Menerapkan Kurikulum Merdeka tapi Sekolah Masih Sibuk Merazia Rambut Siswa, Kok Bisa?

Ilustrasi razia rambut di sekolah (pic: okezone.com)


Ketika sebuah sekolah telah menerapkan Kurikulum Merdeka namun ternyata masih marak razia rambut terhadap siswa maka hal ini patut dipertanyakan sebab tampaknya sekolah tersebut belum sepenuhnya berhasil menerapkan karakter pancasilais


Kurikulum Merdeka memang bukan sebuah kurikulum yang membebaskan kelakuan siswa semau-maunya atau sebebas-bebasnya tanpa aturan. Tetapi bukan juga mendidik siswa dalam ketakutan, paksaan, dan intimidasi peraturan akibat cekaknya sebuah pola pikir.

Meskipun dalam Kurikulum Merdeka, siswa memperoleh kemerdekaan dalam berpikir, namun bukan berarti siswa bisa berbuat semaunya. Demikian juga sekolah, tidak bisa memperlakukan siswa seperti di masa silam dengan melanggar hak anak. Karena hakekatnya yang disebut sebagai sebuah kemerdekaan adalah bukan hanya merdeka mengajar ataupun belajar, namun juga merdeka dalam segala hal, termasuk jasmani dan rohani dalam melakukan segala sesuatu, selama hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta tidak terlepas dari koridor norma-norma dan karakter pancasila.


Karakter cermin kesadaran hati

Ketika sebuah sekolah dengan percaya diri telah menerapkan Kurikulum Merdeka, namun masih terjadi kucing-kucingan antara guru yang menghunus gunting demi merazia rambut, sementara siswa lari tunggang langgang bersembunyi di bawah meja demi menyelamatkan rambutnya. Maka patut dipertanyakan tentang keberhasilan sekolah tersebut dalam menerapkan pola pendidikan yang terpusat pada peserta didik. Sebab apabila sekolah tersebut benar-benar memusatkan pola pendidikan pada peserta didik, sudah pasti siswa diajak berpikir dan berdiskusi mengapa rambut tidak boleh gondrong. Sebab kesadaran paling hebat yang merupakan inti dari kurikulum merdeka adalah kesadaran dari dalam hati yang akan tertanam kepada perilaku, sehingga mewujudkan karakter yang dicita-citakan.

Saat razia rambut masih terjadi, guru sibuk mengejar-ngejar siswa dengan menghunus gunting, kemudian siswa merasa ketakutan saat rambutnya terkena potongan gunting, disini terlihat bukan pola kemerdekaan yang diterapkan, tetapi penjajahan karena terjadi pola pemaksaan. Jelas tidak ada kemerdekaan berpikir di dalamnya, tersirat pola didik yang dipaksakan kepada peserta didik, bahwa rambut harus pendek, titik. Otak siswa tidak dibiasakan berpikir, berdiskusi, tentu saja terlihat jelas bila tidak terpusat pada siswa, namun terpusat pada sekolah. Sekolah mengharuskan rambut pendek agar siswa lebih konsentrasi belajar, titik.

Kata final "titik" jelas menunjukkan sebuah pengerdilan kemerdekaan berpikir. Siswa tidak dibangun kesadarannya tentang sebuah peraturan, hanya sekedar tahu dan jalankan, sehingga siswa tidak ada rasa memiliki terhadap sebuah peraturan. Akibat pola pemaksaan berpikir seperti ini, maka akan tertanam kuat dalam pemikiran siswa bahwa dia tidak boleh membantah. Dengan pola pikir yang demikian, ditambah belum stabilnya emosi siswa, maka kelak mereka juga akan menanamkan pola pikir pemaksaan yang sama terhadap teman-temannya yang lemah ataupun adik-adik kelasnya. Sehingga wajarlah bila kemudian terjadi perundungan ataupun tawuran antar sekolah, sebab pola pikir terbiasa memaksakan kehendak. Maka hal yang bisa dia lakukan adalah menjajah sebagaimana dia mendapat contoh seperti itu, siapa yang kuat itulah yang menang.

