Wong Cilik Dihantui Hilangnya Gas Melon dan Listrik 450 VA

Tabung gas 3 kg andalan rakyat miskin (pic: merdeka.com)


Setelah kenaikan BBM kini wong cilik negeri ini kembali dibayangi wacana penghapusan daya listrik 450 VA dan konversi gas 3 kg ke kompor listrik  


Wacana pemerintah yang terbaru benar-benar sangat mengagetkan. Bagaimana tidak, belum habis spot jantung rakyat kecil setelah kenaikan harga BBM, tiba-tiba kembali dikejutkan dengan wacana berikutnya, yakni rencana penghapusan daya listrik 450 volt ampere (VA) dan tabung gas melon 3 kg. Tentu saja bukan kejutan menyenangkan bagi wong cilik, karena kian menambah berat beban ekonomi mereka.

Rencana pemerintah tersebut tercetus saat rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan 
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu. Diusulkannya penghapusan daya daya listrik kelompok rumah tangga miskin 450 VA diganti 900 VA, dengan alasan utamanya untuk lebih memanusiakan wong cilik.


Penghapusan listrik 450 VA tanpa koordinasi DPR?

Daya listrik 450 VA dinilai memang sangat kecil, sebab apabila dipakai untuk pemakaian barang-barang elektronik jelas tidak kuat. Selain itu, alasan lain yang dikemukakan adalah demi membantu penyaluran listrik PLN yang surplus (over supply). Sehingga Banggar menyebut DPR dan pemerintah telah bersepakat menaikkan daya listrik bagi pelanggan 450 VA menjadi 900 VA.

Satu hal mengherankan dari keputusan pemerintah ini, adalah tidak adanya koordinasi dengan Komisi VII DPR RI yang menangani bidang energi dalam hal wacana penghapusan listrik 450 VA. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan bernegosiasi dengan pihak pembangkit listrik swasta (IPP) untuk mengerem tambahan pembangkit baru dalam upaya menekan surplus listrik.

Hal tersebut membuat Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah agar lebih cermat dan komprehensif dalam mengambil kebijakan untuk mengatasi (over supply) PLN. Jikalau pemerintah tetap memutuskan listrik 450 VA dihapus dan mengalihkannya ke daya 900 VA, maka subsidi listrik tetap harus diberikan. 

Masalah penghapusan daya listrik 450 VA dengan menggantinya ke 900 VA yang katanya memanusiakan wong cilik tak semudah itu. Jika hanya menaikkan atau mengganti saja, dan setelah itu wong cilik tidak terbebani tidak menjadi masalah. Namun bila penghapusan daya listrik rendah tersebut justru membuat tagihan listrik kian membengkak, tentu saja membawa permasalahan baru bagi rakyat kecil.

Di satu sisi memang terlihat manusiawi, memang baik, terkesan membantu memanusiakan wong cilik agar dapat memakai listrik untuk barang-barang elektronik tanpa harus kebingungan 'byar pet'. Namun di balik semua itu, pasti ada resiko yang mengikuti, yakni kenaikan pembayaran. Jika membayar daya 450 VA saja rakyat kecil sering nunggak, apalagi bila berubah ke daya lebih tinggi. 

Akan lebih bijak bila wacana pemerintah menghapus daya listrik 450 VA, namun tarif baru yang dibayarkan pada daya listrik 900 VA sama dengan pembayaran seperti saat 450 VA. Ini baru dinamakan tidak membebani wong cilik yang sudah hidup susah. Sebab bila justru wong cilik harus menanggung besarnya pembayaran tanpa subsidi, sama saja dengan pemerintah memaksakan wong cilik membeli listrik yang over supply. Bukankah pemerintah tidak boleh lalim terhadap rakyatnya?


Over Supply listrik beban wong cilik?

Rencana pemerintah menghapus penggunaan listrik 450 VA berkaitan erat dengan PLN yang sedang mengalami over supply listrik sebanyak 6 Giga Watt (GW). Apalagi ditambah adanya pembangkit listrik baru yang akan beroperasi di tahun depan, maka over supply meningkat 1,4 GW menjadi 7,4 GW. Ditambah lagi, pemerintah sedang mengintensifkan produksi listrik dari energi baru terbarukan (EBT) pada 2030, sehingga over supply listrik PLN diperkirakan kian membengkak menjadi 41 GW.

