ORANG TUA TERLALU AMBISIUS, EMPATI ANAK PUTUS?

Beberapa waktu lalu saat standarisasi sekolah belum dihapus oleh Pemerintah, banyak orang tua berambisi memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah berstandart nasional bahkan kalau perlu berstantard internasional, bahkan syukur-syukur kalau sekalian dengan pendidikan agama yang kuat di dalamnya. Sungguh suatu kemajuan yang menggembirakan di tengah kemajuan dan pengaruh tekhnologi informasi yang terkadang bukan hanya membawa arus positif tapi terkadang membawa sampah-sampah negatif yang terikut di dalamnya.

Suatu fenomena menarik tentang keinginan para orang tua yang sangat membawa angin segar, tetapi janganlah angin segar itu hanya berupa rasa gengsi dan pelarian dari kesibukan mencari uang.
Di era tekhnologi dan tuntutan kerja yang kian menyita waktu para orang tua seperti saat ini, berangkat pagi pulang malam, terkadang anak-anak menjadi terabaikan, bukan hanya faktor kasih-sayang, bahkan faktor pendidikan dan agama menjadi ketinggalan, sehingga para orang tua yang super sibuk ingin sesuatu yang praktis sebagai imbal balik dari kesibukannya banting tulang mencari nafkah, istilahnya bersedia keluar materi berapapun asalkan ada yang sanggup menggantikan posisinya  agar suatu hari kelak para orang tua super sibuk ini tinggal memetik hasilnya.

Namun satu hal mencengangkan yang kita dengar akhir- akhir ini dari media massa dan santernya berbagai pemberitaan, bahwa ternyata moral generasi muda kita berada pada titik balik yang memprihatinkan, bahkan yang paling membuat bangsa ini mengelus dada, tingkat pergaulan bebas kian meningkat, hingga dikatakan gadis belum tentu perawan, pemakaian narkoba melonjak, dan tingkat kesukaan sesama jenis meningkat drastis.
Ada apa dengan semua ini? padahal beberapa waktu lalu para orang tua berlomba- lomba memasukkan anaknya ke sekolah- sekolah favorit yang diharapkan mampu merubah anaknya menjadi anak yang siap mentalitas lahir dan batinnya?


Ada satu hal mencuat ke permukaan yang sepertinya sangat menarik untuk dikaji dari berbagai persoalan yang menimpa generasi ini, mungkinkah ambisi orang tua untuk memaksa mengisi memori anak-anak mereka dengan rekaman masa depan yang orang tua inginkan berakibat memori mereka menjadi hang out, karena mereka bukanlah robot atau CPU yang menerima saja apapun yang masuk ke otak mereka. 

Generasi muda memiliki naluri, perasaan dan pikiran, sehingga pada saat memori itu full, mereka ingin menjadi diri mereka sendiri, sehingga kadang-kadang over acting.
Berapa banyak tawuran yang terjadi di negeri ini, kalau kita runtut ke belakang, ternyata mereka bukanlah anak-anak dengan cukup kasih sayang dan perhatian di rumah, hingga pelarian mereka ke jalan, sebab mereka beranggapan di jalanlah mereka mendapat pengakuan, identitas diri, kebanggan, pujian yang selama sekian waktu tak pernah mereka dapatkan dari orang tua.

Contoh yang paling nyata adalah perilaku dari tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, misal masalah impor daging, kalau kita mengkaji masa lalu Fathonah, apa sih yang kurang darinya? latar belakang pendidikan agamanya sangat bagus, tapi mengapa bisa terjerat di kasus penyuapan dan perempuan, satu hal yang kemudian menjadi spekulasi di pemikiran kita, mungkin dulu dia adalah korban ambisi orang tua juga, yang menginginkan anaknya menjadi number one, hingga kemudian saat menjadi dewasa timbullah fase titik jenuh, keinginan menikmati kebebasan yang tak pernah dia dapatkan saat muda dahulu.
Lutfi hassan Ishak, Presiden PKS yang terjebak juga dalam kasus di atas, bahkan dikabarkan menikah siri dengan gadis belia, ada apa? padahal latar belakang pendidikan dan agamanya bagus, mengapa dia sampai hati melukai hati dan perasaan istrinya terdahulu, kembali kita berpikir, mungkin dia tidak beda jauh dengan Fathonah, menjadi korban ambisi orang tua yang menginginkan anaknya menjadi the best, hingga si anak menjadi kurang empati, sebab orang tuanyapun mungkin kurang empati terhadap keinginan Lutfi kecil. Sehingga saat dia menjadi dewasa dan mampu beridiri di atas kakinya sendiri, diapun menjadi kurang berempati terhadap perasaan istrinya.
Namun dengan contoh-contoh di atas belum tentu semua anak menjadi gagal dengan ambisi orang tuanya, mungkin ada banyak generasi sukses dengan ambisi orang tuanya, meskipun kita tidak tahu apa isi hati mereka.

Sekarang saatnya anda berubah menjadi orang tua yang berempati terhadap anak-anak anda, tidak hanya mengajarkan kecerdasan IQ, Agama, tapi juga Emosi. Sebab bila orang tua hanya sibuk dengan ambisi
pribadinya, memaksakan kehendak, tak menutup kemungkinan suatu hari nanti Anak- anak itu hanya akan tumbuh menjadi generasi pemaksa tanpa empati, karena kesibukan kerjanya, mau tidak mau mereka mengisolir orang tuanya di panti jompo, namun bila sejak dini rasa empati dan hubungan batin Orang tua- Anak sudah kuat, maka dia akan berpikir beribu-ribu kali untuk menjauhkan orang tua dari hidupnya sebab dia telah terikat batin, akan merasa ada yang hilang dari dirinya saat orang tua tak di sisinya.

Comments