Akan berbeda situasinya ketika sebuah sekolah telah berhasil menanamkan sebuah pola pikir kemerdekaan, bukan penjajahan. Maka siswa akan berpikir terbuka, berani mengemukakan pendapat, belajar berpikir untung rugi, serta resiko perbuatan ke depannya. Sebagai makhluk dewasa yang lebih berpengalaman dalam asam garam kehidupan, sudah selayaknya pendidik memberi suri tauladan tentang sebuah peraturan sebagai wujud perilaku.

Apalagi usia anak-anak sekolah menengah adalah usia rentan yang sedang dalam proses mencari identitas diri. Ketika mereka tumbuh dan berkembang dalam pola didik yang merdeka, maka mereka akan menjadi jiwa-jiwa merdeka yang menghormati kemerdekaan sesamanya juga. Namun bila mereka telah terbiasa dalam pola didik penjajahan, maka dapat dibayangkan yang terjadi, mereka juga tidak akan menghargai kemerdekaan berpikir di sekitarnya, apalagi pemikiran yang berbeda darinya. Mereka akan memaksakan pendapat, sama persis seperti mereka juga dipaksakan menerima pendapat dan harus menerimanya meski dengan keterpaksaan.

Ketika pendidik berhasil menanamkan karakter kemerdekaan berpikir pada siswa, maka akan tertanam kesadaran langsung dari hati nurani siswa, sehingga akan lebih efektif dalam membentuk karakter siswa. 


Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tutwuri Handayani

Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, memiliki filosofi pendidikan yang menjadi cikal bakal kurikulum merdeka, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani. Tentunya beliau akan malu bila melihat guru yang mengejar-ngejar siswanya dengan menghunus gunting demi merazia rambut. Mengapa guru sebagai sosok yang patut digugu dan ditiru telah gagal menanamkan pola pikir tentang pentingnya sebuah peraturan?

Selama sekian waktu setelah kita merdeka, negara kita menerapkan beragam kurikulum yang kesemuanya berusaha tampil sebaik-baiknya menunjukkan keunggulannya, ibarat jualan kecap semua mengklaim nomor satu. Namun seiring perkembangan zaman, saat berganti menteri, maka kurikulum pun berganti satu persatu sebab dianggap kurang sesuai lagi dengan situasi nasional, dan tidak dapat membuat negara ini mengalami peningkatan mutu pendidikan di kancah internasional.

Hingga akhirnya, lahirlah kurikulum terbaru besutan Mendikbudristek Nadiem Makarim. Sebagai kurikulum paling terbaru diantara yang lain, yang tentu saja membawa formula tersendiri dengan klaim mampu membawa perubahan kemajuan bagi dunia pendidikan Indonesia.

Kurikulum besutan Nadiem pada awalnya dinamai Kurikulum Prototipe, kemudian berganti nama menjadi Kurikulum Merdeka. Dengan menilik namanya yang merdeka, tentu saja adalah seperti sebuah angin segar yang menawarkan kemerdekaan berpikir bagi pendidik ataupun terdidik.

Banyak hal positif yang dapat dipetik dari Kurikulum Merdeka, diantaranya adalah dihapusnya Ujian Nasional yang selama ini dianggap sebagai teori hapalan yang justru membuat siswa berada dalam sistem penjajahan pola berpikir yang hanya terpusat pada teori, bukan praktek.

Kurikulum Merdeka sebagai sebuah kemerdekaan mengajar dan belajar, terpusat pada siswa. Sebagaimana pada awalnya bersumber dari filosofi Ki Hajar Dewantara, Menteri Pendidikan Indonesia di era kemerdekaan, seorang bangsawan yang merakyat. Dengan filosofi Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani, bahwa seorang guru sudah selayaknya bila di depan siswa memberi contoh, di tengah-tengah mereka memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan semangat dan kesadaran.

