Migrasi TV Analog Terselubung Kepentingan Bisnis?

Ilustrasi televisi lama (pic: grid.id)



Ketika TV analog telah disuntik mati maka masyarakat tak memiliki pilihan lain selain beralih ke digital dan penjual antena luar harus bersiap alih dagangan jika tidak ingin gulung tikar


Sebelum resmi disuntik mati, sebetulnya pergantian TV analog ke digital atau lazim disebut analog switch off (ASO) telah diwacanakan pemerintah sejak bulan April lalu. 

Bila kita cermati bunyi Pasal 72 angka 8 Undang-undang Cipta Kerja (sisipan Pasal 60A Undang-undang Penyiaran) telah mengamanatkan batas akhir penghentian siaran telvisi analog (analog switch off) paling lambat pada 2 November 2022. Sehingga Setiap Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Publik Lokal dan Lembaga Penyiaran Komunitas yang memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) diharuskan untuk melaksanakan migrasi siaran televisi analognya ke siaran televisi digital, sebagaimana dikutip dari Siarandigital.kominfo.go.id.

Meskipun kabarnya tujuan migrasi adalah agar masyarakat dapat menonton siaran televisi dengan kualitas lebih baik, namun tetap saja hal tersebut membuat jantung masyarakat kalangan bawah empot-empotan. Mereka khawatir bila peralihan ini justru akan membuat kantong mereka kian jebol karena harus membeli Set Top Box (STB) ataupun membayar TV berlangganan.


Apa itu STB?

Sisi positif migrasi dari analog ke digital adalah jernihnya penangkapan layar. Bila memakai siaran analog tentunya diperlukan antena, saat terjadi kesalahan pemasangan atau tidak pas, maka pemilik televisi harus rela capek memindah-mindah, sebab bila tidak demikian, maka penangkapannya buram. Dengan perubahan ke arah digital, maka akan diperoleh kejernihan sinyal, dan juga tidak lelah dalam memindah-mindah antena.

Selain itu adalah kemudahan menangkap sinyal siaran TV. Bila memakai penangkapan analog maka akan terasa kesulitan, sulit menangkap, agak lambat. Namun bila memakai digital maka akan cepat dalam menangkapnya, sehingga istilahnya menghemat waktu.

Keinginan kuat pemerintah mematikan siaran analog, maka mau tidak mau pemerintah harus menyediakan antena STB tersebut. Melalui kerjasama dengan perusahaan penyedia STB yang namanya jelas tertera di alat tersebut, pemerintah membagikan 6,7 juta STB untuk masyarakat miskin, untuk masyarakat yang dianggap mampu tentu saja harus membeli sendiri. 

STB atau Set Top Box merupakan alat yang dapat mengonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara, sehingga dapat ditampilkan di TV analog biasa. Karena komponen utamanya adalah processor serta memori sehingga mampu menmproses sinyal digital menjadi sinyal analog.

Jenis STB sendiri bermacam-macam. Ada yang jenisnya STB DVB-C (kabel), DVB-S (satelit), serta DVB-IPTV (internet).

Di masa silam bagi masyarakat kebanyakan bisa memilih apabila tidak berkeingin berlangganan TV digital, maka bisa membeli antena luar. Dan memang telah jamak terjadi sebelum adanya siaran TV digital, masyarakat bisa memilih antena, entah yang murah dibeli di pasar loak, ataupun antena parabola bagi yang memiliki keuangan lebih.

Jika dahulu memiliki televisi saja sudah dianggap luar biasa dan dianggap orang kaya. Namun seiring meningkatnya ekonomi dan kemajuan negara kita, mulailah peningkatan kebutuhan agar dapat menonton tv dengan jernih tanpa menyiksa mata.

Saat memakai siaran analog, memasang antena luar bila makin tinggi maka makin jernih penangkapan gambarnya. Namun seiring kemajuan zaman, hal tersebut justru dirasa norak karena semrawutnya pemandangan serta lalu lintas udara. Hingga hal tersebut dianggap sebagai sebuah potret kumuh dan miskin.

Dengan beralihnya TV analog ke digital maka tidak akan bermunculan lagi antena-antena luar menjulang dengan berbagai tongkat penyangga yang mengganggu pemandangan. Saat kunjungan tamu-tamu negara akan terlihat kemakmuran kehidupan rakyat negeri ini, sama persis seperti kehidupan negara-negara kaya, tak ada antena luar yang semrawut sebagai potret kemiskinan.

Ketika TV analog telah disuntik mati, maka rakyat tak memiliki pilihan lain selain beralih ke digital. Tak akan ada lagi transaksi antena luar di pasar, perusahaan penyedia antena luar harus bersiap alih dagangan jika tidak ingin gulung tikar.


Migrasi TV terselubung unsur bisnis?

Selama ini TV analog selalu identik dengan antena, dan berhubungan erat dengan rakyat kebanyakan. Sebab selain mudah didapatkan dengan hanya membeli di pasar atau di pinggir jalan, harganyapun terjangkau. Selain Murah, juga praktis, serta cukup hanya sekali beli, bisa dipakai selamanya, kecuali hilang terbang saat tertiup angin kencang. Sementara bila memakai siaran digital, maka diperlukan berlangganan ke provider atau membeli alat-alatnya.

Bayangan harus membeli STB ataupun setiap bulan mengeluarkan uang untuk berlangganan dengan membayar kepada provider dirasa wong cilik sangat memberatkan. Mungkin bagi kalangan berada hal tersebut bukan hal berat, namun bagi masyarakat kalangan bawah yang dananya pas-pasan, tambahan pengeluaran uang berarti beban ekonomi di pundak bertambah lagi.

