TikTok: Kuburan Diam-Diam Bagi Intelektualitas Modern
Ilustrasi TikTok (Pic: Meta AI)
TikTok berpotensi menciptakan ketidakpuasan diri dan menyebarkan budaya yang lebih menekankan pada hiburan sesaat daripada pemikiran kritis
TikTok, sebagai aplikasi media sosial yang sangat populer, telah mengubah cara orang berinteraksi dengan informasi dan hiburan.
Namun, di balik kepopulerannya, banyak kritikus yang menilai TikTok sebagai simbol dari budaya konsumsi cepat, kekosongan kreativitas, dan penghancuran kedalaman pemikiran, termasuk dalam ranah filsafat.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas bagaimana TikTok, meskipun memiliki dampak positif dalam beberapa hal, juga membawa dampak negatif yang merusak nilai-nilai kemurnian filsafat dan budaya intelektual.
TikTok dan Konsumsi Cepat: Mereduksi Kedalaman Pemikiran
TikTok mengedepankan durasi video yang sangat singkat, dengan batas waktu 15 detik hingga satu menit. Ini mendorong konsumsi informasi yang sangat cepat, namun seringkali dangkal.
Dalam pandangan Adorno dan Horkheimer, media massa yang mengutamakan hiburan bisa menghilangkan kedalaman pemikiran dan hanya mengejar popularitas.
Pengguna TikTok cenderung mencari kesenangan sesaat dan terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak memberikan ruang untuk refleksi lebih lanjut.
Seiring dengan itu, “kultur massa” yang digambarkan Adorno dan Horkheimer menjadi relevan di sini.
TikTok, seperti banyak media sosial lainnya, tidak hanya mengonsumsi waktu kita, tetapi juga mengubah cara kita berpikir. Informasi yang dihadirkan tidak mengajak kita untuk merenung, melainkan untuk menikmati sensasi seketika yang sering kali tidak memiliki nilai tambah.
TikTok dan Penyederhanaan Filsafat: Mempersingkat Konsep Mendalam
Di dunia filsafat, pencarian makna yang lebih dalam menjadi pusat dari seluruh pemikiran. Pemikiran kritis dan pencarian akan kebenaran adalah bagian penting dari pendidikan filosofis.
Namun, TikTok sering kali mereduksi filsafat menjadi kutipan-kutipan dangkal yang tidak menggali lebih dalam.
Sebagai contoh, kita sering melihat orang-orang membagikan kutipan filsuf terkenal seperti Socrates, Nietzsche, atau Camus, tetapi tanpa penjelasan yang memadai tentang konteks atau makna yang mendalam di balik kutipan tersebut.
Dalam Teori Mimesis yang diajukan Plato dan Aristoteles, seni dan kreativitas harus mencerminkan alam dan pemikiran mendalam.
Tetapi di TikTok, banyak konten yang hanya meniru apa yang telah ada tanpa memberikan pemahaman baru atau refleksi kritis.
Artinya, TikTok mengarah pada imitasi tanpa pembaruan ide atau penciptaan yang orisinal, yang berisiko merusak kreativitas dan pemikiran filosofis yang mendalam.
Meniru: “Raja Monyet” dalam Dunia Media Sosial
Konsep “raja monyet” merujuk pada fenomena budaya TikTok di mana banyak pengguna hanya meniru konten yang sudah viral.
Fenomena ini sejalan dengan teori imitasi dalam filsafat, yang telah dibahas oleh Plato dalam Republik, di mana ia memperingatkan bahwa seni (termasuk media) yang hanya meniru kenyataan tanpa menambah kedalaman atau makna dapat merusak pemahaman kita terhadap dunia.
TikTok, dengan segala tantangan dan tren viralnya, mendorong semua orang untuk ikut dalam keramaian, namun sering kali tanpa kontribusi intelektual atau ide kreatif yang substansial.
Pencarian untuk menjadi viral menggantikan pencarian untuk menciptakan konten yang memiliki dampak atau nilai yang lebih dalam.
Pengaruh Negatif terhadap Kehidupan Nyata: Ketidakpuasan dan Penghargaan yang Dangkal
TikTok, seperti banyak media sosial lainnya, mempromosikan gaya hidup dan ekspektasi yang tidak realistis.
Pengguna sering kali melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna, yang bisa mengarah pada ketidakpuasan diri.
Fenomena ini mengarah pada pencarian validasi sosial melalui jumlah “likes” dan “followers,” yang menambah rasa tidak puas terhadap diri sendiri.
Di sisi lain, teori kulturalisme yang dikembangkan oleh Raymond Williams menyatakan bahwa media massa mempengaruhi cara kita melihat diri kita sendiri dan masyarakat.
TikTok, yang dipenuhi dengan tren dan tantangan, membentuk cara pandang kita terhadap diri sendiri—seringkali dalam konteks yang dangkal dan berbasis penampilan. Ini berisiko memperburuk rasa ketidakpuasan terhadap kehidupan nyata kita.
TikTok sebagai fenomena budaya dan teknologi memang menghadirkan banyak dampak positif, seperti kemudahan berbagi informasi dan kreativitas.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang ilmiah, terutama dalam hal filsafat dan budaya intelektual, TikTok juga memiliki dampak negatif yang signifikan.
Platform ini mendorong konsumsi informasi yang dangkal, mereduksi filsafat menjadi kutipan tanpa makna, dan lebih mengutamakan imitasi daripada inovasi.
Selain itu, TikTok juga berpotensi menciptakan ketidakpuasan diri dan menyebarkan budaya yang lebih menekankan pada hiburan sesaat daripada pemikiran kritis.
Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam menggunakan teknologi ini. TikTok bisa menjadi alat untuk hiburan dan berbagi kreativitas, tetapi kita juga harus menjaga agar tidak terjebak dalam konsumsi informasi yang dangkal, yang bisa merusak kedalaman pemikiran dan kreativitas kita.
Oleh karena itu, kita perlu menjaga keseimbangan antara hiburan dan pemikiran kritis, serta berusaha untuk menciptakan budaya media yang lebih sehat dan mendalam.
Komentar
Posting Komentar