Isu Pangkalan Militer Rusia: Diplomasi Dua Wajah dalam Politik Global
![]() |
Ilustrasi pesawat tempur Rusia (Pic: Meta AI) |
Diplomasi seringkali bersifat simbolik: menenangkan satu pihak lewat pernyataan publik, tapi menjaga peluang kerja sama dengan pihak lain melalui jalur informal
Dalam dinamika hubungan internasional modern, negara-negara tidak hanya berinteraksi atas dasar moralitas atau hukum internasional, tetapi juga atas kepentingan strategis.
Istilah “diplomasi dua wajah” atau dual-track diplomacy sering digunakan untuk menggambarkan pendekatan yang tampak kontradiktif: negara mengklaim prinsip tertentu di satu sisi, tetapi menjalankan kebijakan berbeda di sisi lain.
Amerika Serikat dan sekutunya menjadi contoh paling jelas dari praktik ini, yang turut menginspirasi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam merancang strategi diplomatiknya.
Praktik Diplomasi Dua Wajah: Studi Kasus Amerika dan Sekutunya
- Demokrasi dan Intervensi
AS kerap menyuarakan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, sejarah mencatat dukungan AS terhadap rezim otoriter yang berpihak pada kepentingan geopolitiknya—contohnya dukungan terhadap Shah Iran (pra-1979), Augusto Pinochet di Chili, dan Soeharto di Indonesia pasca-1965.
- Pangkalan Militer dan NATO
NATO diklaim sebagai aliansi pertahanan kolektif, namun ekspansi ke wilayah Timur (dekat Rusia) pasca-Perang Dingin terbukti memicu eskalasi konflik.
Keberadaan pangkalan militer AS di lebih dari 70 negara juga menunjukkan bahwa pengaruh global tak selalu dibangun atas dasar konsensus damai.
- Isu Palestina dan Israel
Satu sisi AS menyerukan solusi dua negara untuk perdamaian di Timur Tengah, tapi sisi lainnya terus mengucurkan bantuan militer kepada Israel, bahkan saat agresi terhadap warga sipil Palestina terjadi.
Indonesia dan Strategi Adaptif
- Netral Aktif
Indonesia menggunakan prinsip politik bebas aktif, yang berarti tidak memihak blok manapun, namun tetap aktif dalam diplomasi global.
Namun dalam praktiknya, Indonesia sering menyesuaikan kebijakan luar negeri dengan kekuatan global yang paling menguntungkan secara ekonomi atau militer.
Contoh: Isu Pangkalan Militer Rusia
Ketika isu kemungkinan kerja sama militer Indonesia-Rusia muncul, Indonesia secara resmi menolak—terutama untuk menjaga hubungan baik dengan Australia dan AS.
Tapi di balik layar, tidak tertutup kemungkinan kerja sama tetap dilakukan dalam bentuk lain: pertukaran militer, latihan bersama, atau bahkan akses terbatas yang tidak diumumkan secara publik.
- Strategi Simbolik
Diplomasi Indonesia seringkali bersifat simbolik: menenangkan satu pihak lewat pernyataan publik, tapi menjaga peluang kerja sama dengan pihak lain melalui jalur informal.
Ini bukan bentuk ketidakjujuran, melainkan seni diplomasi tingkat tinggi: menjaga kedaulatan sambil memaksimalkan manfaat dari rivalitas global.
Diplomasi dua wajah bukan berarti pengkhianatan terhadap nilai, melainkan bentuk kecerdasan politik dalam dunia yang tidak pernah sepenuhnya hitam atau putih.
Negara-negara besar mempraktikkannya untuk menjaga dominasi dan pengaruh global. Bagi Indonesia, mengikuti jalur ini bukanlah bentuk subordinasi, tapi langkah strategis agar tetap relevan, kuat, dan mandiri di tengah tekanan geopolitik.
Diplomasi bukan sekadar menyuarakan idealisme—tetapi juga menjaga kepentingan nasional dengan cermat, cerdas, dan kadang… tersembunyi.
Komentar
Posting Komentar