendiri, namun karena saat itu belum ditemukan bukti, maka seluruh kesalahan pembantaian ditumpahkan pada Hamas, yang selama ini selalu manjur untuk dikambinghitamkan. Hingga saat ini pun, cctv di perbatasan Gaza disimpan rapat-rapat oleh pihak Israel.

Serangan mendadak oleh Hamas di 7 Oktober itu pula yang menjadi alasan tepat bagi Israel untuk memperluas wilayahnya, dengan memusnahkan warga asli untuk kemudian mengganti dengan warganya sendiri. Cara mudah menguasai yang selama ini ditunggu-tunggu tanpa harus membuang tenaga melalui jalur pengadilan, meskipun notabene pengadilan milik Israel sendiri.


Hamas muncul bukan tanpa sebab. Mereka terlahir dari orang-orang Palestina yang teraniaya dan tertindas tanpa bisa membela diri. Mereka dahulunya adalah bocah-bocah kecil tak berdaya saat orangtuanya tewas ditembak tentara Israel karena tak mau pindah saat diusir paksa, padahal pendatang Yahudi ingin segera menempati rumahnya.

Kini saya memahami, tak ada sebab tanpa akibat.


Comments