Cacar Monyet, Sinyal Peringatan Tuhan atau Hukum Alam Biasa?

Ilustrasi penyebab  cacar monyet (pic: advocate.com)


Otoritas Inggris mengaitkan wabah cacar monyet dengan komunitas LGBTQ sebab awal mula penularannya dari sauna homoseksual dengan banyak pasien meninggalkan bekas luka mengerikan di berbagai tempat sensitif seperti selangkangan, alat kelamin dan lubang anus



Setelah dunia sempat dicekam pandemi covid-19 yang kini telah berangsur beralih menjadi endemi, ternyata berlanjut dengan mewabahnya hepatitis misterius di Inggris. Dan kini, yang terbaru adalah mewabahnya cacar monyet atau sering disebut monkeypox.


Akibat meningkatnya kasus cacar monyet, sampai membuat Badan Keamanan Kesehatan Inggris kalang-kabut memperingatkan pria gay dan biseksual untuk waspada terhadap cacar monyet, sebab sebagian besar pasien yang terinfeksi adalah laki-laki dalam komunitas gay.



Cacar monyet, gejala, dan resikonya


Cacar monyet, sesuai dengan namanya merupakan penyakit zoonosis yang berasal dari monyet. Penyebabnya adalah virus monkeypox, anggota genus Orthopoxvirus dalam famili Poxviridae. Penyakit yang umumnya terjadi di Afrika Tengah dan Barat, namun tanpa diduga dan tanpa dinyana, tiba-tiba muncul di Inggris, dan kemudian mewabah di berbagai belahan negara.


Gejala cacar monyet berupa demam, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening, dapat menyebabkan berbagai komplikasi medis. Memang gejala tersebut tidak berbeda jauh dengan cacar biasa pada umumnya, tetapi berita terbaru menyebut cacar jenis ini menimbulkan bekas-bekas mengerikan di alat kelamin dan sekitar anus. 


Kini dalam perkembangan kasus terakhir, hanya dalam hitungan hari cacar monyet secara masif berlipat ganda menyebar ke Inggris, Eropa, Australia, Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Jerman, Prancis, Portugal, dan Swedia. 


Cacar monyet yang disebut dapat menular melalui kontak antar kulit, cairan lendir, feses, dan pertukaran alat makan dan minum, jelas menunjukkan bahwa penularan sangat cepat terjadi, bahkan bagi mereka yang kondisi awalnya sehat-sehat saja. Bahkan hanya dengan kontak fisik selain aktivitas intim, yaitu bersentuhan, terpapar percikan liur, atau menyentuh objek yang terkontaminas, sudah dapat menularkan penyakit tersebut.



Awal mula wabah cacar monyet terbaru


Asal muasal terjadinya cacar monyet yang ditemukan di Inggris, adalah bermula dari sekelompok pria muda yang suka berkumpul di sebuah sauna. Setelah dilakukan sejumlah pemeriksaan kesehatan, ternyata para pria tersebut adalah kaum gay yang menjadikan sauna sebagai kedok tempat  berkumpul, sebab ternyata mereka bukan hanya melakukan sauna, namun melakukan hal yang lebih dari itu.


Bahkan, seorang dokter dari klinik HIV dan penyakit menular seksual khusus gay di Montreal, Réjean Thomas, menyebutkan banyak pasien dengan gejala yang berhubungan dengan monkeypox, seperti lesi pada alat kelamin dan anus.


Akibat temuan penyakit yang menyebar di antara pria homoseksual inilah, kemudian otoritas di Inggris mengaitkan antara wabah cacar monyet dengan komunitas LGBTQ. Apalagi ditambah dengan ditemukannya penularan cacar monyet di Spanyol, membuat otoritas setempat juga menutup satu sauna homoseksual yang populer di negara tersebut. 


Tidak mengejutkan bila Madrid bergerak cepat menutup tempat sauna yag menyediakan layanan esek-esek sesama jenis secara cepat, demi mencegah penularan cacar monyet yang telah mencatatkan puluhan kasus infeksi baru.


Namun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terang-terangan membela LGBTQ, dengan menyebut bahwa semua orang berisiko terpapar cacar monyet, bukan hanya penyuka sesama jenis, bahkan orang tua yang merawat anak sakit hingga tenaga kesehatan. Bisa jadi WHO melakukan hal tersebut agar kaum LGBTQ bersedia mencari pengobatan, tidak menutup diri, sehingga wabah dapat terdeteksi. 


Gejala awal cacar monyet yang tidak berbeda jauh dari cacar biasa, pada awalnya tidak terlalu ditakuti, sebab dapat dengan mudah ditangani oleh dokter kulit, karena hanya muncul di muncul di wajah, telapak tangan, dan bagian bawah kaki. Tetapi meskipun telah diobati dengan intensif, tetap dapat meninggalkan bekas lesi yang cukup mengerikan di berbagai tempat sensitif seperti selangkangan, alat kelamin dan lubang anus.


