IBUKU  KARTINIKU  DAN  AKU  SAAT  INI





Mengenang Kartini bagiku sama dengan mengenang Ibuku, seorang perempuan hebat yang sangat tegar dan pemberani dalam hidupnya.
Masih ingat dalam kenanganku di masa aku kecil dulu, aku selalu mengikuti Ibuku saat di sekolah, Ibuku seorang kepala sekolah sebuah sekolah swasta, mungkin karena jiwa kepemimpinannya yang luar biasa menjadikan beliau kepala sekolah di sekolah swasta yang saat pertama ibuku bertugas disana penuh dengan cacian tak bermutu karena rata-rata muridnya berasal dari masyarakat kelas bawah.

Tak membutuhkan waktu lama bagi Ibu untuk memperbaiki citra sekolah yang tertinggal dan tanpa peminat, dari jumlah siswa yang semula bisa dihitung dengan jari hingga kemudian menjadi berlipat-ganda.
bukan hal mudah bila pada awalnya sekolah itu hanya tempat buangan anak-anak nakal yang putus sekolah, drop out, dipecat sekolah karena hal-hal berat semacam penganiayaan atau kejahatan berat lainnya. 
Namun aku kecil yang selalu cermat mengikuti garis kehidupan Ibu, menemukan sebuah kelebihan yang dimiliki beliau lebih dibanding metode pengajaran pendidik lain saat itu. Ibu tak pernah selalu mendikte habis murid-muridnya, beliau selalu memberi dorongan demi perubahan dan keberhasilan murid-muridnya, saat berada di tengah- tengah mereka Ibu mendengarkan segala keluh kesah dan curhat mereka, bahkan karena hal itulah bahkan Ibu lebih tahu keadaan kejiwaan siswa-siswanya dibanding orang tua mereka sendiri. kemudian saat Ibuku harus berperan kembali sebagai pemimpin dan guru bagi mereka, Ibu memberi contoh yang luar biasa, sebuah teladan yang tak kan terlupakan olehku hingga saat ini, Ibu sangat berwibawa, beliau hanya berkata dan menasehati, tanpa kekerasan, tanpa tamparan, tanpa tekanan, semua serba demokratis, mungkin karena itu murid-murid sangat segan pada beliau. Dan ajaibnya murid-murid yang semula dicap sebagai trouble maker, biang kerok, sampah jalanan, berhasil lulus ujian sekolah dengan nilai pelajaran dan budi pekerti yang membuat orang tua dan lingkungan masyarakat berdecak kagum.
Sekolah swasta yang semula hanya bangunan kecil bobrok pinggir jalan dan terpinggirkan beberapa waktu kemudian berubah menjadi sekolah megah dengan minat masyarakat yang tinggi untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka disitu. Sumbangan dari alumnus mantan-mantan murid Ibuku yang sudah sukses dalam pekerjaan ataupun donasi dari orang tua yang anak-anaknya bersekolah di situ datang silih berganti, mengalir seperti air bah.

Tetapi perjuangan Ibu yang luar biasa itu tidak mendapat dukungan penuh dari rekan-rekan kerja atau lebih kerennya disebut lawan-lawan politik beliau yang notabene laki-laki. Hingga sebuah kejadian terjadi, terkonspirasi, entah disengaja atau tidak, yang akhirnya membuat Ibuku tersingkirkan, dan aku yang kecil saat itu baru memahami saat ini bahwa kekuasaan akan membuat kawan menjadi lawan hanya karena faktor iri hati dan kepentingan.
Ibuku perempuan mulia, beliau bukan pendendam, saat harus pindah kerja ke pulau lain, Ibu tetap berpesan pada dua orang kakak lelakiku yang saat itu sudah dewasa dan untuk menjadi guru di sekolah yang ditinggalkan Ibu agar dapat melanjutkan mendidik siswa- siswa yang bermasalah dengan telaten dan kesabaran.
Ibuku perempuan hebat, dia melanjutkan cita-citanya menjadi pendidik dengan pindah ke sebuah pulau agar dapat berkonsentrasi, dengan sasaran murid yang rata-rata sama, bermasalah dan tak ada minat belajar.
Masih lekat dalam ingatanku saat itu aku masih kelas tiga Sekolah dasar, sebagai anak bungsu yang perempuan satu-satunya rasanya wajar bila aku sangat dekat dengan Ibuku, sementara empat kakakku bersama Ayah yang juga sibuk dengan perusahaannya.

