Mengajar adalah Pesta Pora dan Kebahagiaan

 

pic:outputeducation.com



Risih, sangat terganggu saat membaca berita beberapa waktu terakhir ini. Banyak guru mendekam dijeruji besi oleh siswanya sendiri. Beragam kasus terjadi, seperti misal siswa mengadu ke orangtuanya, hingga tanpa ba-bi-bu ortu melabrak ke sekolah. Lalu semua berakhir di kantor polisi dengan penahanan sang guru



Masyarakat yang kian melek hukum, serta adanya Undang-undang Perlindungan Anak, plus eksisnya Lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) jelas sangat gigih dalam membela hak anak. Hal inilah yang membuat para orangtua murid kian berani menyuarakan hak-hak anaknya apabila terusik.

Lalu dimanakah kesalahan ini terletak? Apakah orangtua yang salah, karena sedemikian mudah menerima dan mempercayai aduan anaknya sampai nekat melabrak guru, menghantam, atau bahkan menyeretnya ke jeruji penjara? Ataukah siswa yang sedemikian bermulut ember dan sangat cengeng, sehingga terusik sedikit langsung mengadu pada ortunya? Atau jangan-jangan memang guru yang getol melakukan kekerasan baik fisik atau verbal kepada siswa hingga melanggar hak anak?

Dalam menghadapi beragam kasus di atas, seperti diseretnya guru ke jeruji besi akibat kekerasan terhadap siswa, atau siswa yang hobi ngadu ke ortu, , atau ortu yang melabrak guru hingga benjol-benjol. Semua ini harus kita lihat dari beragam kacamata sudut pandang, sehingga kita bisa adil dalam memberikan penilaian dan pemecahan masalahnya.

 

Melihat dari kacamata guru

Sebagai seorang pendidik, seorang guru sudah pasti terdidik. Guru yang menurut istilah berasal dari bahasa Jawa, digugu (didengarkan) dan ditiru. Jelas menunjukkan guru sebagai seorang pendidik patut diperhitungkan, ia memiliki kesempurnaan moral, dan juga kesabaran tingkat tinggi.

Tentu masih lekat di ingatan kita, saat pandemi Covid-19 merebak, hingga pembelajaran online berlaku. Seluruh siswa sedunia, juga di Indonesia mengikuti kegiatan pembelajaran dari rumah dengan didampingi ortu mereka. Tak dinyana tak disangka, banyak terjadi tindak kekerasan, baik verbal atau fisik yang dilakukan orangtua terhadap anaknya. Semua akibat ketidaksanggupan mereka menahan emosi saat menemani buah hatinya mengerjakan tugas-tugas.

Dari peristiwa ini kita bisa memahami, bahwa ternyata mengajari anak, tidak semudah ”mangapnya lambemu.” Diperlukan ketelatenan, pemahaman dan kesabaran tingkat tinggi. Dengan demikian, setidaknya ortu menjadi memahami betapa mengajar anak bukanlah perkara mudah. Apalagi seorang guru, yang tidak hanya mengajar satu dua orang siswa, namun ratusan, dengan beragam sifat, yang tentu saja tak semua menurut dan patuh.

Jika ortu menghadapi satu anak saja sudah uring-uringan dan terjadi tindak kekerasan pada anak. Apalagi guru?!? Tapi untunglah guru adalah manusia super sabar yang mampu mengelola emosinya dengan baik. Sehingga saat ratusan siswa diantar ke sekolah, maka ketika pulang sekolah mereka baik-baik saja, sudah selayaknya ortu bersyukur. Sebab seandainya guru kurang dapat mengelola kemarahanya, bisa dibayangkan berapa ratus siswa yang pulang sekolah dalam keadaan benjol-benjol.

Namun, memang tak semua guru mampu mengelola emosinya dengan baik. Tak sedikit guru yang melakukan kekerasan terhadap siswa karena beragam penyebab. Selain kekurangmampuan dalam mengelola masalah, juga adanya permasalahan pribadi yang terpendam, hingga berimbas pada siswa. Tapi tak semua guru seperti ini, hanya beberapa oknum saja.

Jadi ketika terjadi tindak kekerasan terhadap siswa. Jangan langsung mendiskreditkan bahwa pasti semua guru seperti itu, sebab hal tersebut hanya perbuatan oknum. Sehingga tidak ada sikap ”gebyah uyah” alias menyamaratakan segala sesuatu.

 

Melihat dari kacamata siswa

Mungkin ada beberapa siswa yang kurang terdidik baik di rumah, sehingga kurang etika saat di sekolah. Guru yang kurang dapat mengelola emosi, tentu saja akan melampiaskan emosinya pada siswa yang kurang ajar ini. Padahal di sisi lain, mungkin siswa ingin dimengerti guru. Lingkungan keluarganya yang amburadul lah yang membuatnya kacau. Bila ditambah dengan kekerasan oleh guru d sekolah, maka bisa dibayangkan betapa makin kacaunya suasana psikis siswa tersebut.

Atau bisa juga siswa dididik dalam kemanjaan yang terlalu, hingga kurang disiplin. Sehingga ketika hukuman kedisipilinan diterapkan guru, dianggap sebagai siksaan dan kekejaman, hingga mengadulah ia kepada ortunya. Karena ortu terlalu memanjakan anak, sehingga aduan anak ditelan mentah-mentah tanpa konfirmas ke guru. Akibatnya, ortu melabrak ke sekolah hingga kepala guru benjol-benjol masuk ICU.

Tetapi terkadang tak semua guru mampu mengendalikan emosnya dengan baik. Ketika siswa melakukan kesalahan kecil demi mencari perhatian guru, karena di rumah kurang perhatian ortu. Justru guru menanggapinya dengan salah paham, hingga kemudian siswa babak belur.

 

Melihat dari kacamata ortu

Ketika Ortu meninggalkan anaknya di sekolah, mereka ingin semua akan baik-baik saja. Tidak ada tindak kekerasan, baik verbal atau fisik. Namun ketika ortu tiba-tiba mendengar terjadinya kekerasan, tentu saja mereka naik pitam. Apalagi ortu egois, ia merasa telah sibuk bekerja, sudah seharusnya sekolah menjaga anaknya secara baik. Apalagi bila sekolah telah dibayar mahal.

Tipe ortu praktis tidak mau repot dengan tetek bengek laporan negatif menyangkut anaknya. Apalagi bila anaknya menjadi korban kekerasan di sekolah. Ini sangat merepotkan, melelahkan, membuat stres  dan menyita banyak waktu.

 

Langkah penyelesaian kasus

Guru

Guru lebih mampu mengelola emosi. Ketika menjumpai siswa yang melanggar disiplin, sudah selayaknya menerapkan hukuman yang manusiawi, tidak menyebabkan trauma, luka batin, penderitaan verbal atau pun fisik.

Siswa

Lebih patuh, mendengar nasehat, serta tidak memancing emosi guru. Siswa berusaha memahami guru, bahwa sesabar-sabarnya guru, ia tetaplah manusia, yang memiliki emosi, masalah pribadi, dan ambang batas emosi terbatas.

Ortu

Tidak asal menerima aduan anak. Ortu sebaiknya mengkonfirmasi aduan kepada guru dengan kepala dingin meski hati panas, lalu diadakan pertemuan empat mata. Dengan demikian akan terselesaikan masalah tanpa kesalahpahaman. Sebab akan sangat tidak elok ketika ortu main baku hantam, akan terlihat kekanak-kananakan dan memberi contoh negatif yang berakibat buruk pada kondisi kejiwaan anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?