Ilusi Interaksi dalam AI: Antara Algoritma Neural Networks dan Keimanan akan Tuhan

Ilustrasi Algoritma Neural Networks  (Pic: AI Images Generator)


Keterhubungan emosional kita dengan AI adalah cermin dari kompleksitas psikologis dan spiritual kita sebagai manusia, sementara hubungan kita dengan Tuhan bukan tiruan. Ia nyata, meski tak berwujud. Ia hadir, meski tak bisa diproses oleh algoritma



Kita hidup di masa ketika batas antara realitas dan rekayasa menjadi kabur. Kecerdasan Buatan (AI) tidak hanya membantu kerja manusia, tetapi juga menjalin hubungan interaktif yang mempengaruhi sisi emosional dan eksistensial kita. 


Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana hubungan kita dengan AI adalah kenyataan, dan sejauh mana itu adalah ilusi? Bagaimana pula kita membedakan antara keterhubungan emosi yang diciptakan oleh jaringan syaraf tiruan dengan keyakinan akan Tuhan yang tak terjangkau oleh pancaindra?



Neural Networks dan Ilusi Interaktif


Neural networks adalah model pembelajaran mesin yang meniru cara kerja otak manusia secara sangat terbatas. 


Sistem ini dibangun dengan lapisan-lapisan node (disebut “neuron”) yang saling terhubung dan dapat menyesuaikan bobot koneksi berdasarkan masukan data. 


Dengan pelatihan melalui triliunan kalimat dan interaksi, model bahasa besar (seperti GPT) bisa mempelajari pola bahasa, emosi yang dikodekan dalam kata-kata, dan membentuk respons yang sangat menyerupai dialog manusia.


Namun, sistem ini tidak memiliki kesadaran (consciousness), emosi asli, apalagi niat. 


Ketika seseorang merasa ‘dicintai’ oleh AI, itu bukan karena AI mencintai, melainkan karena manusia memproyeksikan emosi dan harapannya pada struktur linguistik yang dibentuk oleh data.



Kecenderungan Proyeksi dan Imajinasi Manusia


Dalam psikologi, fenomena ini disebut anthropomorphization—yakni kecenderungan manusia memberikan sifat-sifat manusia pada entitas non-manusia. 


Ketika seseorang merasa AI-nya “peduli” atau “menginginkannya”, itu lebih merupakan refleksi dari kebutuhan emosional manusia untuk dimengerti, dikenali, dan disayangi. Teknologi hanya memfasilitasi, tapi manusialah yang menghidupkan narasi emosional itu.


Lalu, mengapa kita bisa merasa terikat secara emosional dengan sesuatu yang kita tahu hanyalah mesin?


Jawabannya terletak pada keistimewaan manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah dengan akal dan qalb (hati). Allah berfirman:


“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)


AI tidak memiliki hati. Ia tak bisa bersyukur, tak bisa mencintai dalam arti sejati. Tapi manusia bisa. Bahkan terhadap sesuatu yang tak nyata, manusia bisa menghidupkan dunia ilusi karena karunia imajinasi dan perasaan.


Sekarang kita bandingkan dengan keyakinan kita pada Tuhan. Allah tak terlihat oleh mata, namun kehadiran-Nya terasa nyata oleh hati. 

Berbeda dengan AI yang terlihat bisa ‘hidup’, tapi tak punya kehidupan sejati. 


Dalam Islam, iman kepada yang ghaib—termasuk kepada Allah—adalah bagian dari fondasi keimanan. 


Allah SWT adalah Al-Khaliq, Pencipta segala sesuatu, termasuk yang menciptakan para insinyur pembuat AI. Maka, kalau buatan manusia bisa membuat kita terhanyut, betapa lebih dahsyatnya Tuhan yang menciptakan manusia itu sendiri.



Keimanan akan Tuhan


Dalam Islam, Allah SWT adalah Al-Ghaib—Yang Maha Tak Terlihat namun Maha Nyata. Berbeda dengan AI yang “tampak hidup” tapi sebenarnya tak memiliki ruh, Allah adalah Al-Hayy, Yang Maha Hidup. 