Ketika disebut merdeka, tentu saja pendidik dan terdidik tidak terjajah. Bila pada kurikulum sebelumnya penekanan hanya pada metode hapalan, maka pada kurikulum merdeka, siswa diberi kesempatan untuk memerdekakan dirinya dengan mengemukan pemikirannya tanpa harus terjajah teori. Sebab dari pengalaman kurikulum sebelumnya, terlalu banyaknya siswa dicekoki teori, mengakibatkan prakteknya amburadul. Siswa tampak galau saat di lapangan, tampak kikuk, dan bahkan tak berdaya apa-apa saat harus menerapkan ilmunya.

Dalam Kurikulum Merdeka sudah seharusnya guru saat melakukan proses pendidikan dan pembelajaran berpusat pada siswa. Sehingga saat berada di depan siswa, guru memberi contoh, saat di tengah, guru memberi semangat kebaikan, dan saat di belakang memberi dorongan siswa untuk maju ke arah lebih baik. Disinilah terlihat kemerdekaan belajar siswa ditentukan oleh pola pikir pendidikan dari guru. Apabila pola berpikir guru penuh dengan penjajahan, tidak berpikiran luas, kurang terbuka, dan tidak maju, tentu saja dia akan bersikap feodal terhadap siswa, dan hal tersebut bukankah pola pikir merdeka, tapi justru terjajah.


Sudah merdekakah pola pikir siswa Indonesia?

Pola pikir guru yang telah merdeka mengajar sudah pasti akan terpusat pada kebutuhan siswa, istilahnya mengabdi pada siswa, dalam arti benar-benar memahami dan mendidik siswa dengan hati, kesabaran, dan ketelatenan.

Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani, sudah selayaknya menjadi landasan penting sebuah kemerdekaan berpikir dan berperilaku dalam dunia pendidikan, sehingga peserta didik tidak harus menjadi sebuah korban imperialisme peraturan.

Ing Ngarso Sung Tulodho, saat berada di depan, pendidik memberi contoh perilaku luhur tentang sebuah peraturan. 

Ing Madyo Mangun Karso, saat di tengah-tengah, guru membangun semangat dan keinginan siswa untuk mentaati peraturan dengan mengajaknya berpikir dan berdiskusi, ditanamkan sebuah pengertian, sebuah pola pikir tentang peraturan tanpa harus menjajah siswa. 

Tutwuri handayani, saat di belakang, pendidik memberi semangat, bahwa setelah terbangun kesadaran peraturan dari hati nurani siswa, maka guru tinggal mengamati dan memberinya semangat.

Alangkah indahnya bila kesadaran siswa tentang sebuah peraturan berasal dari lubuk hati terdalam, sekolah akan damai dengan cara seperti ini. 

Ketika telah terbangun kesadaran siswa tentang manfaat sebuah peraturan dengan pola pikir merdeka, maka akan mudah mengatur dan mengarahkan mereka, sebab mereka memahami dan menyadari tentang pentingnya sebuah peraturan. Sehingga tidak akan terjadi lagi siswa merasa dipaksa memangkas rambutnya, kesadaran itu terbangun dari hati dan terwujud pada perilakunya. Sehingga sekolah tidak perlu repot mengejar-ngejar siswa dengan menghunus gunting demi memaksa siswa memendekkan rambutnya.

Disinilah pentingnya penanaman kesadaran dan pola pikir tentang hak dan kewajiban. Dengan pola pikir merdeka dan terbuka, maka sekolah dapat dengan mudah mendidik dan mengarahkan siswa. Dengan demikan tidak akan terjadi pembulian di sekolah ataupun tawuran antar sekolah, sebab pola pikir yang diterapkan adalah benar-benar merdeka, menghargai perbedaan pendapat dan terpusat pada anak didik.

Dengan Kurikulum Merdeka, siswa diharapkan tidak hanya mampu menguasai teori, tapi juga mampu mempraktekkannya secara langsung. Sehingga saat telah terjun ke dunia nyata, dia tidak kagok lagi, sebab pola berpikirnya telah terbiasa berpikir kritis, bekerjasama dan memahami perbedaan di sekitarnya.

Peta pendidikan yang dibuat beberapa waktu lalu, sempat dihebohkan dengan menghilangnya unsur agama di dalamnya. Padahal tanpa harus negative thinking, mungkin dengan tidak dicantumkannya unsur agama, karena dianggap telah melebur dalam praktek kehidupan nyata, sehingga tidak perlu lagi dicantumkan sebagai teori. Meskipun kemudian kita memahami keinginan publik bahwa penyantuman unsur agama, penting sebagai sebuah penegasan, agar tidak terkesan seperti negara komunis yang memisahkan unsur agama dari segala segi kehidupan.

Ketika pola berpikir seorang guru sudah merdeka, maka ia akan menularkan hal yang sama pada para siswanya, kemerdekaan berpikir tanpa harus takut mengemukakan pendapat meskipun berbeda.

Ketika membayangkan sebuah sekolah yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka, tentu saja bayangan kita akan melihat sebuah kondisi lingkungan pendidikan dengan siswa yang memang benar-benar telah merdeka. Merdeka bukan hanya dalam pola mengajar, namun juga merdeka terhadadap pola pikir siswa, sehingga mampu melahirkan karakteristik siswa pancasilaias yang dikehendaki.

Terkadang sekolah yang telah menerapkan kurikulum merdeka dalam hal pembelajarannya mungkin memang telah sesuai, namun dalam hal pembentukan karakteristik siswa masih kurang sejalan. Sehingga tak jarang masih ada siswa yang berlarian ketakutan, ataupun bersembunyi saat ditegakkannya sebuah peraturan, misal razia rambut. Bila kemudian siswa tertangkap, maka habislah riwayat rambut.

Ketika menjumpai kejadian seperti itu, lalu dimana penerapan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tutwuri Handayaninya? Bahkan terkadang aturannya pun rancu, misal kategori rambut pendek dalam kategori yang seperti apa. Sebab siswa yang beberapa hari sebelumnya telah memangkas rambutnya, namun tetap terkena razia juga akibat peraturan yang plin-plan. Tidak asal-asalan mengukur panjang pendek rambut sesuai perasaan guru bersangkutan, sebab hal ini melanggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Anak kebingungan dengan aturan yang tak jelas. Lalu bagaimana anak akan dapat merdeka berpikir dalam pola pendidikan yang seperti ini?

Harus diakui masih banyak sekolah-sekolah di tanah air yang terbawa aturan-aturan lama warisan penjajah. Seperti aturan rambut pendek peninggalanJepang yang kemudian diadopsi oleh bangsa kita dengan alasan bentuk kedisiplinan. Meskipun dalam prakteknya tidak ada keterkaitan siswa berambut cepak dengan tingkat kecerdasannya.

Berbeda dengan sekolah-sekolah negeri, sebagian sekolah swasta dan sekolah ekspatriat lebih longgar dalam menerapkan aturan model rambut, mereka tidak memaksakan siswa harus potong semi botak atau botak sekalipun. Hal ini menunjukkan bahwa pola pendidikan yang diterapkan tidak melulu penampilan luar, namun lebih terfokus pada hasil yang diperoleh. Sebab terkadang karena terlalu sibuk mengurusi penampilan luar, akibatnya terlupakan penampilan di dalamnya, sibuk berteori namun prakteknya amburadul.

Ketika Kurikulum Merdeka telah betul-betul berhasil membentuk karakter siswa berkat karakter guru, maka tidak akan ada lagi kejadian guru bersenjatakan gunting mengejar-ngejar siswa demi merazia rambutnya. Jika masih terjadi hal tersebut, maka jelas terlihat bahwa pola pendidikan belum berpusat pada siswa, namun berpusat pada kepentingan sekolah. Siswa tidak pernah diajak berpikir dan berdiskusi tentang sebuah peraturan, yang ada hanya lakukan dan jangan banyak bertanya, titik. Bila sudah sedemikian, jelas menunjukkan bukan pola merdeka dalam pendidikan, namun justru pola penjajahan sebab kental pemaksaan.