Cacar monyet merupakan temuan kasus mengerikan terbaru yang terkuak dari hubungan intim sesama jenis, setelah 40 tahun lalu HIV/AIDS menjadi momok karena hingga saat ini belum ada satupun obat yang efektif menyembuhkan. Namun momok tersebut sempat teralihkan saat kengerian terhadap pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu mendramatisir.


Ahli penyakit menular di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Profesor Jimmy Whitworth, menyebut versi cacar monyet kali ini menyebar dengan cara baru., yakni melalui kontak dekat dengan orang terinfeksi. Penularan masif terjadi sebab virus biasanya menempel pada permukaan tempat tidur, pakaian, atau ekskresi pernapasan, dan juga kulit. 


Mungkinkah wabah yang terjadi sebagai bukti bahwa Tuhan benar-benar marah dan telah muak dengan kelakuan umat manusia yang menyimpang saat ini? ataukah memang dunia telah mendekati hari akhir? Sebab dalam pemikiran realistis dan sesuai nalar, telah banyak terjadi bencana alam yang mengarah pada tanda-tanda bahwa dunia mulai menunjukkan titik nadir akibat kelakuan manusia yang menghuninya.



Sinyal peringatan Tuhan atau hukum alam biasa?


Melelehnya bukit es di Benua Antartika, yang secara pasti akan menambah volume debit air laut, dan banyak terjadinya  bocoran lumpur ke permukaan bumi secara mendadak seperti lumpur Lapindo, juga munculnya terowongan-terowongan lebar dari bawah tanah yang menelan korban jiwa beserta bangunan di atasnya, ataupun gunung-gunung yang kadang bersamaan menunjukkan aktivitasnya, merupakan hal-hal yang patut menjadi pemikiran mendalam.


Berbagai peristiwa yang terjadi diatas bagi orang yang beragama dianggap sebagai sinyal peringatan dari Tuhan tentang akibat kelakuan penghuninya, serta usia dunia yang boleh jadi mendekati hari kiamat. Namun kepercayaan ini akan berbeda jika ditanggapi oleh mereka yang atheis dan tidak mengakui keberadaan Tuhan. Mereka akan cenderung menyebutnya sebagai gejala alam biasa, meskipun pada akhirnya mereka tidak dapat menampik adanya hukum sebab dan akibat.


Jika kita membicarakan tentang LGBTQ atau apapun itu, tentunya tak akan lepas dari hak asasi manusia, namun di balik semua itu, kita juga tidak bisa menampik adanya  hak mutlak Tuhan. Namun bagi mereka yang atheis, tentu saja segala sesuatu tidak akan dikaitkan dengan Tuhan, sebab sudah jelas mereka tidak mengakui Tuhan, dan pastinya hanya akan dikaitkan dengan hak asasi manusia, manusia, dan manusia. Sehingga wajarlah jika saat ini segala hal menyimpang berkembang dengan pesat, karena umat manusia sudah banyak cenderung terjerat pada gaya hidup hedonisme kental dengan menafikkan keberadaan Tuhan.


Dunia terasa indah, dan memang harus diperindah, sebab dalam pandangan menafikan Tuhan, kehidupan hanyalah saat ini saja, saat di dunia saja, sehingga harus dipuaskan sehabis-habisnya sebab kelak tak dapat menikmatinya lagi. Karena duniawi yang menjadi tujuan, maka segalanya harus terpenuhi, ajaran Tuhan dipandang tahayul, dongengan orang-orang zaman dahulu kala yang tidak masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal jika telah meninggal, tubuh tinggal tulang-belulang dapat menjadi manusia utuh kembali, lalu mempertanggungjawabkan segala sesuatu perbuatan pada Tuhan. Bagi kaum atheis hal ini tidak masuk akal dan sulit dinalar.


Bahkan Tuhan itu siapa, bagaimana pada awalnya ada Tuhan, kenapa bisa ada Tuhan. Adanya pemikiran-pemikiran yang terlalu luas, sementara kemampuan berpikir yang diberikan Tuhan kepada manusia terbatas, sehingga tidak akan sanggup memikirkan asal mula keberadaan Tuhan. Jangankan tentang Tuhan, bahkan tentang ruh yang keluar masuk dari tubuh, manusia tidak sanggup memikirkannya.


Namun sayangnya keterbatasan berpikir tersebut justru digunakan sebagai jalan pintas untuk menarik kesimpulan bahwa memang sejatinya Tuhan tidak ada, sebab tak jelas asal usulnya. Mungkin hal tersebut berdasar penyamarataan dirinya sebagai manusia dengan Tuhan,  manusia yang ada awal mula seperti adanya ayah dan ibu, sehingga kemudian mereka-reka sendiri, bahwa mungkin Tuhan seperti itu, atau bahkan Tuhan memang tidak ada. Hidup ya sudah hidup, tak ada yang menciptakan, setelah itu mati ya sudah mati, tak ada lagi kisah sesudahnya, sebab seperti itulah alam semesta, demikian pemikiran atheis bergejolak.