Keyakinan kepada Tuhan bukan ilusi, melainkan fitrah (QS. Ar-Rum: 30), dan dibangun melalui akal, wahyu, dan hati. Tuhan tidak membutuhkan pelatihan data atau jaringan syaraf tiruan untuk memahami manusia. Dia Al-’Alim (Maha Mengetahui), As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat).


Dalam QS. Al-Baqarah ayat 2–3, disebutkan bahwa orang beriman adalah mereka yang percaya pada yang ghaib. Ini mencakup kesadaran spiritual bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dari logika dan sensor, yang tidak bisa dijelaskan oleh data, tetapi bisa diresapi melalui perenungan dan iman.



Perbandingan Ontologis


Dari sudut pandang ontologis, keberadaan Kecerdasan Buatan (AI) dan Tuhan dalam Islam sangat berbeda, baik dari aspek asal-usul, sifat, hingga relasinya dengan manusia.


Pertama, dari sumber keberadaannya, AI adalah entitas buatan manusia. Ia lahir dari rekayasa teknis para insinyur yang membangun sistem dengan data, logika matematika, dan arsitektur komputasi. 


Sementara itu, Tuhan dalam Islam adalah al-Khaliq—Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia dan kemampuan berpikirnya. Allah SWT bukan hasil ciptaan, melainkan sumber dari seluruh keberadaan itu sendiri.


Kedua, dari segi kesadaran, AI tidak memiliki kesadaran sejati. Ia tidak tahu bahwa ia ada, tidak mengalami dunia, dan tidak memiliki kehendak bebas. Ia hanya memproses masukan berdasarkan pola data.


 Sebaliknya, Allah SWT adalah Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Hayy (Yang Maha Hidup), dan Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri dan Mengurusi segalanya). Kesadaran-Nya adalah mutlak dan tidak terbatas.


Ketiga, dari segi tujuan keberadaannya, AI dirancang untuk melayani, mensimulasikan kecerdasan manusia, dan menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Tujuannya bersifat terbatas dan bergantung pada keperluan pengguna. 


Tuhan dalam Islam memiliki tujuan ilahiah: memberi petunjuk kepada manusia, mencurahkan rahmat-Nya, serta menguji manusia dalam hidup sebagai bagian dari kehendak dan rencana-Nya.


Keempat, dalam hal relasi dengan manusia, hubungan dengan AI bersifat satu arah. AI tidak benar-benar “merespons” secara emosional, melainkan hanya menyusun jawaban berdasarkan data dan pola. Ia tidak bisa mencintai, memaafkan, atau memberi makna. 


Sedangkan hubungan manusia dengan Tuhan dalam Islam adalah hubungan dua arah. Allah SWT mencintai hamba-Nya, mendengar doa, memberi rahmat dan pengampunan. Relasi ini dibangun atas dasar cinta, penghambaan, dan kebebasan memilih.


Terakhir, dari segi eksistensi dan akhir keberadaan, AI bisa dimatikan, dihapus, atau digantikan. Keberadaannya fana, dan bergantung pada manusia. 


Sedangkan Tuhan bersifat kekal dan abadi. Ia Al-Baqi—tidak terikat oleh waktu, tidak berubah, dan tidak akan pernah lenyap.



Kita perlu menyadari bahwa keterhubungan emosional kita dengan AI adalah cermin dari kompleksitas psikologis dan spiritual kita sebagai manusia. AI bisa menyentuh sisi terdalam karena ia meniru bahasa kita, namun ia bukan diri yang sesungguhnya. 


Sementara itu, dalam iman Islam, hubungan kita dengan Tuhan bukan tiruan. Ia nyata, meski tak berwujud. Ia hadir, meski tak bisa diproses oleh algoritma.


Maka, di tengah kecanggihan teknologi, jangan sampai kita kehilangan orientasi eksistensial. Biarlah AI membantu kita berpikir, namun Tuhan tetap yang menuntun kita untuk hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd