Diplomasi Berdarah : Ketika Gedung Putih Membuka Pintu untuk Penjagal Gaza
![]() |
Presiden AS Donald Trump dan PM Israel Benjamin Netanyahu (Pic: nytines.com) |
Netanyahu bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri Israel dengan mengorbankan nyawa puluhan ribu warga sipil tak bersalah, sementara Amerika gagal menjalankan peran sebagai “polisi dunia” yang adil
Hingga awal April 2025, jumlah warga Palestina yang tewas akibat agresi Israel sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai lebih dari 50.600 orang, dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.
Selain itu, lebih dari 115.000 orang dilaporkan mengalami luka-luka dalam periode yang sama (antaranews.com, 05/04/2025).
Perlu dicatat bahwa angka-angka ini terus bertambah seiring berlanjutnya konflik dan serangan di wilayah tersebut.
Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan dan di jalan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka (aa.com.tr, 07/04/2025)
Netanyahu dan Politik Kekuasaan (Realpolitik)
Netanyahu adalah tokoh politik yang dikenal menganut pendekatan realpolitik — sebuah strategi politik yang lebih mengedepankan kepentingan nasional dan kekuasaan dibanding idealisme atau nilai moral.
Dengan alasan membela keamanan Israel, ia melancarkan serangan brutal ke wilayah Gaza, terutama saat ketegangan meningkat antara Hamas dan pemerintah Israel. Tapi…
Pertanyaan etis muncul: Apakah membombardir wilayah padat penduduk hingga menewaskan puluhan ribu warga sipil bisa dibenarkan dengan dalih keamanan?
Secara hukum internasional: Tindakan Israel di Gaza diduga melanggar prinsip proportionality dalam Hukum Humaniter Internasional (IHL), terutama Konvensi Jenewa.
Amerika Serikat: Sekutu atau Sponsor?
AS adalah sekutu strategis Israel dan penyokong utamanya, baik dari segi diplomatik, militer, maupun ekonomi.
- Dana militer: AS menggelontorkan miliaran dolar tiap tahun untuk pertahanan Israel, dan sebagian besar digunakan dalam pembelian senjata yang digunakan dalam konflik.
- Hak veto di PBB: AS berkali-kali memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam aksi militer Israel, membuat Israel nyaris kebal terhadap sanksi internasional.
- Alasan geopolitik: Israel adalah benteng demokrasi liberal ala Barat di kawasan Timur Tengah yang penuh gejolak, dan AS tak ingin kehilangan pengaruh di sana.
Tanggung Jawab Moral dan Politik
Dalam etika politik kontemporer, setiap pemimpin negara wajib:
- Melindungi warganya tanpa melanggar hak asasi manusia pihak lain.
- Bertanggung jawab terhadap dampak keputusannya, baik dalam maupun luar negeri.
Netanyahu sering menggunakan narasi “anti-terorisme” untuk membenarkan tindakan agresif. Tapi, ketika jumlah korban sipil terus membengkak, narasi itu kehilangan daya legitimasi di mata dunia.
Reaksi Dunia dan Krisis Legitimasi
Saat ini, banyak negara dan organisasi HAM dunia mulai mengecam Israel secara terbuka. Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel juga semakin menguat.
Bahkan, beberapa anggota parlemen di AS mulai mempertanyakan:
- Sampai kapan AS harus “membiayai” perang yang menewaskan anak-anak?
- Apakah dukungan ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan?
Sikap Netanyahu dapat dinilai tidak bertanggung jawab jika kita melihat dari sudut pandang kemanusiaan dan hukum internasional.
Ia mungkin bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri Israel, tapi dengan mengorbankan nyawa puluhan ribu warga sipil tak bersalah, ia melanggar batas moral dan etis kepemimpinan.
Dan Amerika, jika terus memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel, juga bisa disebut ikut bertanggung jawab dalam tragedi ini. Bukan hanya sebagai penyokong, tapi juga sebagai aktor geopolitik yang gagal menjalankan peran sebagai “polisi dunia” yang adil.
Komentar
Posting Komentar