Pengeroyokan Ade Armando, Siapa Korban Sesungguhnya?

Ade Armando (pic: populis.id)

Sudah saatnya Indonesia menegakkan hukum dengan seadil-adilnya bukan hanya tegas terhadap pelanggar hukum namun juga menyelidiki penyebab terjadinya peristiwa pelanggaran hukum sehingga tidak ada pihak-pihak yang menjadi korban ataupun dikorbankan



Saat Ade Armando dikeroyok habis-habisan, semua orang beramai-ramai membelanya. Atas nama empati, atas nama kemanusiaan, atas nama keadilan, bahkan ada yang tanpa disadari, atas nama numpang terkenal.


Bukan hal mengejutkan bila Ade Armando sudah sering malng melintang di berbagai stasiun televisi dalam berbagai wawancara, yang jika publik dapat menyimpulkan statement-statementnya lebih pro terhadap rezim yang berkuasa. Bahkan dalam perdebatan di sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu, dia sempat bersitegang dengan mahasiswa. Hal inilah yang menjadi cap tersendiri di mata mahasiswa dan pihak-pihak yang antipati kebijakan penguasa, bahwa Ade Armando bukan di pihak mereka.



Latarbelakang peristiwa


Hal yang paling fokus disorot sebenarnya bukanlah pengeroyokan yang terjadi pada dosen UI tersebut, namun hal yang melatarbelakangi kenapa hal tersebut bisa terjadi. Sebab secara logis tidak ada istilahnya seseorang berbuat tanpa alasan tertentu. Meskipun di satu sisi kita tidak pernah mentolerir sikap anarkhis yang diambil, tetapi di sisi lain menimbulkan pertanyaan, mengapa Ade Armando bisa mengalami pengeroyokan habus-habisan, latar belakang apa yang membuat hal itu terjadi? Kenapa orang bisa sedemikian emosional dan bertindak irasional terhadapnya, ada apa dengan Ade Armando?


Beberapa saat sebelum peristiwa pengeroyokan dan pemukulan terjadi, sempat terjadi cacian dari pengeroyok yang menyebut Ade munafik. Mereka tampaknya tidak menghendaki adanya Ade disitu karena dianggap bersikap munafik alias mendua. Mungkin dari berbagai pernyataanya di media massa yang jelas terlihat dia sangat pro dengan rezim yang ada, namun anehnya begitu terjadi demo yang bertujuan mengkritik pemerintah, justru tiba-tiba hadir disitu. Bagi mereka yang jengah dengan sikapnya, tentu saja kehadiran Ade di tengah demonstrasi dianggap sikap plin-plan, menangguk keuntungan dengan sikap mendua,  memata-matai, atau sengaja memancing di air keruh?


Saat terjadinya peristiwa pengeroyokan, memang unjuk rasa telah usai, namun justru disitulah sikap panas massa kembali bergejolak saat melihat Ade Armando terlihat di tengah-tengah kumpulan massa. Terlepas dari siapapun pelakunya, suasana panas dan emosi yang tersulut di tengah kelelahan usai demo sudah pasti bisa ditebak, akan memicu aksi anarkhis.


Tindakan pemukulan memang tak bisa dibenarkan, apalagi ditambah dengan aksi penelanjangan, namun di tengah suasana panas massa yang terbakar, terkadang akal sehat terbang melayang. Apalagi bila sebelumnya ada faktor penyebabnya.


Terjadinya tindakan kekerasan terhadap Ade Armando, dosen sekaligus pegiat meda sosial, merupakan sinyal nyata dari masyarakat, bahwa mereka yang berpihak pada rezim yang berkuasa dengan meninggalkan suara nurani mereka, akan senantiasa diingat dimanapun. Sehingga sudah umum terjadi, apabila telah siap dengan pernyataan yang diambil, maka sudah pasti juga wajib siap menerima resiko sikap dan perlakuan dari pihak yang berseberangan. 


Apalagi bila berkaca dari laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, tentang sikap netizen Indonesia terutama buzzer, yang beberapa waktu terakhir ini dikenal di antero dunia, sangat kasar dan kurang beretika. 


Sama seperti yang dilakukan Guru besar FMIPA UGM, Prof Karna Wijaya, yang komentarnya terkait pengeroyokan Ade Armando viral di media sosial, sebab dianggap ujaran kebencian, meskipun dia menganggap itu hanya guyonan.


Tetapi akibat postingannya tersebut, berbagai hujatan yang kabarnya berasal dari para pendengung atau buzzer di media sosial yang selama ini pro terhadap Ade Armando menghujaninya. Bahkan dia dituding dituding penganut radikalisme dan juga Negara Islam Indonesia (NII). Padahal menurut Karna, bila dibandingkan dengan statement-statement yang dibuat Ade Armando selama ini, apa yang diperbuatnya tidak ada apa-apanya.



Proses hukum semua pihak


Selain proses hukum si pengeroyok akibat tindakan anarkhisnya, tampaknya perlu juga ada proses hukum terhadap mereka yang ikut memperkeruh suasana dengan asal tuding terhadap pelaku-pelakunya, yang ternyata salah orang. Demikian juga perlu ada peninjauan hukum mengapa hal tersebut dapat terjadi, jadi tidak hanya menimpakan semua kesalahan pada si pelaku pemukulan. Hal ini tidak beda jauh dengan peristiwa yang sempat viral beberapa waktu terakhir, saat seorang karena demi membela diri hingga menghilangkan nyawa begal, justru menjadi pesakitan, sehingga terlihat sanksi hukum yang kaku. Namun setelah desakan keadilan dari berbagai pihak, si pembunuh begal dilepaskan dari tuntutan hukum.


Demikian juga dalam melihat kasus Ade Armando, harus ada sisi kebijakan hukum dalam mencermatinya, sehingga tidak selayaknya hanya menimpakan kesalahan secara membabi buta kepada seseorang hanya karena demi menjaga marwah tokoh publik, ataupun desakan pendukung rezim.


Sudah saatnya Indonesia menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, bukan hanya tegas terhadap pelanggar hukum, namun juga menyelidiki penyebab terjadinya pelanggaran hukum, sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama mereka yang terkalahkan oleh publik figur.


Mari kita kembali mencermati sebuah pelanggaran hukum dari kaca mata dua belah pihak, tanpa memihak. Sama seperti patung dewi keadilan yang menutup matanya dalam menimbang neraca keadilan, sehingga hukum tidak berat sebelah hanya karena bercokolnya kekuasaan.


Kasus yang terjadi pada Ade tidak bisa dilihat hanya dalam kacamata sederhana, bahwa terjadi pemukulan dan tindakan anarkis hingga memeloroti celananya, namun harus ada peninjauan ke belakang tentang latarbelakang hal yang menjadi penyebabnya. Tidak hanya bisa dilihat bahwa dia hampir gegar otak, namun juga apa penyebab si pelaku melakukan tindakan anarkhis tersebut.


Sama seperti peristiwa tewasnya begal, penegak hukum tidak bisa melihatnya hanya dari korban begal yang terbunuh, namun harus juga dari sudut penyebab si terduga melakukan hal tersebut. Janganlah yang menjadi korban, justru yang memang sudah sewajarnya membela diri daripada mati konyol. Memang sudah seharusnya hukum berlaku fleksibel, tidak rigrit. Sebab jika kaku yang terjadi, maka tidak heran bila seorang nenek papa harus dipenjara akibat nyolong sebiji coklat dari kebun perusahaan. Wajib dicermati latarbelakang klausal penyebabnya, sehingga tidak ada yang menjadi korban dan dikorbankan.




Comments