Jika masalah over supply yang menjadi penyebabnya, lalu mengapa harus dengan mengusik wong cilik? Yang 450 VA disuruh ganti ke 900 VA, sementara 900 VA juga disuruh pindah daya ke yang lebih tinggi lagi. Seakan-akan pemakai daya listrik rendah sebagai beban negara yang harus dijejali dan dipaksa membeli kelebihan listrik pemerintah. Bukankah listrik over supply bukan salah dan dosa rakyat kecil?

Wacana penghapusan daya 450 VA menjadi. 900 VA memang memanusiawikan wong cilik asalkan subsidi tetap disertakan, pembayaran tetap seperti semula, sehingga tidak menimbulkan gejolak akibat leher rakyat kecil tercekik. Mungkinkah langkah tersebut akan ditempuh pemerintah? Sebab bila tidak, maka akan terkesan rakyat kecil selalu dipaksakan dengan maunya pemerintah. Kekhawatiran bila terus dipaksa dan dipaksa, akan menimbulkan perlawanan rakyat seperti di Srilangka beberapa waktu lalu.

Belum usai wacana penghapusan daya 450 VA, tiba-tiba dari istana menyeruak kabar bahwa Presiden Jokowi menggulirkan wacana menghapus LPG 3 kg melalui pembagian gratis kompor listrik., lagi-lagi alasannya demi mengatasi over supply listrik negara. Lalu dimana salah dan dosa rakyat kecil hingga dipaksa mentah-mentah menelan kelebihan listrik tersebut? 

Seandainya penghapusan tabung gas 3 kg tidak membebani keuangan rakyat yang sudah terhimpit tentu tidak jadi masalah. Namun bisa yang terjadi sebaliknya, maka akan timbul gejolak ekonomi yang makin mencekik leher rakyat.

PT PLN memang sedang mendorong program konversi LPG 3 kilogram ke kompor induksi. Manajemen PLN mengklaim bahwa dengan menggunakan kompor listrik, biaya memasak bisa lebih hemat 10% hingga 15%.  Bahkan menyebut konversi tidak akan mengubah daya tarif listrik bagi golongan yang bersubsidi baik itu 450 VA maupun 900 VA sebagaimana dikutip dari bisnis.kontan.co.id (14/09/2022), namun kemudian timbul wacana penghapusan daya 450 VA oleh Banggar serta kabar over supplynya listrik negara. 

Dalam Rapat Kabinet Terbatas yang dipaparkan Menko Perekonomian, bahwa pada 2022 PLN ditugaskan melakukan uji klinis sebesar 300.000 kompor induksi, kemudian pada 2023 hingga 2025 program uji klinis ini ditambah 5 juta kompor induksi per tahun, dan menjadi program pemerintah sebagai energy strategy dan energy policy.  

Kebijakan pasti diterima jika tidak membawa gejolak ekonomi di belakangnya, namun bila ternyata membawa gejolak, wong cilik makin resah dan susah, lalu dimana peran negara dalam membantu rakyatnya yang baru saja dicekik dengan kenaikan BBM sementara BLT tak mencukupi?

Rakyat kian bingung dengan wacana-wacana yang ada. Jika alasannya karena subsidi listrik daya 450 VA tak tepat sasaran, haruskah mengorbankan rakyat miskin? Sudah sepatutnya PLN mengadakan survei super teliti, sehingga tidak akan terjadi kasus salah sasaran dengan mengorbankan wong cilik yang sesungguhnya.

Wacana penghapusan tabung gas 3 kg kabarnya juga akibat salah sasaran, namun jangan karena survei yang tak akurat membuat rakyat kecil menjadi bulan-bulanan, justru harus ditangkap pelaku.

Kita pasti ingat bagaimana dahulu saat pemerintah berusaha menghapuskan minyak tanah dari kehidupan wong cilik. Hal itu berhasil meskipun sedikit dipaksakan, wong cilik manut, dengan patuhnya mengikuti kemauan pemerintah. Namun kemudian tiba-tiba gas 3 kg langka di pasaran, disusul beruntutnya kasus ledakan tabung melon yang menjadi hiasan berita sehari-hari. Ternyata usut punya usut tabung yang banyak meledak adalah produk negara Tiongkok. Siapa yang pesan ke sana? Apa mungkin wong cilik pengonsumsi awal tabung melon yang pesan? Imposible, semua adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah, namun wong cilik yang terkena ledakan.

Kini kejadian ledakan tabung melon 3 kg tak terdengar lagi, rakyat kembali tenang karena telah terbiasa dengan tabung gas melon, namun kemudian timbul wacana untuk mengkonversinyai dengan kompor listrik. Duh wong cilik kembali bingung, merubah kebiasaan lama memakai gas melon beralih ke kompor listrik. Mungkin tidak menjadi masalah tentang masalah merubah kebiasaan, namun penggantian tabung gas melon ke kompor listrik karena demi mengatasi over supply listrik negara, bukankah sangat memaksakan sekali? Yakinkah dengan pengalihan tabung gas ke kompor listrik tidak makin membebani ekonomi rakyat kecil, sebab ketika konsumsi listrik membengkak akibat beralih ke kompor listrik, pemerintahkah yang membayari listriknya, atau ujung-ujungnya kembali lagi menjadi beban wong cilik?

Over supply listrik bukan salah dan dosa wong cilik,lalu mengapa harus mereka yang menanggungnya? 

Tidak menjadi masalah penghapusan daya listrik 450 VA dan dirubah menjadi 900 VA, asal skema pembayarannya tetap seperti daya awal sebelumnya. Namun jika berubah menjadi tinggi dan tanpa subsidi bukankah membebani rakyat kecil? Belum cukupkah beban pundak wong cilik dengan kenaikan BBM?  

Bukan masalah juga bila over supply listrik diatasi dengan membagi-bagi kompor listrik gratis ke wong cilik dengan menghapus tabung gas 3 kg, asalkan tidak malah membebani masyarakat dengan membengkaknya tagihan listrik tiap bulan karena memakai kompor listrik.

Semua wacana tidak menjadi masalah asalkan hal tersebut tidak membuat beban wong cilik makin berat dengan pembayaran listrik yang membengkak. BBM baru saja mengalami kenaikan, demo mahasiswa menuntut pembatalan kenaikan harga BBM tertutup oleh riuhnya pemerintah berusaha menangkap Bjorka. 

Kesan yang ditangkap masyarakat adalah bahwa pemerintah saat ini sedang mati-matian menaikkan pendapat negara karena ada pembangunan Ibukota negara yang tentu saja akan menelan biaya besar. Sehingga segala cara dilakukan demi menambah pemasukan negara. 

Listrik daya 450 VA memang tidak menghasilkan apa-apa bagi negara, malah dianggap membebani karena harus menyubsidi. Demikian juga tabung gas 3 kg, semua subsidi, berarti semua beban negara. Alangkah baiknya menambah pemasukan bukan malah menambah pengeluaran negara. Itulah kenapa pemerintah mengesahkan Omnibus Law, hingga giat menarik investor luar negeri untuk masuk ke negara ini. Meski kemudian dengan nakalnya mereka membawa tenaga kerja sendiri yang membuat tenaga dalam negeri cuma bengong gigit jari.

Naiknya pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan berbagai pajak lain memang dikejar pemerintah demi mencari pemasukan bagi negara, sebab negara sangat perlu uang, segala sesuatu yang tidak efektif dan hanya membebani keuangan negara kalau bisa dihapuskan. Hingga dengan tanpa mempertimbangkan perasaan para abdi negara, Menteri Keuangan menyebut uang pensiun membebani negara, termasuk tunjangan profesi guru, melukai tapi itulah kenyataan yang ingin diungkapkan pemerintah. Hingga kemudian yang terbaru, munculnya wacana konversi gas 3 kg dan penghapusan daya listrik 450 VA. 

Muara tujuan dari semua hal tersebut hanya satu, menambah pemasukan negara. Tetapi apakah demi mengejar pemasukan negara harus dengan mengorbankan rakyatnya sendiri?

Tiba-tiba melintas kembali berita merangseknya rakyat Srilangka ke istana negaranya hingga presidennya lari terbirit birit. Benarkah rakyat harus marah dulu, baru kemudian dapat menikmati istana yang selama sekian waktu dinikmati pemimpin negaranya?


Rakyat sedang berusaha berpikir keras siapa pemilik negeri ini, pemerintah atau mereka? 

Situasi mendadak senyap.

Comments