Pro Kontra Dansa, Anda yang Mana?
Ilustrasi pasangan dansa (pic: liveabout.com) |
Mengapa harus saling menghujat dan menganggap bodoh saudara sesama bangsa karena dansa, bukankah sama-sama sebagai bekas bangsa yang terjajah? Haruskah bertengkar sementara si pemilik budaya tertawa lebar menonton suksesnya "devide et impera"? Siapa sesungguhnya yang lebih bodoh diantara yang bodoh?
Heboh! Akibat viralnya "dansa" yang dilakukan bocah-bocah SMP beberapa waktu lalu, bangsa ini terpecah menjadi dua, pro dansa serta kontra dengan dansa, dan terjadilah perdebatan panjang.
Mereka yang kontra dansa dianggap norak dan kampungan, pasalnya dansa sudah jamak dianggap sebagai simbol pergaulan internasional. Meskipun awal mula kedatangannya ke Indonesia dibawa Penjajah Belanda, namun kemudian melebur menjadi kegemaran yang dianggap biasa.
Dansa budaya sehat dan berkelas
Pada mulanya dansa bagi masyarakat lokal dianggap melanggar pakem. Sebab dalam budaya dan norma Indonesia yang relijius, adalah sesuatu hal yang dianggap tabu bila lelaki dan perempuan saling bergandengan tangan di depan umum, apalagi sampai berpelukan hingga meliuk-liuk dibuai musik.
Namun seiring waktu bercokolnya penjajahan di bumi nusantara, dansa dianggao sebagai hal wajar dan biasa-biasa saja. Meski harus diakui bahwa penjajah kulit putih selain menanamkan cakar imperialisme, juga membawa dan menularkan budayanya, termasuk dansa. Hingga kemudian membudaya pada rakyat jajahannya sebagai sebuah kebiasaan.
Saat kebiasaan telah mendarah daging, maka akan kian greget ketika dipertandingkan. Seiring perjalanan waktu, mulailah diadakan kompetensi dansa sebagai bentuk kecerdikan mereka untuk menanamkan budayanya. Tentu saja mereka lebih cerdik serta lebih maju pemikirannya, berbeda dengan rakyat yang pernah terjajah, selalu ketinggalan seribu langkah ke belakang. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian dansa menjadi sebuah ajang perlombaan dunia yang bergengsi dengan beragam penghargaan dan seribu kebanggaan saat mempertontonkannya.
Sebagai budaya yang dibawa penjajah, tentu saja dianggap sempurna. Bangsa barat dianggap lebih modern, lebih hebat, lebih beradab, polesan terhadap dansa membawanya menjadi sesuatu yang bergengsi dan mahal. Sehingga menjadi satu kebanggaan tersendiri saat melakukannya, apalagi bila memenangkan kontesnya.
Dansa telah lama menjadi sebuah kebiasaan baru yang ditularkan bangsa barat hinga menjadi sesuatu yang dianggap berkelas. Hingga kemudian dimasukkan dalam ranah kompetisi sport karena kelincahan gerakannya yang dianggap sehat. Lalu dansa yang pada awalnya dipandang sebagai sesuatu yang tak patut berubah menjadi patut.
Penularan budaya barat lainnya
Selain dansa, ada juga hal lain yang dibawa penjajah, ditularkan kepada bangsa terjajah, hingga kemudian menjadi kebiasaan, yakni judi, baik melalui kartu bridge atau pun domino. Namun seiring waktu menjadi sebuah kompetisi olahraga, bridge misalnya. Tetapi tentu saja dengan tanpa embel embel taruhan uang yang seperti kita lihat di kasino, ataupun judi-judi ala kampung pinggiran.
Segala sesuatu yang pada awalnya buruk, namun kemudian memiliki penggemarnya tersendiiri' maka akan memiliki nilai lebih, lalu menjadi legal dan mendapat kategori berprestise tinggi, sehingga dipertandingkan.
Kartu bridge dan domino jelas sangat berkaitan dengan dunia perjudian. Tetapi keasyikan berpikir dan bermainlah yang menjadikannya memiliki banyak penggemar. Maka tidak heran bila kemudian diangkat ke permukaan menjadi sebuah olahraga bergengsi antar dunia.
