Demokrasi dan Politik Indonesia dalam Cengkeraman AI

Ilustrasi demokrasi dan politik dalam cengkeraman AI (Pic: Meta AI)


Suara rakyat harus tetap lebih keras daripada bisikan algoritma. Sebab dalam demokrasi kita sejati, bukan data yang berdaulat—tapi manusia



Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, politik tak lagi hanya bertumpu pada kampanye fisik, baliho, dan debat di layar kaca. 


Dunia politik kini bergerak cepat menuju ruang digital, di mana kecerdasan buatan (AI) dan algoritma prediktif memainkan peran besar dalam membentuk opini publik, mengarahkan perilaku pemilih, bahkan memengaruhi hasil pemilu.


Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, bukan pengecualian. 


Dengan populasi muda yang sangat aktif di media sosial dan penggunaan internet yang tinggi, Indonesia menjadi “ladang emas” bagi operasi digital-politik. 


Namun, seiring dengan potensi besar ini, muncul pula ancaman laten: manipulasi masif terhadap demokrasi melalui teknologi yang tak kasat mata.



AI dan Microtargeting Politik


Microtargeting adalah strategi di mana kampanye politik mengelompokkan pemilih berdasarkan data perilaku dan preferensi mereka, lalu menyasar mereka dengan pesan yang disesuaikan.


Dengan bantuan AI:


- Pemilih dikategorikan berdasarkan aktivitas digital (like, comment, share, retweet).


- Konten politik kemudian disebar secara terarah — misalnya, pemilih religius akan disasar dengan isu agama, sementara pemilih muda lebih diberi konten soal pekerjaan dan gaya hidup.


- Dampak: Pemilih merasa terhubung dengan pesan kampanye, padahal mereka sedang dimanipulasi agar masuk ke kubu tertentu.



Bot, Buzzer, dan Disinformasi


Jutaan akun palsu bisa dioperasikan secara otomatis oleh AI (botnet) untuk menyebarkan narasi politik tertentu, menggiring opini publik, bahkan menyerang tokoh yang dianggap musuh.


Contoh:


Dalam momen Pemilu 2019 dan menjelang 2024, isu-isu agama, ras, dan kebhinekaan kerap digunakan untuk polarisasi.


AI dapat membantu menciptakan “echo chamber” yang membuat seseorang merasa opini mereka mayoritas, padahal itu hasil rekayasa konten.



Algoritma Medsos: Penjara Digital Tanpa Jeruji


Media sosial didesain dengan algoritma yang mengutamakan engagement (ketertarikan). AI mempelajari apa yang kita suka, lalu terus menampilkan hal serupa. Ini menciptakan:


- Filter bubble: pengguna hanya melihat informasi yang sesuai dengan keyakinannya.


- Polarisasi ekstrem: orang sulit menerima perspektif berbeda, karena sistem “mengunci” mereka dalam pandangan tertentu.


Ini memberi ruang besar bagi pemain politik untuk menyusup dan memperkuat narasi yang menguntungkan mereka.



Pemantauan Aktivisme dan Kritik Digital


AI juga digunakan untuk memantau kata kunci atau aktivitas sosial digital yang dianggap “berisiko”. 


Lembaga atau pemerintah bisa:


- Melacak akun yang sering mengkritik kebijakan.


- Mengidentifikasi gerakan massa sejak dini melalui pola digital.


- Memprediksi kemungkinan unjuk rasa dari dinamika percakapan online.


Risikonya? Demokrasi jadi tereduksi hanya pada ilusi kebebasan, padahal warganya sedang dalam pengawasan sistemik.



Etika dan Ketimpangan Akses Teknologi


Satu hal yang sangat penting: aktor politik besar memiliki akses ke teknologi canggih dan tim AI, sedangkan masyarakat umum tidak. Ini menciptakan:


- Ketimpangan kekuasaan informasi.


- Pemilih rentan terjebak narasi palsu karena tak punya alat untuk memverifikasi.



Demokrasi digital di Indonesia berjalan di dua sisi mata pisau: di satu sisi, ia memberi ruang partisipasi luas bagi publik; di sisi lain, ia menyimpan ancaman tersembunyi berupa manipulasi algoritmik dan dominasi narasi yang dikendalikan oleh segelintir elit digital.


AI dan algoritma prediktif seharusnya menjadi alat untuk memperkuat demokrasi, bukan menghancurkannya dari dalam. 


Karena itu, literasi digital, transparansi data, dan regulasi etis terhadap penggunaan AI dalam politik menjadi hal mendesak untuk ditegakkan.


Dan yang paling penting, suara rakyat harus tetap lebih keras daripada bisikan algoritma. Sebab dalam demokrasi sejati, bukan data yang berdaulat—tapi manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?