Sikap Politik AS dalam Isu Nuklir Iran dan Israel
Ilustrasi Iran, nuklir, dan Trump (Pic: Meta AI)
Perlakuan keras terhadap Iran dan pembiaran terhadap Israel menunjukkan bahwa kepentingan geopolitik lebih dominan dibanding prinsip non-proliferasi yang selama ini dijadikan alasan resmi
Isu proliferasi nuklir menjadi sorotan utama dalam hubungan internasional sejak Perang Dunia II.
Amerika Serikat sebagai negara adidaya kerap memposisikan diri sebagai pelindung perdamaian global, namun dalam praktiknya tidak jarang memainkan politik dua muka.
Ketimpangan paling mencolok dapat dilihat dalam perlakuan berbeda terhadap Iran dan Israel dalam isu pengembangan senjata nuklir.
Ketimpangan Perlakuan terhadap Iran dan Israel
Iran, sebagai negara yang menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), terus mendapat tekanan dari AS dan sekutunya, termasuk sanksi ekonomi berat serta ancaman intervensi militer. Tujuannya? Mencegah Iran mencapai kapasitas pengembangan senjata nuklir.
Amerika berdalih bahwa kehadiran senjata nuklir Iran berisiko besar terhadap stabilitas regional dan keamanan sekutu utamanya, yaitu Israel.
Namun ironisnya, Israel justru tidak menandatangani NPT, dan secara luas diketahui telah mengembangkan senjata nuklir secara rahasia sejak tahun 1960-an.
Hingga kini, Israel diyakini memiliki ratusan hulu ledak nuklir, namun tidak mendapat tekanan serupa dari AS maupun badan internasional. Bahkan, AS terus memberikan bantuan militer dan teknologi mutakhir kepada Israel.
Politik Dua Muka dan Kepentingan Strategis
Sikap AS mencerminkan politik dua muka yang sarat kepentingan geopolitik. Israel merupakan sekutu utama AS di Timur Tengah yang memiliki peran vital dalam menjaga kepentingan strategis dan ekonomi AS di kawasan.
Sebaliknya, Iran sering berada dalam posisi berlawanan, baik secara ideologi maupun aliansi global. Maka, bukan soal prinsip, tapi soal siapa yang kawan dan siapa yang bukan.
Implikasi Terhadap Tatanan Global
Perlakuan diskriminatif ini memicu:
1. Ketidakpercayaan terhadap lembaga internasional, seperti IAEA dan PBB, yang dianggap hanya menjadi alat kekuasaan negara kuat.
2. Perlombaan senjata nuklir, di mana negara-negara lain bisa merasa berhak mengembangkan senjata serupa sebagai upaya pertahanan diri.
3. Ketegangan berkelanjutan, terutama di Timur Tengah, yang menjadi kawasan rawan konflik berkepanjangan.
Amerika Serikat, melalui politik luar negerinya, secara nyata telah memperlihatkan standar ganda dalam menyikapi isu nuklir.
Perlakuan keras terhadap Iran dan pembiaran terhadap Israel menunjukkan bahwa kepentingan geopolitik lebih dominan dibanding prinsip non-proliferasi yang selama ini dijadikan alasan resmi.
Ketimpangan ini menjadi sumber ketidakadilan global yang berpotensi memicu instabilitas baru.
Komentar
Posting Komentar