Sedangkan dansa, apa yang ada di pikiran kalau bukan berpegangan tangan, berpelukan, saling memandang, lalu meliuk-liukkan tubuh. Bahkan ketika dalam sebuah pesta ada seorang asing yang menginginkan berdansa bersama pasangan kita, maka kita harus rela meminjamkannya, meskipun itu pasangan hidup kita, sebab hal tersebut merupakan hal wajar dalam acara dansa.
Dari kacamata mereka yang pro, no problem tentang dansa, kan cuma ajang kenalan dengan orang lain. Apalagi telah sah menjadi acara sport yang dipertandingkan, kenapa harus dipermasalahkan? Malah asyik dapat kenalan baru, dapat sensasi baru dengan pelukan yang berbeda. Namun pernyataan yang satu ini dianggap ngeres dari kacamata yang kontra dansa.
Bagi mereka yang kontra dengan dansa, bukannya tanpa alasan. Sebab dansa dianggap sebagai warisan budaya kolonial yang tidak sesuai norma. Secara norma agama, jelas tak sesuai. sedangkan ditinjau dari norma kesopanan, jelas tidak sopan, saling berpelukan, berpandangan, apalagi dengan seseorang yang baru dikenal. Namun karena norma kesopanan berlakunya relatif, maka yang dianggap tidak sopan di negara ini, belum tentu tidak sopan di negara asalnya.
Norma luntur akibat faktor kepentingan dan kebutuhan ekonomi
Seiring perubahan zaman, norma-norma terkadang harus dipaksa mengalah pada sebuah kepentingan karena pengakuan. Agar terjadi keseimbangan diantara yang pro dan kontra, maka sesuatu yang dianggap kontra harus dipoles dan dirubah. Misalnya seperti sebuah minuman beralkohol ynag banyak digandrungi karena rasanya, yang kemudian dipoles untuk menarik pangsa pasar, dengan label tanpa alkohol. Dan memang alkoholnya dihilangkan, meskipun imajenya dahulu adalah minuman keras.
Demikian juga dansa, yang pada awalnya dianggap tidak etis dan melanggar norma, kemudian dipoles sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya, olahraga yang menyehatkan. Bahkan para selebritas dan para orang terkemuka ikut cawe-cawe berpendapat. Banyaknya pembelaan tentu saja kaum yang kontra kembali berpikir ulang untuk menolaknya.
Dansa telah dipertandingkan dalam ajang-ajang internasional sebab dianggap sebagai bagian dari olahraga. Oleh karenanya harus dipoles agar tidak melukai mereka yang kontra, sehingga secara umum dapat diterima karena dianggap menyehatkan, sebab banyak gerakan di dalamnya.
Demikian juga dengan bridge ataupun kartu domino yang pada awalnya dipandang kontra, karena berkaitan erat dengan perjudian sehingga dianggap merusak mental dan moralitas. Namun kemudian anggapan itu berubah, bridge diklaim sebagai ajang berpikir mendalam, memerlukan konsentrasi, sehngga dipertandingkan menjadi olahraga internasional yang bergengsi. Tentu saja dengan sebuah polesan tanpa perjudian, hanya sebuah ajang permianan kartu belaka.
Banyak hal yang pada awalnya kontra, namun kemudian berubah menjadi pro serta dianggap maklum, sebab faktor kepentingan dan diperlukan dalam desakan ekonomi. Salah satu contohnya adalah rokok.
Dahulu, rokok adalah sesuatu yang dianggap negatif, bahkan hingga saat ini pun hal itu tetap berlaku. Namun ternyata nilai ekonominya tinggi, sehingga mendesak hal negatif menjadi kemudian diperlukan. Misal saat negara memperoleh pemasukan uang dari perolehan cukainya. Ataupun ajang pertandingan yang memerlukan sponsor. Bahkan beasiswa dengan sasaran generasi muda, yang sudah selayaknya dijauhkan dari rokok toh akhirnya pun dibiayai oleh perusahaan rokok.
