Nasib Tragis Bocah-Bocah Palestina

Anak-anak Palestina yang malang (pic: reuters.com)


Dari 219 warga Palestina yang terbunuh di Gaza pada Mei tahun lalu, lebih dari 63 di antaranya adalah anak-anak. Mereka berbeda nasib dengan bocah lain di seluruh dunia yang menjalani kehidupan dengan baik dan aman


Hampir seluruh wilayah dunia terutama negara-negara barat sangat cepat bereaksi begitu melihat Ukraina diinvasi Rusia. Namun reaksi yang sama tidak terlihat ketika Palestina menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Israel. Bahkan seakan tutup mata meskipun yang mendapat perlakuan sewenang-wenang sebagian besar adalah anak anak.

Negara negara barat terutama Amerika sudah lama dikenal sebagai negara yang getol memperjuangkan hak asasi manusia, namun tampaknya solidaritas itu lebih menggelora pada Ukraina yang berdekatan dengan benua Eropa daripada dengan Palestina. Mungkinkah karena perbedaan ras dan kepentingan politik tertentu?


Palestina: sudah jatuh tertimpa tangga

Apabila kita mengulik sejarah dunia ke belakang. Saat banyak imigran Yahudi yang kocar-kacir melarikan diri akibat Holocaust dan kekejaman Hitler. Hingga sebagian besar mereka menyelamatkan diri ke Palestina. Kita bisa memahami bahwa kemurahan hati itu kini telah menjadi bumerang yang membuat Palestina terjajah di wilayah negaranya sendiri. Palestina ibarat peribahasa "sudah jatuh tertimpa tangga," 

Dibandingkan dengan Ukraina yang pernah menjadi bagian dari wilayah negara Rusia, untuk kemudian mbalelo memerdekakan diri, sehingga wajar bila kemudian Rusia ingin mengintervensi negara bagian tersebut kembali ke dalam pangkuannya. Meskipun harus diakui, bahwa secara hukum internasional Rusia melanggar karena dianggap menginvasi negara lain, tapi bagaimana bila disejajarkan dengan kependudukan Israel terhadap Palestina?

Dalam tulisan ini kita akan mencoba melihatnya secara adil dari kacamata kemanusiaan. Bila ditelusuri, kesalahan Rusia adalah ingin menguasai kembali negara yang pernah menjadi wilayah bagiannya. Sedangkan Israel ingin menguasai wilayah yang dimenanginya saat perang meskipun di masa lampau, penduduknya pernah membantu menyelamatkan dari Holocaust dan kekejaman Hitler.

Ketika Ukraina sedikit dicolek Rusia, maka dunia, terutama Amerika dan teman temannya cepat membantu dengan mengirim bahan bantuan dan persenjataan. Sementara ketika Palestina mengalami perlakuan buruk Israel, hanya sebagian kecil negara yang peduli.

Sejenak berpikir rasionil, kok bisa begitu? Saat Israel menyerang Palestina, sebuah negara papa yang tak memiliki apa-apa, tak ada senjata canggih selain rudal jadul dan batu saja. Negara pejuang HAM Amerika tak bereaksi sedikit pun mendengarnya. Padahal secara rasionil, jelas Palestina lebih menderita dari Ukraina, sebab selain miskin, persenjataan pun tak ada. Sedangkan Ukraina selalu dipasok senjata oleh USA dan sekutu-sekutunya.

Palestina tertindas karena dikalahkan dalam perang di tahun 1967. Sebuah perang sebagai alibi keserakahan Imigran Yahudi yang ingin menguasai wilayah negara yang pernah menyelamatkannya dari Holocaust.

Ketika dunia berani berbicara jujur atau memberikan komentar negatif terhadap Israel ataupun imigran Yahudi, maka akan dicap antisemit. Akibatnya Israel selalu menang di atas angin karena ada pembelaan luar biasa dari negara superpower dunia dan superkaya yakni Amerika. 

Pembelaan USA bukan hanya dari segi diplomatik, namun juga materiil. Dunia tidak akan lupa saat negeri Paman Sam memberi kelengkapan persenjataan canggih dan alat pelontar rudal agar Israel aman dari upaya lempar rudal Palestina.

Palestina dianggap biang kerok yang selalu mengganggu Israel dengan serbuan rudal-rudal jadulnya sehingga dicap teroris. Namun dunia lupa latar belakang Palestina melakukan hal tersebut, yakni akibat menderita dan diperlakukan sewenang-wenang di tanah kelahiran sendiri, dijajah oleh bangsa yang dahulu pernah numpang hidup di negaranya.

Namun dunia sudah lupa sejarah penyebab Palestina melakukan hal yang disebut teror. Maka bukan hal aneh lagi bila kemudian propaganda USA berhasil membuat dunia bungkam dan membiarkan segala perilaku Israel terhadap Palestina, meskipun kesewenang-wenangan itu dilakukan terhadap wanita dan anak-anak tak berdosa atas nama pembenaran akibat perilaku yang dicap teoris.

Dengan senjata batu dan rudal jadul, rakyat Palestina yang berani melawan Israel akan dicap teroris. Sementara Israel dengan persenjataannya yang supercanggih kerap membunuh dan memenjarakan warga Palestina tanpa pandang bulu tak pernah sedikitpun dicap teroris, apalagi cap genosida. 

Hingga dalam suatu laporan yang diterbitkan April 2021, Human Rights Watch barulah berani menyebut otoritas Israel menjalankan praktik apartheid, kejahatan atas kemanusiaan, baik terhadap orang Palestina di Israel maupun mereka yang hidup di bawah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza. (BBC News, 13 Mei 2021)

Mari bandingkan dengan perlakuan Rusia terhadap Ukraina. Jika Anda menilainya sebagai kekejaman, maka pendapat anda senada dengan Présiden Ukraina yang mencapnya sebagai genosida. Bahkan dunia, terutama negara-negara Uni Eropa melabelinya sebagai penjahat perang. Namun kenapa ketika Israel melakukan serangan udara dan perampasan tanah dan bangunan Palestina, seluruh dunia tenang-tenang saja?


Penyebab Palestina tak dibela Amerika

Kini kita memahami bahwa kesamaan ras dan kepentingan politiklah yang membuat Amerika berbeda sikap terhadap sebuah invasi yang dilakukan sebuah negara. 

Lalu penyebab apa saja yang membuat Amerika tak berminat membela Palestina? 

Faktor kepentingan

Palestina negara miskin, apalagi mengalami penjajahan oleh negara yang dulu ditolongnya. Hingga saat ini Israel secara sewenang wenang merampas segalanya hingga kian miskin. Bahkan kekayaan alam pun tak ada, jadi wajar bila USA tak berminat membelanya. Akan berbeda jauh bila yang diinvasi adalah Kuwait atau negara-negara timur tengah nan tajir lainnya, pasti USA akan cepat bertindak. Sekali lagi tanpa harus mengabaikan kemanusiaan, tentu saja ada faktor kepentingan didalamnya.

Motif politik dan kekuasaan

Israel dibantu karena banyak imigran yahudi yang berhasil mengepakkan suksesnya di negeri Paman Sam, sehingga memberi banyak devisa negara. Seperti penyanyj Gloria Estefan yang sedemikian tajir, atau Marc Zuckerberg yang harga saham Facebooknya pernah melambung tinggi, atau Donald Trump mantan presiden USA yang memiliki campuran darah Yahudi, dan masih banyak nama lainnya lagi yang duduk dalam pemerintahan, Sehingga mampu membuat arah kebijakan yang membela kepentingan zionis. Jadi wajar bila USA sangat memihak Israel. Selain masalah fulus dan kekuasaan, kepentingan politik juga mendominasi kuat.


Bocah-bocah Palestina yang malang

Sistem pertahanan Kubah Besi Israel mampu mencegat 90% roket yang ditembakkan ke wilayahnya. Sementara Palestina tak memiliki apa-apa, sehingga jika terkena serangan udara Israel, maka selain membuat puluhan nyawa melayang, bangunan yang rusak pun memerlukan puluhan tahun kembali untuk dibangun. 

Kini kita memahami bahwa sampai akhir dunia pun, Palestina tetap akan tak terbela. Bahkan boleh jadi hanya akan tinggal nama, sebab wilayahnya sedikit demi sedikit digerogoti Israel. 

Palestina tidak bisa membela diri, karena negara ini tidak memiliki tentara, sementara Israel memiliki tentara. Palestina hanya memiliki polisi dan itupun hanya menangani permasalahan dalam negerinya sendiri, bahkan senjatanya pun tak canggih akibat ketinggalan zaman.

Bahkan yang paling miris akibat terjajah dan terbodohi sekian lama. Palestina hanya mampu membela diri dengan melempar-lempar batu, sementara setiap harinya selalu ada saja kematian warga akibat perlakuan Israel, terutama perempuan dan anak anak. Seperti tewasnya seorang anak perempuan bernama Jana Zakarneh di atas rumahnya pada awal Desember lalu, akibat ditembak tentara Israel di bagian kepala. Hal ini menandai bahwa di tahun 2022 lebih dari 150 warga Palestina telah dibunuh di Tepi Barat. (BBC News 13 Desember 2022)

Sementara Israel lebih beruntung, sebab dapat berbagi tugas antar penduduknya karena persenjataannya canggih. Tentara bertugas khusus menjaga keamanan, sedangkan warga lainnya sibuk dengan kepentingannya, seperti membuat nuklir, persenjataaan alutsista canggih, ataupun melakukan penelitian. Itulah kenapa Israel selalu melahirkan ilmuwan-ilmuwan baru dengan segudang penemuan canggih.

