Paimin dan Alas Wingit Terkutuk

Ilustrasi Paimin dan Alas Wingit (pic: pinterest.com)

 

    Tepat jam 18.00, anak lelakiku yang ganteng pamit jalan-jalan naik sepeda motor dengan teman perempuannya ke mall. Welahdalah anak zaman sekarang lha kok malah perempuannya yang menjemput, jan wani tenan!.


Aku Cuma cekikikan dalam hati saat mereka menghilang dari pandangan. Nampak anak lanangku duduk di belakang dibonceng teman perempuannya karena tidak bisa bisa membonceng. Ini kali ketiga mereka pergi berduaan, tentu saja aku tak bisa menghalangi, sebab anak zaman sekarang kalau dihalangi bisa makin nekat dan tidak karu-karuan. Berhubung selama ini mereka berada di jalan yang benar, ya jelas aku merestui saja.

 

    Teman anak lelakiku itu bernama Sarkinem, gadis lugu yang ditinggal ibunya saat memasuki masa sekolah menengah pertama. “Emak” begitu dia memanggil ibunya, meninggal karena kanker payudara. Dia bercerita itu saat keduakalinya dia ngapeli anakku di rumah. Dan aku kembali ngikik dalam hati mengingat segitu ngebetnya Sarkinem pada anakku sampai membuang rasa malu mengunjungi anakku.


*****


Kisah Sarkinem yang mengenaskan kian memporakporandakan hatiku saat dia mengatakan ayahnya tukang selingkuh, sehingga menjadi penyebab duka derita ibunya. Bahkan setelah Ibunya meninggal, ayahnya tetap dengan hobi lamanya dugem dan gonta-ganti cewek, jarang di rumah, tak mengurusi anak-anaknya sama sekali. Akibatnya Sarkinem dengan kakak lelakinya Sarkijo tumbuh tanpa kasih sayang orangtua lagi semenjak mendiang ibunya tak ada.

Hal itulah yang mengobarkan rasa empatiku pada Sarkinem, ditambah kesetiaannya pada anak lelakiku Sutakim. Pernah Sutakim sakit dan tidak mau makan berhari-hari, Sarkinem dating ke rumah membawakan makanan dan cintanya, ajaib! Anakku Sutakim langsung sembuh dan doyan makan.

Sutakim memang banyak berubah setelah mengenal Sarkinem. Biasanya dia tidak mau menyentuh segala masakan yang berbau ikantapi semenjak mengenal Sarkinem, dia mau memakan ikan goreng, tapi harus khusus masakan Sarkinem, sementara masakanku, Sutakim tetap tidak mau menyentuhnya. Oalah…..sungguh keajaiban cinta.


*****

 

    Jam menunjukkan 21.00 ketika perasaanku terasa tidak nyamanbiasanya tidak pernah seperti itu. Tiba-tiba teringat anakku Sutakim yang belum pulang ke rumah. Aku tengok pulsa di handphoneku sudah sekarat, tentu saja tidak bias menelpon, tapi aku baru ingat memiliki kuota, tentu saja aku bisa menghubungi lewat WhatApp. Namun sampai beberapa puluh menit telponku tidak diangkat, lalu aku ganti memakai chath, tapi tetap tak kunjung dibalas. Aku baru ingat Sutakim tak punya kuota, dia kemarin mengatakan hal itu saat kami menjemur padi di halaman, tentu saja aku belum bisa membelikannya karena belum sempat ke kota, sementara di desa kami taka da yang berjualan pulsa.

Di saat aku bingung, tiba-tiba di 21.45 handphoneku berdering tanda telpon masuk.”Ini emaknya Sutakim?” terdengar suara lelaki setengah membentak dari seberang diiringi suara hiruk pikuk orang  banyak di belakangnya. Setelah aku mengiyakan kembali lelaki itu berbicara dengan suara nyaring, “Sutakim kami tangkap karena berzina di sawah!”.

Tubuhku lunglai tak berdaya saat mendengar hal itu, sementara suamiku, Kamirinjuga tak bisa berkata apa-apa selain melongo tak berdaya. Aku pandang wajah suamiku, aku tahu sifatnya terlalu sabar dan tak bisa tegas menghadapi orang lain, aku khawatir dia akan makin disudutkan bila ke tempat itu sendiri. Apalagi dia hanya bisa bergumam, “Piye iki?”.

Hatiku berdegub kencang, tubuhku lemas dan gemetar, tetapi masih mampu berpikir tenang, bahwa siapa tahu itu penipuan. Meskipun deg-degan aku tetap berbicara tegas pada lelaki itu agar tidak berlaku anarkhis sebab ini negara hukum. Welahdalah duh Gusti padahal aku juga tidak mengerti apa arti anarkhis karena aku tak pernah sekolah.


*****

 

    Tepat pukul 21.50, Kamirin memboncengku dengan sepeda ontelnya ke tempat lokasi pria di telpon tadi. Kami bingung menuju arah mana, apalagi  disebutkan disuruh memakai google maps, kami tetap tidak mengerti karena handphone kami jadul hitam putih tanpa ada google maps.