Contoh lain adalah ajang Miss Universe. Di masa silam dianggap kurang patut, sebab hanya menilai kecantikan dari kemolekan bentuk tubuh dan wajahnya. Namun seiiring perubahan zaman, hal itu kemudian dianggap wajar dan dimaklumi. Sehingga lama kelamaan Indonesia pun tak segan lagi mengikutinya, bahkan bukan hanya Miss Universe, bahkan kontes miss-miss lainnya.
Zaman seperti sekarang, melawan segala sesuatu yang telah dianggap standar adalah hal yang dimaklumi. Melawan adalah sebuah tradisi yang dianggap lumrah, meskipun terkadang melanggar pakem dan norma-norma. Hal itu terjadi karena sesuatu yang sesuai biasanya belum dianggap benar-benar sesuai, dianggap dianggap sebagai sebuah keangkuhan, kesewenang wenangan, sehingga ketika ada celah untuk meruntuhkan, maka diambillah kesempatan tersebut.
Perlawananan yang pada mulanya merupakan sebuah sistem pendongkrakan terhadap tradisi kolot yang dipaksakan, namun akhirnya menabrak pakem lalu kemudian melebur menjadi hal yang dianggap lumrah. Sehingga justru hal yang sudah selayaknya dan sepatutnya dijaga kepatutannya, malah justru didongkrak-dongkrak untuk dirobohkan karena dianggap ketinggalan zaman dan tidak memiliki nilai ekonomis.
Kembali menyikapi tentang dansa, berarti kembali lagi pada sikap mereka yang pro dan kontra, juga kembali pada niatan masing masing yang ada. Sebab saat ini sepertinya kita telah memasuki abad keselamatan ada di tanganmu sendiri. Bagi yang merasa bahwa dansa sebagai sport dan kesehatan semata, ya tentunya juga telah siap dengan pilihannya. Sedangkan yang berpandangan bahwa dansa sebagai sebuah hal yang melanggar norma-norma, maka hal tersebut merupakan haknya untuk memiliki pilihan tersebut, bukankah keselamatan masa datang setiap orang ada di tangan masing-masing individu?.
Diperlukan kedewasaan dalam berpikir. Ketika satu pihak menganggap dansa sebagai pilihannya, pastinya dia telah siap dengan konsekuensi pilihannya. Bagi mereka yang kontra, tentunya juga memiliki pilihan sendiri dengan sisi pemikiran yang harus kita hargai. Boleh jadi orang tersebut bukan hanya berpikir tentang akibat di masa depan di dunia, namun juga pertanggungjawaban kelak pada Tuhan.
Jika memang demikian, karena kita semua adalah pribadi dewasa dengan pemikiran bijak, yang tentu saja telah memiliki konsekuensi, tujuan, sebab dan akibat dari sebuah pilihan. Tentu saja kita akan menghormati sikap dan pilihan orang lain. Demikian juga bagi yang kontra, tentu saja memiliki pola pikir sendiri yang harus dihargai. Jika telah demikian mengapa harus saling menghujat dan menganggap bodoh saudara sesama bangsa karena dansa, bukankah sama-sama sebagai bekas bangsa yang terjajah? Haruskah kita bertengkar sementara si pemilik budayanya tertawa lebar menonton suksesnya "devide et impera"? Siapa sesungguhnya yang lebih bodoh diantara yang bodoh?
"Kowe arep dansa yo dansao, aku ora gelem dansa yo ojo dipekso" (kamu ingin dansa ya silahkan dansa, aku tak mau dansa ya jangan dipaksa) merupakan konsekuensi toleransi dan saling menghargai perbedaan. Jangan sampai kecintaan luar biasa terhadap produk barat membuat produk dalam negeri terabaikan, dimana semangat bela negara kita?
Atau.... jangan-jangan akibat tari piring, tari kecak, tari merak dianggap jadul dan tidak bisa viral di kancah internasional membuat dansa menjadi sebuah kegemaran baru yang disukai? Oooh malangnya budaya negaraku yang tercinta.
Janganlah egoisme dan primordialime menjadi toxic diantara kita., terbelah antara cinta budaya bule dan cinta nusantara. Sebuah pesan komersil menarik di layar kaca tampaknya layak kita renungkan "cintailah ploduk ploduk dalam negeli". Salam!
Comments
Post a Comment