ANAK- ANAK BANGSAKU


Saya sangat menyayangi anak-anak, entah kenapa bisa sangat menyayangi mereka, setiap bertemu atau melihat mereka saya merasa ingin melindungi dan membelai lembut kepala mereka.


Saya berpikir mereka adalah sebuah sosok seperti orang dewasa dalam ukuran kecil yang memerlukan penghargaan dan pengakuan seperti layaknya manusia dewasa. 

Terkadang hal yang saya lakukan mendapat pertentangan keras dari mereka yang dewasa di sekitarku, sebab mereka menganggap hal tersebut terlalu memanjakan dan membuat anak-anak itu besar kepala, kurang ajar, dan menjadi manja. Saya menghargai pendapat itu, namun saya juga memiliki pendapat sendiri untuk menyelidiki dan mempraktekkan apa yang saya yakini.

Beberapa waktu berlalu, dan hal yang saya yakini membuahkan hasil yang saya rasa menuju hal yang positif, anak- anak yang saya perlakukan dengan sistem penghargaan atas kepribadian mereka menjadi anak-anak yang mudah diatur dan diajak berkomunikasi layaknya pemikiran dewasa dengan ide-ide positif yang terkadang lebih briliant dari orang dewasa, bahkan harus diakui kadang pemikiran dan kecerdasan mereka keluar spontan dengan kepolosan dan kejujuran mereka, tanpa ada intrik kelicikan atau kemunafikan yang kadang kita temukan pada orang- orang dewasa, dan jika mereka ada hal yang dirasa kurang tepat, mereka mudah menerima perubahan positif sesuai karakter kepribadian mereka.
Pemikiran ini mengingatkan saya pada pola pendidikan yang pernah diterapkan Maria Montessori dari Inggris, menghargai anak-anak sesuai dengan kepribadian mereka, atau juga Ki Hajar Dewantara dari Indonesia dengan sembotan Tut wuri handayaninya.

Pernah berpikir apakah pola seperti itu telah diterapkan di negara kita? mungkin ada beberapa lembaga pendidikan yang telah menerapkan, tapi tahukah Anda bahwa mayoritas lembaga terkadang menerapkan aturan kepada anak-anak tanpa memperhatikan kepribadian mereka secara mendalam sehingga akhir-akhir ini sering timbul terjadinya laporan pelanggaran HAM di sekolah-sekolah tertentu, di satu sisi sekolah ingin yang terbaik untuk lembaganya, sementara di sisi lain murid merasa teraniaya.
Apakah ada yang salah dengan hal ini? mungkin dikhawatirkan akan terjadi aturan yang amburadul seandainya sebuah aturan disesuaikan dengan sosok kepribadian yang beragam, saya rasa tidak ada yang sulit bila sebuah peraturan disesuaikan dengan karakter kepribadian seseorang, sebab hanya dengan merubah pola pikir seseorang dengan kecerdasan emosi tinggi, maka segalanya bisa berjalan dengan normal tanpa perlu pertentangan di sana sini, sebab yang sering kita lihat di lapangan adanya pertentangan emosi disana-sini karena kurang adanya empati dan kecerdasan emosi di semua pihak.

Comments