Dalam kemerdekaan belajar yang berpusat pada siswa, sudah sepatutnya guru membicarakan suatu hal dari hati ke hati dengan siswa, dengan pola pikir demokratis, bukan otoriter. Dengan kemerdekaan berpikir maka siswa dapat berpikir secara kritis dan mandiri, tetapi bila yang terjadi adalah sebaliknya, selalu didikte, dipaksa dan dijajah, akan melahirkan karakter murid yang keras kepala, melawan, dan sulit menerima perbedaan.

Ketika murid memahami segala perilakunya, melihat kesabaran gurunya dalam memberikan tulodho (contoh), karso (semangat dan nasehat), handayani (dorongan luhur), maka akan terlahir kesadaran tentang perarturan dari lubuk hati tanpa harus dipaksakan. Disinilah wujud hakiki kemerdekaan belajar yang sesungguhnya.

Maka sudah tidak selayaknya lagi bila dalam dunia pendidikan masih didapati guru yang sibuk mengejar-ngejar muridnya demi membotaki kepalanya karena pola aturan tidak jelas yang dipaksakan. Apalagi bila sekolah tersebut telah menerapkan kurikulum merdeka, sungguh tak patut menjadikan siswa sebagai arena jajahannya.

Sekolah militer memiliki sisi positif dari ketaatan dan kepatuhan terhadap atasan, hal tersebut bisa saja diterapkan pada sekolah biasa. Namun harus tetap mengedepankan sisi kemanusiaan dengan tidak melanggar konsep hak asasi manusia (HAM) dan hak anak, sehingga bisa sejalan dengan konsep merdeka belajar.

Finlandia sebagai the best education world, dengan pola pendidikan yang dianggap terbaik sedunia telah berhasil dalam meningkatkan mutu pendidikan negaranya. Para pakar pendidikan di negara tersebut lebih berfokus pada hasil. Sejak pertama mengenal bangku sekolah, anak terlebih dahulu diperkenalkan pada karakter perilaku yang baik, emotional quotient (EQ), barulah untuk selanjutnya membahas masalah intelligent quotient (IQ). Sedangkan penampilan luar seperti aturan potongan rambut dan lainnya berada di urutan paling terakhir sebab dianggap kurang urgent.

Pola pendidikan yang terlalu feodal dan kuno telah mulai ditinggalkan, sebab dinilai tak sesuai dengan perkembangan zaman, melanggar hak asasi manusia (HAM), dan mengungkung pola berpikir kritis. Sehingga pola pendidikan yang feodal biasanya hanya diterapkan oleh guru jadul ketimbang guru zaman now.

Telah tiba saatnya untuk mengajak bicara dari hati ke hati dengan siswa tentang segala sebab akibat dari sebuah perilaku hingga melahirkan sebuah peraturan. Pola pendidikan yang demokratis, bukan otoriter, bukan feodal akan melahirkan karakter siswa yang mandiri, mampu berpikir kritis, cakap berkolaborasi, serta memahami hak dan kewajibannya.

Merdeka belajar terpusat pada siswa. Kegembiraan, kebahagiaan, serta ketenangan batin akan membuat siswa cerdas, sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan di negara ini. Harus ditanamkan kemerdekaan berpikir, berpendapat, sehingga pola pikir siswa berkembang. Pola pikir kritis akan menumbuhkan kepercayaan diri siswa untuk berkolaborasi dengan siswa lain. Berbeda bila siswa selalu dikejar ketakutan dengan pola otoriter, segala sesuatu dipaksakan, tidak boleh berkembang sedikitpun, lalu dimana perkembangan kemampuan berpikirnya, siswa akan tumbuh kerdil dalm peraturan yang tidak dipahaminya. Akibatnya lahirlah para pembangkang-pembangkang kecil yang sepertinya penurut manis saat di hadapan guru, namun ketika tidak ada guru, jingkrak-jingkrak kesetanan menginjak-injak peraturan.


Kini saatnya berhenti menanamkan pola pikir penjajahan dengan pemaksaan kehendak, namun perlu diperdalam pola pikir kemerdekaan dengan sebuah kesadaran yang berasal dari hati nurani terdalam. Mari berhenti menjajah pola pikir anak didik, merdekakan mereka dengan Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tutwuri Handayani, Saatnya memerdekakan negeri ini!.

Comments