Suasana malam sunyi senyap, tetapi kami bisa mengetahui lokasi “Alas Wingit”sebab setiap tahun sering ada pesta desa diselenggarakan di hutan angker itu.. Didalam hutan, jauh dari perumahan penduduk.

Sampai disana ternyata kami masih harus masuk lokasi ke sebuah jalan sempit sekitar 1 km. Sempat ragu dan takutmemasukinya, sebab bisa saja ini perampokan karena gelap gulita, tapi aku berusaha berpikir realistis bahwa anakku Sutakim ada di tangan para pria gendeng itu, entah benar-benar orang baik, atau hanya para pemeras alias penjahat kelas tengik. Dengan keberanian yang kuhimpun dari rumah, akhirnya aku memilih nekat memasuki jalan setapak itu.


*****

 

    Jam 22.10 ketika aku dan mas Kamirin sampai di lokasi penyanderaan. Tampak 7 orang lelaki dewasa mengelilingi anakku, Sutakim, dan teman perempuannya Sarkinem. Suasana sunyi malam berganti hiruk-pikuk saat para pria dewasa itu mengemukakan argumennya masing-masing. Mereka berbicara dengan suara nyaring dan membentak-bentak, menyalahkan kelakuan Sutakim yang amoral. Aku mencoba mencerna apa yang mereka semburkan dari mulutnya, tetap realistis, meskipun kemudian salah satu pria yang terlihat sebagai pimpinannya menyuruh anak buahnya menunjukkan rekaman video tentang anakku saat digerebek. “Ini kelakuan anak sampean!, “ ujarnya sambil menyorongkan handphone tuanya.


Aku mengamati secara cermat rekaman video itu, tak ada adegan perzinahan, Sutakim masih berpakaian lengkap, demikian juga dengan Sarkinem. Duduk di atas sepeda motor, karena tidak bisa membonceng, tentu saja Sutakim duduk di belakang Sarkinem. Terdengar suara orang membentak-bentak Sutakim dalam video itu, memaksa Sutakim turun dari motornya. Anakku yang kurus itu turun dari motor sambil menarik celananya ke atas karena kedodoran. Dari situlah aku mampu menerjemahkan pikiran kotor para pria garong itu,bahwa dengan posisi duduk di belakang perempuan berarti berbuat mesum.


Edaaan!,” aku mengumpat dalam hati, sebab situasi di tempat itu tak memungkinkan untuk mencaci-maki. Yang kuhadapi adalah orang-orang tidak waras yang tampaknya terbiasa melakukan hal nekat seperti itu, aku harus berpikir cerdik menyelamatkan Sutakim dan Sarkinem dari tempat itu. Menghadapi para pemeras tentu saja aku kalah jumlah, padahal dalam hati aku ingin menampar dan menginjak-injak mereka, sebuah naluri pembelaan dan perlindungan seorang ibu kepada anaknya.


Otakku berputar cepat memikirkan sebuah strategi. Aku minta waktu ke penjahat untuk bicara empat mata dengan anakku. Kupandang mata Sutakim, kutanya secara naluri ibu, dia anakku, aku yang paling memahami kejujurannya. Sepintas suaranya bergetar, aku memahami getar suara itu, trauma karena diintimidasi penjahat. Namun dibalik ketakutan anakku, ada jiwa berani yang kuturunkan, sehingga para penjahat sontoloyo itu tak berani menganiayanya.


Dari pembicaraan kami, aku paham hal itu cuma taktik pemerasan. Tetapi para penjahat pasti tetap ngeyel dengan hal yang benar menurut versinya, tujuannya hanya satu duit!.Sehingga yang kupikirkan saat itu hanya satu, lepas dari mereka. 


Aku pasang taktik dengan Sutakim, tanpa banyak bicara, hanyakedipan mata. Aku pura2 marah, kemudian membentak-bentakdengan suara kencang sambil jalan ke arah penjahat. Tidak rugi selama sekian waktu melatih silat bocah-bocah di desaku, suaraku nyaring membahana seperti komandan upacara. Para penjahat pasti mengira bahwa aku mempercayai laporan mereka tentang kelakuan anakku. Hasilnya mujarab, mereka tampak ciut nyalinya, suaraku yang keras melengkin bagai suara petir membuat mereka terhenyak dan terdiam, Suasana berubah sunyi senyap, tak ada suara sedikitpun selain hanya suara jangkrik dan burung hantu.

 

*****


    Tampaknya kami masih harus menunggu kakak Sartinem yang merupakan sandera kedua. Tepat 22.30, Warijo, kakak Sartinem baru sampai di lokasi dengan bantuan petunjuk tempat salah satu penjahat. Tak seperti saat aku pertamakali datang ke lokasi, kali ini tak ada argument ngeyel para pemeras, mungkin mereka mengira Warijo lebih mengerikan dibanding aku.


Para pemeras gembel itu membiarkan Warijo langsung berbicara empat mata dengan Sarkinem. Situasi sepi karena penjahat pada diam setelah acara teriak-teriakku beberapa saat sebelumnya. Tapi tampaknya Warijo tak bisa diharapkan untuk bersama melawan penjahatsebab dia tampak grogi dan ketakutan sekali saat pimpinan penjahat mengajaknya bicara.


