CERPEN: Asmara yang Tak Terduga

Fallan bersama Rita di sebuah cafe (Pic: Meta AI)



Meskipun Fallan tampak begitu sempurna, Rita tak bisa begitu saja membuka hatinya. Traumanya terhadap Ethan terlalu dalam, setiap kali ia melihat Fallan, bayangan masa lalunya kembali datang



Pada suatu sore yang cerah di kafe kecil di sudut kota, Rita sedang duduk seorang diri, menikmati secangkir kopi hangat. Ia tak suka keramaian, terutama setelah beberapa kejadian yang mengubah hidupnya. 


Hatinya terluka, dan setiap senyum yang datang selalu terasa kosong. Ethan, mantannya, yang dulu ia cintai sepenuh hati, kini hanya meninggalkan bekas luka yang dalam.


“Boleh saya duduk di sini?” tiba-tiba terdengar suara lembut, namun tegas, memecah kesunyian. 


Rita menoleh dan melihat seorang pria berdiri di depannya. Pria itu tinggi, dengan rambut coklat yang tergerai rapi, wajah tampan dengan mata yang penuh kehangatan, seolah berbicara tanpa kata-kata.


Rita hanya mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Ia bukan tipe orang yang suka berbicara dengan orang asing, apalagi pria. Namun ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya tak bisa mengabaikannya.


Pria itu duduk, tersenyum ramah, dan berkata, “Aku Fallan. Aku baru pindah ke kota ini. Sepertinya aku mengganggu, ya?”


Rita hanya mengangkat bahu. “Tidak, tidak masalah.” Suaranya terdengar agak dingin, namun ia tidak bisa menepis perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Mungkin karena pria itu begitu… berbeda.


Setelah beberapa saat, Fallan mencoba membuka percakapan lagi. “Kamu sering datang ke sini?” tanyanya dengan nada yang ringan.


Rita menatapnya sejenak, mempertimbangkan jawabannya. “Kadang. Aku suka suasana di sini. Tidak terlalu ramai.”


Fallan tersenyum, merasa diterima walau dengan cara yang sedikit kaku. “Aku juga suka tempat seperti ini. Lebih tenang.”


Obrolan mereka berlanjut, meski Rita tidak memberikan banyak detail tentang dirinya. Ia tak mau membuka luka lama, tak mau bercerita tentang Ethan. Namun, Fallan tidak menyerah. Ia terus bertanya dengan lembut, membiarkan Rita berbicara bila ia merasa nyaman. Seiring waktu, percakapan mereka semakin mengalir, dan Rita merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—ketenangan yang perlahan menggantikan kekosongan yang ia rasakan.


Namun, meskipun Fallan tampak begitu sempurna, Rita tak bisa begitu saja membuka hatinya. Traumanya terhadap Ethan terlalu dalam. Ingatan tentang bagaimana Ethan menghancurkan hatinya masih membekas jelas di benaknya. Setiap kali ia melihat Fallan, bayangan masa lalunya kembali datang.


Fallan menyadari ketidaknyamanan itu, namun ia tidak menyerah. Dia tetap hadir, sabar, dan penuh perhatian. Hari demi hari, mereka semakin dekat. Fallan selalu ada saat Rita membutuhkan seseorang untuk berbicara, tetapi juga tahu kapan harus memberinya ruang. Keberadaannya seperti penyejuk bagi hati yang terluka.


*********


Suatu hari, Fallan memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya. Mereka duduk di taman kota, menikmati udara sore yang sejuk.


“Rita, aku tahu kamu punya banyak luka. Aku tidak ingin mendesakmu, tapi aku ingin kamu tahu, aku… aku suka kamu,” kata Fallan dengan hati-hati, menatap mata Rita yang kini penuh dengan kebingungan.


Rita menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai muncul. “Aku… aku masih belum siap, Fallan. Aku takut jika aku membuka hati lagi, aku akan terluka seperti sebelumnya.”


Fallan menghela napas pelan, tapi tetap menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tidak akan menyakiti kamu, Rita. Aku hanya ingin membuatmu bahagia.”


Rita bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata Fallan. Namun, hatinya masih terikat pada masa lalu, pada Ethan.


*********


Beberapa minggu berlalu, dan Rita akhirnya mulai merasakan sesuatu. Sesuatu yang telah lama ia tutup rapat-rapat—rasa cinta. Fallan yang sabar, perhatian, dan selalu hadir di saat-saat terburuknya, membuatnya tak bisa lagi menepis perasaan itu. Cinta mulai tumbuh dalam dirinya, perlahan namun pasti. Fallan bukanlah Ethan, dan itu yang ia butuhkan. Ia perlahan mulai membuka hatinya, meski tetap diselimuti keraguan.


Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Rita sedang duduk di rumah, ponselnya berbunyi. Teriakan familiar yang ia kenali datang dari layar. Sebuah pesan dari Ethan yang sudah lama tak ia dengar.


“Rita, kamu pikir kamu bisa melarikan diri dariku? Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Kembali padaku.”


Rita terkejut. Hatinya berdebar, takut, dan cemas. Ethan tidak pernah benar-benar pergi. Ia tidak bisa menahan rasa panik yang kembali datang, seperti mimpi buruk yang terus menghantui.


Dia mencoba mengabaikan pesan itu, namun semakin lama semakin banyak pesan yang datang. Ethan tidak berhenti menerornya, mengirim pesan-pesan kasar, penuh ancaman. Ketakutannya kembali muncul, mengingatkan pada semua rasa sakit yang dulu ia alami.


*********


Fallan, yang menyadari perubahan sikap Rita, akhirnya tahu apa yang sedang terjadi. Suatu malam, ia datang ke rumah Rita, menatapnya dengan serius.


“Rita, kamu tidak harus menghadapi ini sendiri. Aku di sini untukmu. Jika Ethan terus mengganggu, kita akan menghadapi ini bersama,” kata Fallan dengan tekad di matanya.


Rita menatapnya, matanya mulai berlinang. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Fallan. Tapi aku juga tidak bisa melupakan Ethan begitu saja.”


Fallan mendekat, menggenggam tangan Rita dengan lembut. “Aku akan membantumu menghadapinya. Kamu tidak sendirian lagi.”


Malam itu, mereka memutuskan untuk melapor kepada pihak berwajib, dan perlahan-lahan, teror dari Ethan mulai berkurang. Dengan dukungan Fallan, Rita bisa merasa aman, dan akhirnya, ia memilih untuk melepaskan masa lalunya. Cinta yang tumbuh bersama Fallan menjadi kekuatan baru bagi dirinya, sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan dan trauma yang telah mengikatnya begitu lama.


Seiring berjalannya waktu, Rita akhirnya sadar bahwa cintanya pada Fallan bukan hanya sebuah pelarian, tetapi sebuah perjalanan yang tulus dan abadi. Meskipun masa lalunya terus membayangi, cintanya kepada Fallan semakin kuat, semakin dalam, dan tidak tergoyahkan. Bersama Fallan, dia merasa benar-benar hidup kembali, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa cinta itu tidak harus menyakitkan.


Aku mencintaimu, Fallan,” kata Rita dengan suara lembut, saat mereka duduk berdua di taman, menikmati senja yang indah. “Aku juga mencintaimu, Rita, jawab Fallan, menggenggam tangannya erat.


Dan cinta mereka pun bertahan, abadi.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd