Brigadir J Menjadi Korban akibat ‘Hal Itu’ dan Deolipa Bukan LGBT

Mantan pengacara Bharada E Deolipa Yumara (pic:tribunnews.com)


Kasus Brigadir J seperti buah simalakama jika tidak diungkap akan membuat kian besarnya tanda tanya publik namun bila diungkap secara gamblang maka akan ada harga diri dan kehormatan yang dikorbankan 



Kasus Brigadir J tidak beda jauh seperti kasus-kasus kriminal sadis yang biasa terjadi pada manusia sipil, namun selain sadis, juga biadab, karena dilakukan oleh mereka yang dipercaya rakyat untuk membawa senjata. Peluru-peluru dari pistol yang dibiayai uang rakyat tiba-tiba dihamburkan begitu saja hanya untuk menghabisi nyawa seseorang akibat kemarahan pribadi.


Akan lebih nyaman melihat kasus ini secara transparan dan adil dari semua pihak, sehingga tidak terkesan menyudutkan seseorang yang sudah nyata bersalah namun menjadi kian babak belur dengan kesalahannya, ataupun membiarkan nama baik seseorang tercemar hingga akhir hayatnya padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan yang dituduhkan.


Memang dalam sebuah kasus, yang salah tetap salah, yang benar harus dibela, kebenaran harus ditegakkan. Masyarakat tentunya semua menginginkan hal seperti itu, meskipun terkadang banyak drama dan sandiwara dari banyak kasus yang terjadi, dan tentunya kasus Brigadir J juga, yang ternyata banyak dipenuhi skenario kebohongan serta dibumbui obstruction of justice (menghalangi upaya penegakan hukum).



Deolipa diganti bukan atas keinginan Bharada E?


Kasus yang pada awalnya disebut sebagai kejadian baku tembak antar anggota kepolisian karena Brigadir J dianggap melecehkan istri komandannya sempat mengelabui mata dan telinga publik. Hingga kemudian kenyataan di lapangan berbicara lain, setelah ditelusuri dari saksi dan bukti, hingga Bharada E yang dinyatakan sebagai tersangka, berani mengungkapkan bahwa kejadian tersebut bukan tembak menembak, namun justru dialah yang menembak atas perintah atasannya, sehingga terkuak adanya skenario dari semua kejadian tersebut.


Setelah sempat bungkam saat bersama pengacara pertamanya, Bharada E dengan dikawal pengacara keduanya Deolipa Yumara berani mengungkapkan segala skenario pembunuhan itu dengan gamblang, hingga bersedia menjadi justice collaborator, yang kemudian berhasil menyeret tersangka utama FS. Namun sayangnya kejujuran Bharada E dan keberanian pengacara Deolipa yang secara menggebu-gebu menguak seluruh fakta yang terjadi di lapangan malah berbuah hal kurang enak. Secara tiba-tiba beredar surat pernyataan dari Bharada E bahwa dia telah memilih pengacara lain untuk menggantikan Deolipa.


Publik diliputi tanda tanya besar, mengapa pengacara setara Deolipa yang berhasil membuat Bharada E berkata jujur dalam mengungkap semua, baik melalui catatan pribadi ataupun hal lain justru malah diganti? 


Publik bukanlah sekumpulan orang lugu yang tak memahami semua itu, sebab dari kenyataan yang diungkapkan Deolipa, bahwa saat masih menjadi pengacara Bharada E, mereka telah sepakat jika suatu saat Bharada E ingin mengganti pengacara secara kemauan sendiri, maka agar tidak lupa menulis tanggal dan jam di dekat materai perjanjian.


Kesepakatan antara pengacara dan kliennya yang tergolong cerdik dan tidak terpikirkan orang awam ini akhirnya menjadi petunjuk kunci dari misteri surat pernyataan penggantian pengacara Deolipa. Tak ada kode tanggal ataupun jam didekat materai yang ditandatangani oleh Bharada E, memberi isyarat bahwa apa yang dilakukan menunjukkan dua kemungkinan, pembuatan surat pernyataan itu palsu, atau jika asli, jelas menunjukkan Bharada E berada di bawah tekanan saat melakukannya.


Toh meskipun Deolipa merasa ada yang tidak beres dari kliennya, namun kedudukannya sebagai pengacara Bharada E tetap diganti. Entah tekanan dari pihak mana hingga hal itu terjadi, tidak salah bila kemudian Deolipa naik pitam karena merasa bukan kliennya yang menginginkan penggantian itu, sehingga ingin menuntut ganti rugi 15  triliun dari negara.


Seperti apapun Deolipa berusaha mempertahankan kliennya, toh kenyataan berbicara lain, mulai 10 Agustus tugasnya digantikan oleh Ronny Talapessy. Memang patut disayangkan penggantian pengacara yang terjadi, terlepas dari sah atau tidaknya penggantian ini, namun Deolipa telah mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam dunia advokat saat mengungkap kejujuran klien menguraikan kasus penuh dengan sandiwara hingga terang benderang.


Publik menyukai Deolipa karena apa adanya, secara blak-blakan mengungkap segala hal yang ditutup-tutupi dibukanya tanpa tedeng aling-aling. Tetapi sayang, keberanian dan sikap ceplas-ceplosnya mungkin dinilai sebagian pihak sebagai hal yang terlalu mengintimidasi sang pesakitan, akibatnya dia diganti, entah dengan kemauan dan kesadaran sendiri dari Bharada E dan keluarganya, ataukah akibat dari tekananan pihak lain.


Kini publik menunggu, apakah setelah penggantian pengacara ini, akankah Bharada E kian terbuka lagi, atau justru malah bungkam di tengah jalan seperti saat didampingi pengacara pertamanya.



Deolipa lucu-lucuan bukan LGBT


Kasus yang dihadapi Ferdi Sambo bukan hal yang mudah, sebab menyangkut harga diri dan kehormatan, apalagi dia adalah seorang Jenderal dengan segala harkat dan martabat yang disandangnya.


Jangankan bagi seorang Jenderal, bagi wong cilik terkadang demi membela harga diri dan kehormatan, apapun rela dilakukannya, meskipun terkadang melakukan perbuatan yang di luar nalar. Sambo meiliki beban berat serta tanggung jawab besar yang harus dipikulnya jika hal yang menyangkut harga diri dan harkat martabat itu terkuak, karena dampaknya bukan hanya berimbas pada dirinya, sebab akan berdampak besar juga pada istri, anak, cucu, dan keluarga besarnya. Untuk itulah dia berusaha dengan segala cara agar hal itu tidak sampai bocor, apalagi sampai diketahui masyarakat negeri ini, lebih-lebih masyarakat dunia. Sehingga dia menempuh segala macam cara, mengatur skenario ala detektif, meskipun kemudian amburadul di akhir perjalanannya akibat dibongkar oleh Bharada E dengan kecerdikan pengacara Deolipa.


Pengacara Deolipa merupakan pengacara paling berani yang secara blak-blakan membuka, bahkan boleh disebut membredeli segala pengakuan dari kliennya. Namun akibat terlalu konvontrir dan blak-blakan inilah yang kemudian dinilai oleh pihak-pihak tertentu kurang menghormati hak pesakitan si tersangka FS. Pemakaian kata bajingan, mafia, mungkin dirasa terlalu vulgar, karena FS belum dihadapkan di pengadilan. Bahkan secara tersirat, entah sindiran atau lucu-lucuan, saat wawancara di sebuah televisi swasta, pengacara nyentrik ini menyebut rindu pada Bharada E, tapi rindu normal sebagai pengacara kepada kliennya, bukan rindu tidak wajar sebab dirinya bukan LGBT, akibatnya publik kian penasaran. 


Penasaran publik tak terjawab sebab Deolipa secara mendadak dicopot dan diganti pengacara lain, terlepas dari apakah hal tersebut merupakan pilihan hati Brigadir E ataukah tekanan dari pihak lain.



Brigadir J dan 'hal itu'


Mungkin memang Brigadir J sedang apes, saat melihat sebuah kejadian 'hal itu' saat di Magelang. Apakah dia telah pernah melihat sebelumnya di tempat lain, ataukah baru pertama kali melihat 'hal itu'. Namun terlepas dari baru pertama atau sudah pernah melihatnya, yang pasti bahwa apa yang disaksikannya adalah sangat menyangkut harga diri dan kehormatan FS, yang tentu saja akan berimbas juga pada kehormatan keluarga besarnya.


Apalagi netizen Indonesia sudah terkenal di seantero dunia kekejamannya dalam membulli, tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan FS. Apalagi jika sampai Brigadir J membocorkannya. Meskipun Brigadir muda ini sudah teruji dengan kesetiaannya pada Sang Jenderal, namun naluri kehati-hatian dan kekhawatiran FS tetap membuatnya tidak bisa mempercayai Brigadir J begitu saja.