Aku minta waktu ke pimpinan penjahat untuk berbicara berempat dengan Sutakim, Sartinem dan kakaknya. Lokasi kami pilih agak jauh dari para penjahat.


“Sartinem, benar kamu melakukan hal terkutuk dengan Sutakim? Kamu harus jujur, mumpung ada kakakmu Warijo,” tanyaku membuka pembicaraan. 


Sartinem menggelengkan kepala, kemudian menceritakan kronologis ceritanya, sama persis seperti cerita Sutakim. Saat mereka lewat di jalan sepi langsung disergap, kunci motor dirampas, setelah itu dipaksa mendorong motor dalam keadaan mesin mati sepanjang satu kilometer sambil dibentak, diteriaki, disundut rokok dan ancaman dikepruk helm jika lambat.


Dari cerita Sartinem, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa semua hanya cerita tipu-tipu pemeras gembel. Tak ada pilihan selain segera mengambil tindakan cepat pergi dari tempat terkutuk itu dengan memberi tebusan uang yang mereka minta, yang katanya untuk biaya selamatan desa karena terjadi tindak perzinahan di hutan itu. Meskipun hal itu hanya klaim sepihak dari para pemeras, namun percuma saja mengajak bicara pemeras secara rasionil karena tujuan mereka hanya duit.


Warijo setuju dengan taktikku tetapi dia tidak membawa uang, waduuuuh gawat! Tebusan yang diminta 2 juta, sementara aku hanya ada uang hanya 100 ribu. Namun mental tomboyku tetap nomor satu, kalau penjahat tidak terima, maka jalan terakhir adalah gelut! Aku yakin dengan kenekatanku sebab aku yakin ada Gusti Allah yang tidak pernah tidur dan melindungiku.


Kusiapkan lembaran uang lusuh ditanganku, tapi tiba-tiba aku masih mikir betapa keenakannya para pemeras memperoleh uang dengan cara seperti itu. Secepat kilat lembaran 20 ribuan segera kusimpan di saku kembali. Dan “Hahaha..,” aku ngakak, tertawa lebar dalam hati, bahagia membayangkan kegoblokan para pemeras, tapi tertawaku hanya dalam hati saja sebab nanti ketahuan malah gawat. Segera aku melangkah tenang ke arah gerompolan pemeras sambil menggenggam lipatan kertas-kertas uang yang kumal itu.


*****

 

    Kulirik jam tanganku, tepat 22.50 mengadakan negosiasi dengan penjahat. Benar seperti dugaanku, ketika aku mengajak adu argumen bahwa Sutakim dan Sartinem tidak berzina. Mereka tetap ngeyel, mencak-mencak mau memperpanjang masalah. “Buang waktu!,” teriakku dalam hati. Aku tidak mau berlama-lama disitu, aku bentak dan tegaskan bahwa aku mau menyelesaikan masalah dengan membayar uang seperti permintaan mereka, tapi  syaratnya video rekaman tentang Sutakim harus dihapus. Sebab meskipun itu bukan video perzinahan seperti yang mereka klaim,tapi bisa saja jadi bahan pemerasan lagi.


Setelah mendengar aku bersedia membayar uang selamatan desa, yang sebetulnya pada versiku adalah uang sandera, pimpinan pemeras secepat kilat menyuruh anak buahnya perekam video mendatangiku.


Dalam samar-samar sinar rembulan aku melihat seorang pemuda bertubuh pendek bertopi rapat mendekatiku. Kemudian secara tiba-tiba dan malu-malu, dia menyebut dirinya sebagai mantan murid pencak silatku, Paimin. Aku terperangah, kaget, “Sontoloyo!,”. Tidak menyangka Paimin menjadi bagian dari pemeras, sementara disisi lain aku memahami kesulitannya berada dalam tekanan teman-temannya yang penjahat.


Usai rekaman video dihapus, dengan suara keras aku bilang “ini duitnya!!!”. Sebagai mantan murid silat, tampak Paimin tidak enak hati bila menghitung uang yang kuselipkan ditangannya. Segera dia memasukkan gumpalan uang dalam saku celananya. “Hahaha…...,” sekali lagi aku ketawa ngakak meskipun hanya dalam hati saja.


Setelah menerima uang dariku, Paimin meminta maaf, atas kejadian itu, kemudian mencium tanganku. Dia bilang sebetulnya sudah dari tadi ingin menyapaku, tapi takut karena aku sedang marah berteriak-teriak pada Sutakim.


Sesaat kemudian, aku menyuruh Sutakim untuk bersalaman pada para pemeras sebagai tanda permasalahan selesai. Demikian juga Warijo menyuruh Sartinem meminta maaf pada mereka karena telah membuat ulah. Meskipun dalam hatiku bertentangan dengan acara salam-salaman itu, namun disisi lain aku ingin membuat para pemeras bahagia karena aku terlihat benar-benar mempercayai tipuan mereka.

 

Tepat 23.00 aku pergi dengan bersama hatiku ynag telah lepas dari beban meninggalkan lokasi alas wingit terkutuk itu.

Comments