Bersama Ibu di pulau yang terpencil, meski sesekali pulang atau Ayah dan Kakak-kakakku yang datang mengunjungi tetaplah kesepian dan keinginan untuk berkumpul kembali terngiang-ngiang.
Tepat dua tahun, aku mendengar Kakak-kakakku yang melanjutkan cita-cita di sekolah Ibu yang dahulu kembali disingkirkan, tanpa alasan yang jelas, tanpa surat peringatan, tanpa musyawarah, tanpa uang pesangon, semua berlalu begitu saja seperti lawan politik yang tak memiliki etika dalam mengambil keputusan.

Kini Ibu tak ada lagi, Ibu meninggalkanku saat aku masih haus kasih sayang dan kelembutannya. Bahkan aku tak sempat melihat saat pemakaman terakhirnya karena aku sibuk dengan ego dan keinginanku yang menjadi penyesalan seumur hidupku.

Sekarang aku mulai berhasil bangkit lagi setelah berjuang melawan penyesalan dan air mata itu, tak mungkin aku berkubang dalam rasa terus-menerus karena dunia sekitarku telah berubah cepat dan meninggalkanku.
Pertama bangkit aku merasa seperti manusia jaman batu yang sangat ketinggalan jaman, untunglah aku tidak sampai menderita penyakit kejiwaan. Tuhan banyak membantu dalam proses penyembuhan luka batinku, thanks Allah!

Saat ini aku sudah kembali bangkit, meski kadang masih tercenung dengan kejadian tempo lalu, tapi aku harus bangkit! melanjutkan cita-cita Ibuku yang mulia dengan menjadi Guru, dan menerapkan sistem pengajaran, pendidikan dan pengayoman yang sama seperti Ibuku, kini aku memahaminya sebagai sistem pengajaran yang pernah diterapkan oleh Ki Hajar dewantara, Menteri pendidikan pertama di Indonesia dan sekaligus pendiri sekolah Taman Siswa, Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah-tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan)
Meski aku terlalu terlambat untuk menjadi guru karena terjegal ego dan keinginanku, kini aku merasakan indahnya menjadi guru dengan sistem pengajaran yang kucontoh dari Ibuku, keindahan itu kurasakan dengan senyum manis murid-muridku saat menyambut kedatanganku, berebut mencium tanganku, dan yang paling lucu adalah saat mereka berebut membawakan tas dan barang-barang yang kubawa saat mengajar, tak jarang mereka jatuh berguling-guling hanya karena ingin menjadi yang pertama membantuku, sungguh murid-murid yang luar biasa!

Kebahagiaan terbesarku adalah saat mereka bermasalah berat, kemudian aku mampu memecahkan dan membantunya, luar biasa anugerah melihat mereka bisa kembali sebagai anak-anak yang tanpa beban dan masalah.
Pernah seorang murid lelakiku setiap pulang sekolah selalu merokok di sepanjang jalan, aku menjumpainya, mengambil sebatang rokok di tangannya dan kembali melanjutkan laju mobilku, eh beberapa saat melihatnya memegang sebatang rokok lagi, kembali aku turun dan mengambilnya, tanpa bentakan , tanpa tamparan, tanpa tendangan, aku tersenyum dan mengambil lagi sekotak rokok yang ternyata ada di tas sekolahnya. 
Keesokan harinya aku memanggilnya dan mengajaknya berbicara empat mata, segala ceritanya, segala keluh kesahnya aku dengarkan, lagi-lagi aku mengadopsi cara pengajaran Ibuku, dan memang terbukti berhasil, sampai saat ini aku tak pernah melihatnya merokok lagi, bahkan menurut teman-temannya di rumahpun dia tak pernah lagi menyentuh barang itu, padahal aku tak mengawasinya!

Banyak ragam kejadian unik yang kualami bersama murid-muridku, dan semua berhasil kutangani dengan pertolongan Allah, dan kurasa aku tak perlu pamer kepada teman-teman mengajarku yang lain tentang hal itu, dan memang alangkah lebih baiknya bila seorang pendidik berhasil memecahkan masalah tanpa menunggu pujian dari teman kerja ataupun atasan, suatu hari aku ingin seperti Ibu, memimpin sebuah sekolah dengan bukan hanya prestasi kecerdasan pada murid-muridnya, tetapi juga prestasi budi pekerti luhur dan etika, semoga Allah membantu dan meridhoi cita-citaku menjadi Kartini masa kini, Amien yaa Robbal Alamien

Comments