Beragam kemudahan yang ditawarkan saluran digital mebuat pemerintah kian brtekat kuat mematikan saluran analog. Namun hal tersebut tak sedikit menimbulkan pertanyaan publik. Ada apa di balik pemindahan ini, benarkah murni demi kualitas penerimaan sinyal yang jernih, atau jangan-jangan terdapat unsur bisnis yang terselip?

Bisnis dari operator sinyal

Dengan adanya siaran digital, maka provider akan memperoleh penghasilan lagi dengan bertambahnya pelanggan baru. Bahkan kecurigaan ini lebh banyak diarahkan pada Indihome sebagai anak perusahaan dari perusahaan pemerintah yakni Telkomsel yang merajai komunikasi di negara ini.

Bisnis STB

Kematian TV analog mau tidak mau akan membuat masyarakat beralih ke digital akibat tidak adanya lagi tontonan di televisi, tentunya masyarakat tidak ingin kesepian.
Ketika masyarakat tidak memiliki uang berlebih untuk berlanggananan TV kabel atau satelit, maka pilihan pun jatuh dengn membeli antena dalam atau kerap disebut STB demi menikmati siaran TV digital di Indonesia. Sehingga dapat dibayangkan melejitnya keuntungan yang diraup perusahaan pembuatnya.

Bisnis televisi

Setelah TV analog disuntik mati, maka TV digital akan merajai pasaran. Tentu saja hal ini dapat dimaklumi karena TV digital lebih ringan dan mudah pengoperasiannya,bila perusahaan pembuat televisi tidak ingin ketinggalan zaman dan gulung tikar tentu saja harus mengikuti trend ini.


Benarkah TV digital gratis?

Berita migrasi tv analog ke tv digital sempat membingungkan masyarakat. Menimbulkan pertanyaan bila telah beralih ke digital berarti harus berlangganan, padahal ternyata tidak seperti itu, sebab kabarnya siaran tv analog dapat dialihkan ke dgital dengan alat. 

Bila ditanyakan apakah gratis? Tentu saja tidak, sebab harus membeli alatnya yakni STB demi merubah siaran analog ke digital. Namun demi menyukseskan program migrasi analog ke digital maka pemerintah membagikan 6,7 juta STB gratis untuk warga miskin.


Perbedaan TV analog dengan TV digital

Pengguna TV analog tetap dapat menikmati siaran TV digital tanpa harus membeli TV baru, yakni dengan menggunakan alat bantu set top box (STB), sebuah alat bantu yang dapat menangkap siaran digital agar dapat diterima oleh TV analog. Tetapi kendalanya adalah karena TV analog hanya dapat menerima sinyal antena UHF, maka rentan rawan gangguan. Sedangkan TV digital sudah dapat memproses sinyal digital maupun analog sehingga lebih minim terjadi gangguan.

TV analog dipancarkan menggunakan frekuensi dari sinyal. Karena sangat bergantung pada frekuensi sinyal dari pemancar, sehingga apabila lokasi jauh dari pemancar tentu saja penagkapan menjadi buruk, belum lagi bila cuaca tidak bersahabat, maka makin amburadullah penangkapannya. 

Sementara TV digital mampu menangkap frekuensi digital maupun analog karena menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menampilkan sinyal gambar, suara, dan data ke televisi. Sehingga meskipun jarak pemancarnya jauh pun tak ada masalah.

Serupa tapi tak sama: TV digital, TV kabel, TV satelit

Setelah hebohnya kabar disutik matinya tv analog, masyarakat menjadi terjebak dalam apriori bahwa beralih ke digital berarti harus membayar tiap bulan. Sebab hal itulah yang umum mereka amati dari yang tidak memakai antena luar. Padahal mungkin yang mereka mati adalah pelanggan TV kabel yang tentu saja tidak memakai antena luar.

Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo, Geryantika Kurnia menjelaskan TV digital bukanlah layanan streaming, bukan pula berlangganan TV kabel (CNN 21/10/2022)

Tidak seperti oekiraan masyarakat awam, sebab TV digital berbeda dengan tv kabel, sebab mendapatkan siaran di Televisi Kabel harus membayar tiap bulan, sedangkan siaran TV Digital gratis atau tidak dipungut biaya. Dan pengguna TV analog bisa beralih ke digital tanpa harus membeli televisi baru, namun cukup menambah Set Top Box.

Layanan TV Kabel dapat menampilkan bukan hanya siaran dari sejumlah stasiun televisi dalam negeri, tetapi juga luar negeri, selain itu bisa menghubungkan layanan telepon. Sedangkan TV Digital hanya mampu menangkap sinyal digital stasiun televisi dalam negeri.

Setelah memahami perbedaan TV digital dengan TV kabel, kini berhadapan dengan pertanyaan baru lagi, lalu apa bedanya dengan tv satelit?

Jika TV kabel hanya membutuhkan kabel coaxial sebagai penghantar jaringan dan sebuah receiverdigital saja, sehingga banyak digunakan di kota-kota besar dan daerah perkantoran. Sedangkan TV satelit tidak terbatas area, berada dimanapun, apakah di pusat kota maupun di pedesaan, ataupun jauh jaraknya dari kantor penyedia layanan satelit ini tidak akan jadi masalah, karena cakupannya luas dengan penggunaan parabola sebagai receiver.

Comments