Sehingga bukan hal mengherankan bila dalam hal kesiapan membuat negara dan aturannya, Israel lebih siap, karena ada waktu dan biaya. Itulah kenapa hukum yang berlaku adalah aturan yang dimiliki Istael. Akibatnya tidak heran bila warga Palestina sering terusir semena-mena tanpa bisa membela diri sebab pemilik peraturan dan pengadilan adalah Israel.

Palestina tak bisa berbuat apapun karena wilayahnya secara perlahan digerogoti Israel. Bahkan perkembangan imigran yahudi kian bertambah cepat, sehingga memerlukan tambahan bangunan untuk ditempati. Keadaan inilah yang membuat Israel dengan seenak udelnya bisa membuat klaim tentang kepemilikan bangunan dan tanah milik warga Palestina dengan semena mena. Penduduk Palestina tak bisa berbuat apa-apa di bawah perintah pengadilan zionis dan todongan senjata tentara Israel

Maka tak heran lagi bila Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa militer Israel berwenang untuk mengusir lebih dari 1.300 warga Palestina yang bermukim di sejumlah desa di Masafer Yatta, kawasan perbukitan sebelah selatan Hebron, Tepi Barat. Kasus Masafer Yatta telah bergulir selama 20 tahun di pengadilan, yang membuat banyak petani Palestina tak berdaya berhadapan dengan Angkatan Bersenjata Israel. (BBC News 6 Mei 2022)

Kematian anak-anak Palestina seakan tak membuat dunia mengutuk perbuatan biadab Israel. Nyawa tak berarti apa-apa bila yang melakukan adalah tentara-tentara negara zionis tersebut, sebab dianggap permakluman pembelaan diri.

Selain anak-anak Palestina, anak-anak Suriah juga telah terbiasa dengan pembunuhan, kematian, dan pengeboman. Seperti yang dilakukan Israel beberapa hari yang lalu hanya karena tidak menyukai pemerntahan Bashar Al Ashaad.

Bocah-bocah malang itu berbeda nasib dengan bocah lain di seluruh dunia, yang menjalani kehidupan dengan baik dan aman. Berjalan-jalan ke mall, taman hiburan, ataupun nonton bioskop. Sedangkan anak-anak Palestina justru bermain di kuburan teman-temannya yang tewas ditembak dan dibombardir Israel. ataupun mengais-ngais puing-puing reruntuhan rumahnya yang terkena serangan udara.

Warga Palestina, apakah anak-anak, wanita, ataupun pria dewasa, tetaplah dianggap trouble maker. Sehingga perlakuan over acting Israel dianggap wajar dan biasa-biasa saja saat menghadapi Palestina yang miskin serta suka mengganggu.

Dari 219 orang yang terbunuh di Gaza 18 Mei 2021, lebih dari 63 di antaranya adalah anak-anak, menurut kementerian kesehatan yang dikendalikan kelompok Hamas, Hingga seorang pria menangis pilu atas kematian putrinya yang berusia 12 tahun di Gaza. Kematian mendadak bukan hal mengherankan lagi di Palestina.

Dengan mengabaikan segala macam perbedaan ras, politik dan agama, mari bertanya pada hati nurani. Atas dasar apa dunia diam saja saat Palestina diperlakukan dengan tanpa kemanusiaan oleh Israel? Benarkah kita anti semit bila mengemukakan semua ini? Lalu bagaimana dengan perlakuan dunia yang menutup mata terhadap penderitaan Palestina? Apakah termasuk anti semit atau anti semut?

Secara nalar, tidak akan ada kelakuan lempar batu dan lempar rudal dari Palestina seandainya Israel tak terus menerus menggerogoti wilayah serta berbuat sewenang-wenang.

Ketika kedamaian antar megara dapat ditempuh dengan cara Palestina diharuskan menahan diri untuk menghentikan lemparan batu sembunyi rudal. Maka sudah sewajarnya Israel juga melakukan hal serupa, bersikap adil dan berhenti menggerogoti dan merampas tanah dan bangunan yang bukan hak miliknya.

Bocah-bocah Palestina tidak akan pernah merasakan indahnya masa anak-anak bila dunia terus-menerus bersikap berat sebelah terhadap Israel. Namun di sisi lain, bukan hal mengejutkan lagi bila dunia sangat bergantung pada beagam tekhnologi, alutsista, intelijen dan beragam kebutuhan vital yang dipasok Israel. Bila sudah begini, masih mampukah dunia bersikap adil dan tidak berat sebelah? Hanya waktu dan kepentingan politik yang bisa menjawabnya.

Semoga tragisnya nasib anak-anak Palestina hanya menjadi cerita akhir tahun lalu yang tidak akan terulang lagi di 2023!

Comments