Gelombang Panas Ekstrem, Tapi India dan Pakistan Lebih Pilih Perang

Ilustrasi cuaca panas ekstrem (Pic: AI Images Generator)


Ketegangan India dan Pakistan yang berlanjut di tengah gelombang panas ekstrem mencerminkan kemenangan politik identitas dan keamanan nasional atas kebutuhan ekologis dan kemanusiaan



Konflik antara India dan Pakistan adalah salah satu rivalitas paling lama dan kompleks dalam geopolitik Asia Selatan. 


Di tengah ancaman iklim global, khususnya gelombang panas ekstrem yang kini melanda kawasan tersebut dengan suhu hampir mencapai 49°C, dunia bertanya-tanya: mengapa kedua negara ini masih memilih untuk mempertahankan ketegangan militer di tengah ancaman ekologis yang nyata?


Fenomena ini menggarisbawahi bagaimana pertimbangan politik, keamanan, dan identitas nasional dapat mengungguli insting survival ekologis. 


Tulisan ini akan membahas latar belakang konflik, kondisi iklim yang ekstrem saat ini, dan mengapa gelombang panas tidak cukup kuat untuk meredakan ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir ini.



Latar Belakang Konflik India–Pakistan


Konflik India–Pakistan berakar pada pembagian India Britania pada tahun 1947, yang menghasilkan dua negara merdeka berdasarkan garis keagamaan. 


Sengketa utama antara keduanya berkisar pada wilayah Kashmir, yang diklaim oleh kedua negara namun dikuasai sebagian oleh masing-masing pihak.


Sejak itu, telah terjadi tiga perang besar dan banyak insiden militer, termasuk:

 Perang Kashmir 1947–1948

 Perang 1965

 Perang Kargil 1999


Hubungan yang memburuk kembali memanas pada April 2025, setelah serangan oleh kelompok militan di Pahalgam, Kashmir, yang menewaskan puluhan wisatawan India. 


India menuduh Pakistan terlibat, sementara Pakistan membantah dan memperingatkan adanya potensi invasi militer India. 


Ketegangan meningkat dengan:

Penangguhan Perjanjian Air Indus,

Penutupan wilayah udara,

Penarikan diplomat,

Dan bentrokan bersenjata di Garis Kontrol (LoC).



Gelombang Panas Ekstrem: Ancaman Nyata yang Terabaikan


Pada saat yang sama, kawasan ini dilanda gelombang panas ekstrem:

 Pakistan: Suhu mencapai 47.8°C dan diprediksi menembus 49°C.

 India: Beberapa wilayah utara melaporkan suhu di atas 46°C.


Gelombang panas ini menyebabkan:

Lonjakan kasus heatstroke dan kematian warga sipil,

Gangguan besar pada sektor pertanian,

Pemadaman listrik massal karena lonjakan penggunaan pendingin udara,

Krisis air di wilayah-wilayah padat penduduk.


Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan bahwa suhu seperti ini dapat menjadi mematikan tanpa intervensi cepat dan perubahan kebijakan iklim.



Mengapa Konflik Terus Berlanjut di Tengah Bencana Alam?


1. Prioritas Nasionalisme dan Keamanan

Di kedua negara, nasionalisme adalah instrumen politik utama.

Pemerintah tidak ingin terlihat “lemah” di hadapan musuh abadi.

Kemenangan dalam konflik diplomatik atau militer kerap dipakai untuk mengalihkan perhatian dari isu dalam negeri—termasuk krisis iklim.


2. Militerisasi Kebijakan Luar Negeri

Baik India maupun Pakistan memiliki angkatan bersenjata yang besar dan sangat berpengaruh.

Ketegangan militer dianggap bagian dari strategi deterrent (penangkalan), terutama karena kedua negara memiliki senjata nuklir.


3. Rendahnya Resiliensi terhadap Bencana Iklim

Walau menjadi korban langsung perubahan iklim, kedua negara memiliki respon kebijakan iklim yang masih lemah.

Hal ini membuat mereka tidak memandang iklim sebagai ancaman langsung seperti musuh militer.


4. Diplomasi Regional yang Lemah

Tidak ada mekanisme regional yang kuat untuk mendamaikan konflik atau menghadapi krisis iklim bersama.

Organisasi seperti SAARC lumpuh karena ketegangan bilateral.



Ketegangan antara India dan Pakistan yang berlanjut di tengah gelombang panas ekstrem mencerminkan kemenangan politik identitas dan keamanan nasional atas kebutuhan ekologis dan kemanusiaan


Konflik seperti ini menunjukkan bahwa ancaman eksistensial dari perubahan iklim belum cukup kuat untuk mengubah kalkulasi strategis dua negara bersenjata nuklir ini.


Dunia internasional dan lembaga multilateral harus mendesak terbentuknya kerangka kerja kerja sama lintas batas yang mengintegrasikan keamanan, diplomasi, dan respons iklim. 


Tanpa itu, Asia Selatan tidak hanya akan menjadi pusat konflik geopolitik, tetapi juga epicentrum bencana ekologis yang tak terkendali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd