Terawan Malang Terawan Ditendang




Pemecatan Terawan secara permanen menggugah simpati publik, menimbulkan tanda tanya tentang IDI, mengapa selalu memojokkan dan menganaktirikan Terawan?



Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Dr. dr Terawan Agus Putranto diberhentikan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pemecatan tersebut berdasar rekomendasi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI saat Muktamar di Banda Aceh, karena Terawan dinilai melakukan pelanggaran etik berat (serious ethical misconduct) dan dianggap tidak beritikad baik semenjak 2018.


Meskipun Terawan tampak santai menanggapi rekomendasi pemecatan dirinya, namun banyak masyarakat awam bingung dengan sikap IDI, karena memberi kesan seakan Terawan selalu disalahkan, dimusuhi dan dijudge terus-menerus. Padahal dalam kacamata mereka, mantan Menkes ini adalah sosok mulia, sebab penelitian dan pengobatannya terbukti efektif, namun segala yang dilakukannya selalu disalahkan, karena tidak sesuai dengan keinginan perkumpulan dokter di Indonesia.



Metode cuci otak dan kontroversi Permenkes 24/2020


Publik menduga penyebab Terawan dipecat secara permanen adalah karena pada Desember 2021 lalu, Vaksin Nusantara penemuannya akan dijadikan pemerintah sebagai opsi vaksin booster atau dosis ketiga. Hal ini tentu menjadi masalah besar bagi IDI, sebab mereka menganggap vaksin tersebut tidak memenuhi syarat uji klinis.


Tipikal masyarakat Indonesia yang serba ingin praktis, sehingga terkadang tidak memerlukan hal terlalu klinis, sebab terkesan mahal dan tingkat kesembuhannya belum tentu optimal. Itulah kenapa banyak masyarakat yang lebh mempercayai cara pengobatan tradisional, meski terkadang tidak ilmiah. Disinilah kecerdikan Terawan teruji, sebab di tangannya, segala yangi ilmiah dapat dengan mudah dipadu dengan tradisional, tanpa membebani pasien, namun memperoleh hasil optimal.


Permasalahan awal yang menjadi pemicu pertentangan batin antara Terawan dan IDI adalah praktik komersial metode intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias cuci otak untuk pasien stroke. Sejumlah kolega Terawan menilai metode itu belum terbukti secara klinis.Meskipun IDI menentangnya namun justru pasien yang sembuh dengan metode ini makin bertambah.


Metode terapi cuci otak disebut terbukti efektif dalam mengatasi problem stroke. SBY dan  dua temannya dari luar negeri yang mengalami stroke, telah berobat ke seluruh dunia, namun tidak ada hasil. Tetapi setelah berobat pada Terawan langsung sembuh total, entah sugesti atau memang cara pengobatan benar-benar efektif.


Metode intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias cuci otak untuk pasien stroke inilah yang melambungkan nama Terawan, hingga pasiennya membludak karena bukti kesembuhannnya. Mungkin disinilah yang membuat dunia kedokteran dunia terutama Indonesia tersentak, mengapa metode mereka yang lebih sesuai kaidah medis dan lolos uji klinis justru kalah dengan metode Terawan yang kabarnya kurang valid?


Akibatnya IDI memberikan surat sanksi pencabutan rekomendasi izin praktik dan keanggotaan Terawan di IDI spada 12 Februari 2018, karena Terawan dianggap melanggar empat prinsip Kode Etik Kedokteran Indonesia, yaitu mengiklankan diri secara berlebihan, tak memenuhi panggilan majelis sebanyak delapan kali, menarik bayaran dari tindakan yang belum terbukti secara medis, dan menjanjikan kesembuhan untuk pasien Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF). 


Disinilah awal mula perang dingin Terawan dengan IDI bermula. Hingga terhenti karena  Terawan terpilih menjadi menteri kesehatan dalam kabinet Jokowi, yang tentunya membawahi IDI. 


Saat menjadi menteri, ia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 24/2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik yang terbit pada 21 September 2020. Permenkes ini membuat dokter umum tidak bisa lagi melakukan pelayanan radiologi sebab hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis radiologi (radiolog) saja, Hal inilah yang kian memanaskan hubungan Terawan dan  IDI.



Booster Vaksin Nusantara


Penelitian Terawan yang telah digagas sejak akhir 2020 saat pandemi, yakni vaksin nusantara cukup membanggakan Indonesia, karena merupakan vaksin pertama kali di dunia yang dikembangkan dengan metode sel dendritik (dendritic cell) autolog atau komponen sel darah putih. Namun banyak ditentang koleganya karena  dianggap belum teruji sacara klinis, bahkan BPOM menyebutnya tak sesuai kaidah medis.


Publik menyayangkan jika vaksin nusantara belum lagi berkembang namun harus disuntik mati. Memang vaksin nusantara dianggap belum selesai melewati uji klinis dan belum terbukti efektif, namun jika mengalami penjegalan sebelum mencapai buktinya, kapan  penelitian ilmuwan dalam negeri akan berkembang, sementara ujicoba vaksin-vaksin luar negeri, seperti dari China bebas melakukannya di negara kita? Jadi mengapa peneliti negara kita sendiri harus dipandang remeh, sinis, dipersulit, dan tak dipercayai? Mungkinkah karena ahli medis luar negeri dianggap lebih pintar dan berpengalaman? 


Akibat kontroversi tersebut, semua  lembaga yang pada awalnya mendukung penelitian gentar dan  mundur satu persatu. Misalnya Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memutuskan mengundurkan diri dari tim penelitian vaksin Nusantara, karena mengaku tidak dilibatkan dalam proses uji klinis, termasuk dalam penyusunan protokol pengembangan vaksin.


Mungkin satu keberuntungan bagi Terawan adalah karena ia berdinas di rumah sakit militer, yang tentunya terkenal solid, siap membela dan melindungi. Tak terbayangkan jika ia bertugas di rumah sakit sipil, mungkin dia akan diberhentikan, dipaksa meninggalkan karirnya, sama persis seperti saat lembaga-lembaga penelitian vaksin nusantara yang meninggalkannya satu persatu.


Disamping rumah sakit militer yang membelanya, ternyata para wakil rakyat di DPR, MPR, juga para petinggi negara tampaknya menunjukkan sikap yang sama. Demikian juga mereka yang terbukti sembuh dengan metode terapi otak, seperti SBY dan teman-temannya tentu saja membelanya saat mengetahui kenyataan Terawan dipecat dan dipojokkan. 


Meskipun dianggap oleh para ahli kesehatan belum teruji secara klinis, and toh pada Desember 2021 Menko Perekonomian Airlangga Hartarto atas arahan Presiden Joko Widodo, menyebut Vaksin Nusantara  akan menjadi salah satu jenis vaksin untuk booster vaksinasi Covid-19. Alasan pemerintah menjadikan vaksin nusantara sebagai booser karena polemik telah diakhiri pemerintah dengan penandatanganan nota kesepahaman penelitian berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik pada 19 April 2021.


Mungkin hal inilah yang kian membuat IDI cenat-cenut, sebab data uji klinisnya masih dipertanyakan, tapi pemerintah merestui, sementara masyarakat tetap banyak menggandrungi. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung pengembangan vaksin Nusantara dan mendesak agar pengembangan vaksin  terus dilanjutkan.


Tampaknya posisi Terawan di atas angin karena ia sedikit bicara, tidak banyak koar-koar, memberi bukti bukan janji. Hal itulah yang disukai masyarakat kebanyakan, mereka ingin kesembuhan tanpa biaya mencekik, sebab bagi mereka, terkadang biaya mahal, bukannya sembuh tapi malah bangkrut, atau justru malah kematian datang menjemput.


Mungkin benar bila hasil penelitian dan metode Terawan belum melewati uji klinis  maksimal seperti yang diklaim oleh dunia kedokteran, namun adanya bukti nyata kesembuhan yang sangat diperlukan masyarakat tampaknya mengalahkan semua itu.


Terbukti banyak petinggi-petinggi negara yang mempercayakan vaksin ketiganya pada Terawan, seperti Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan banyak lagi anggota DPR lainnya. Mereka percaya dengan vaksin nusantara karena bersifat pribadi, tidak diproduksi massal, sesuai dengan sel tubuhnya, apalagi adanya kormobid, sehingga tidak ada kekhawatiran terjadinya reaksi negatif dari tubuh.


Terawan masih menuai kontroversi, salah satunya terkait vaksin Nusantara yang ia kembangkan, hingga akhirnya mengantarkan pada rekomendasi pemecatan IDI, sebab dianggap telah melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai.


Masyarakat memilih jalannya, sebab  mereka tak memerlukan segala macam teori, yang mereka mau hanya bukti. Perdebatan ramai tentang vaksin nusantara tak seharusnya dilanjutkan, sebab meskipun pakar medis menyebutkan segala macam teori penentangannya, toh vaksin ini tidak untuk diproduksi massal, hanya untuk kalangan tertentu, yang tentunya lebih memahami kondisi kesehatannya serta resiko pilihannya sendiri. 



Nasib getir Terawan


Kini Terawan tidak memegang jabatan lagi, mungkin itulah saat yang ditunggu-tunggu IDI untuk mengadilinya, sebab tidak ada lagi kekuatan besar di belakangnya, itulah kenapa pemecatan kali ini benar benar permanen, terkesan membunuh karir selama selamanya, seumur hidupnya, mengebiri Terawan agar tak memiliki ruang gerak lagi, hidup segan mati tak mau. Meskipun kabarnya pemecatan tersebut belum final karena harus menunggu keputusan pimpinan tertinggi, namun jelas bertujuan mengakhiri karir Terawan, agar tak bisa bergerak kemana-mana lagi membawa-bawa kebesaran nama dokternya padahal penemuannya belum sesuai kaidah medis.


Semua kembali pada Terawan, akankah dengan hukuman pemecatan itu berpengaruh? Seandainya pun ia tidak boleh membawa gelar dokternya dalam rangka pengobatanya, tetap saja ia masih bisa mengobati pasien-pasiennya, karena kepercayaan publik dan nama besar yang telah disandangnya. 


Terawan dipecat karena penelitiannya tidak sesuai kaidah medis dan kurang memenuhi standar klinis yang ditentukan dunia kesehatan, itu wajar. Namun jika ia dipecat karena banyak pasien memilihnya dan berkiblat pada pengobatan medisnya, itu tidak wajar.


Jika kemudian IDI mengarahkan pelurunya pada Terawan, itu adalah hak prerogatif mereka sebagai pemilik perkumpulan para dokter seluruh Indonesia, namun janganlah pengebirian Terawan mengorbankan hak kesehatan rakyat, sebab rakyat perlu bukti, bukan hanya teori.




Sumber:

Kompas.com, Tempo.co.id, Tirto.id










 

Comments