Bahkan boleh jadi 'hal itu' juga berkaitan dengan ajudan-ajudan Jendral yang lain, terutama Bripka RR, sehingga demi menjaga harga diri dan kehormatan bersama, tentu saja harus ada cara agar hal itu tidak bocor ke publik, apalagi sampai diketahui oleh sang istri Jenderal, yang tentu saja selain memalukan, juga akan sangat melukai.


Tetapi masih patut diduga, P sebagai istri FS, mungkin sudah pernah mengetahui 'hal itu' sebelumnya, atau bahkan mungkin baru tahu dari Brigadir J saat di Magelang, sebab dari raut muka dan kesedihannya saat ditemui wartawan ketika membesuk FS di Mako Brimob, nampak P terlihat sangat terpukul.


Mata P yang  bengkak, menunjukkan dia telah banyak mengeluarkan air mata, langkahnya yang gontai, isak tangisnya, tampak menunjukkan luka paling dalam akibat mengetahui 'hal itu', dan mungkin Brigadir J adalah teman berbagi cerita pahit dari 'hal itu.'


Tampaknya tak ada hal yang patut dicurigai ataupun dibenci dari P, sebab sebagai istri seorang Jenderal yang pernah sangat dihormati dan disanjung keluarga dan rakyat Indonesia, tentu saja dia harus berupaya menjaga kehormatan dan harga diri suaminya, meskipun harus mengorbankan diri sendiri. 


Meskipun yang dialami P dibantah sebagai trauma oleh para psikolog, namun sebetulnya yang dialami P adalah bisa juga masuk dalam kategori trauma, sebab dia kehilangan teman yang dianggap anak sendiri karena selalu setia mendengarkan keluh kesahnya, yakni Brigadir J. Jadi akan sangat aneh bila memang terjadi pelecehan di Magelang, namun ternyata Brigadir J tetap dibiarkan dalam satu rombongan bersama P saat kembali ke Jakarta.


Selain trauma, P tentu saja sangat sedih, sebab saat kejadian penembakan, dia berada di tempat yang sama. Mungkin dia sangat shock karena tidak menyangka orang kepercayaannya harus mati dengan cara sadis akibat 'hal itu.'


P sepertinya adalah tipe istri setia, tabah, bersedia mengorbankan jiwa dan raga, bahkan kehormatannya sendiri demi membela suami. Mungkin baginya semua itu adalah juga untuk menjaga kehormatan keluarga, anak-anak, menantu, dan cucunya kelak. Mungkin karena itulah dia kemudian membuat pengaduan kasus pelecehan yang dilakukan Brigadir J terhadapnya, namun ditolak polisi karena FS telah mengakui skenario yang sebenarnya.


Laporan pengaduan yang diajukan P ke kepolisian atas pelecehan yang pernah dilakukan Brigadir J terhadap dirinya sudah pasti sebagai upaya menjaga harga diri dan kehormatan suaminya, meskipun mungkin hal tersebut bukan keinginan murni P.


Kasus ini akan sulit terungkap dengan segamblang-gamblangnya, dan seandainya pun terungkap, maka hanya akan terlihat dari pemberian hukuman setimpal kepada pelaku-pelakunya, namun motif sebenarnya tidak akan terbuka secara lebar, sebab sudah pasti menyangkut harga diri dan kehormatan banyak pihak. Adanya keterkaitan satu sama lain seperti jalinan benang, bukan hanya harga diri dan kehormatan FS, tapi juga keluarganya, istrinya, keluarga istrinya, keluarga FS sendiri, bahkan boleh jadi institusi besarnya.


Kasus ini memang harus terungkap secara gamblang  secepatnya, sebab rasanya tak elok bila Brigadir J yang ternyata telah mengabdi secara baik sekian waktu di kepolisian, tiba-tiba bukan hanya telah meninggal dengan cara mengenaskan, namun tercatat dalam sejarah menyandang nama buruk melecehkan istri pimpinannya.



Kasus Brigadir J seperti buah simalakama, jika tidak diungkap akan membuat kian besarnya tanda tanya publik, namun bila diungkap secara gamblang maka akan ada harga diri dan kehormatan yang dikorbankan serta merupakan aib. 


Kini tak ada cara selain mengamati dan menunggu penyidik selesai bekerja, hingga kemudian pengadilan memutuskannya. 

Comments