Pemikiran yang seperti ini justru rancu, sebab jika hidup adalah hidup, kemudian setelah hidup lalu mati sehingga tak ada kehidupan lagi, lalu apa bedanya dengan kambing dan hewan hewan lainnya yang hidup kemudian mati tanpa ada yang dipertanggungjawabkan? Seperti apa hidup jika tanpa pertanggungjawaban? Menarikkah hidup bila seperti itu?.



Perbandingan pemikiran agamis Vs atheis


Dalam permainan game, pastilah ada yang win dan ada yang lose. Bagaimana sebuah permainan game jika tak ada yang menang dan tak ada yang kalah, tentunya hambar, sebab tak ada tujuan. Demikian juga dengan kehidupan saat manusia terlahir ke dunia, impossible bila tanpa tujuan layaknya kambing, pasti ada yang berkehendak tentang tujuan kita lahir, pastinya ada tuntutan pertanggungjawaban. Sehingga endingnya ada yang win ke surga dengan amal kebajikan, atau lose ke neraka karena kejahatannya. Bisa membayangkan jika hal itu tak ada, sungguh di luar nalar dan tidak masuk akal, betapa tidak indahnya sebuah kehidupan, hukum rimbalah yang berjalan, tak beda jauh dengan dunia binatang.


Dalam kehidupan mereka yang beragama, kehidupan dunia adalah sementara, sebagai ujian dari Tuhan untuk menahan diri, seperti permainan game, ada win dan lose. Meskipun akhirat sebagai tujuan kehidupan berikutnya yang hakiki, tetapi Tuhan tak melarang manusia menikmati kehidupan duniawi, namun tetap dengan mengendalikan hawa nafsunya, yang tentu saja secara metafisika dapat diprovokasi sesuatu yang di luar batas penglihatan, yakni kekuatan jahat tak terlihat, iblis alias syaiton yang sibuk mencari teman kelak di neraka.


Berdasar hal tersebut, kaum beragama kian memahami bahwa memang penglihatan manusia terbatas, itulah mengapa mata tak mampu melihat ruh yang keluar saat seseorang meninggal dunia, apalagi tentang apa yang terjadi saat seseorang meninggal dunia pun manusia tak dapat mengetahuinya dengan pasti, karena pandangan mata yang terbatas. Bahkan yang terjadi di alam kubur. 


Namun setidaknya itu masuk akal, sebab manusia tidak akan pernah ingat saat dia di dalam rahim ibunya. Bukankah telah ada mata dan bernafas, namun dia tidak akan bisa mengingat semua itu, telah bernafas namun tetap hidup meskipun berada dalam air ketuban, darimana keajaiban itu datang? Siapa yang memasukkan ruh ke dalam tubuhnya saat dalam rahim Ibu, bahkan ibunya pun tak tahu ada ruh dalam bayinya hingga mampu bergerak. Namun bagi mereka yang menafikkan Tuhan, hal itu adalah hukum alam, hidup adalah hidup, mati adalah mati, tak ada kehidupan lagi. Jika bagi mereka yang beragama, membunuh bayi yang baru dilahirkan adalah sebuah dosa, karena membunuh satu nyawa harus dipertanggungjawabkan pada Tuhan, maka bagi mereka yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, hal itu tidak beresiko apapun.


Itulah yang menjadi alasan mengapa suatu hal yang bagi orang beragama dianggap dosa dan pelanggaran hukum Tuhan dapat mendatangkan murka-Nya, yang akan diterima kontan saat masih di dunia, atau ditunda saat di akhirat nanti. Hal inilah yang kerap mejadi benturan persoalan di dalam kehidupan dunia saat ini. Sebab bagi mereka yang tidak beragama, asalkan berbuat baik pada sesama manusia itu sudah cukup, tanpa harus berdasar pada pedoman hidup dan ajaran Tuhan. Hanya saja yang dikhawatirkan adalah jika perbuatan baik pada sesama itu memudar karena faktor kepentingan duniawi, sementara di sisi lain tak ada ajaran Tuhan yang dipercayai untuk dapat menghentikan nafsu angkara murka, maka dapat dibayangkan, kehidupan yang tanpa sandaran kepada Tuhan jika telah dipenuhi nafsu duniawi?


Pada mereka yang mempercayai Tuhan saja terkadang bila telah dibutakan oleh hawa nafsu, maka bisa berubah terlalu berani menentang hukuman-Nya, apa lagi bagi yang memang tak mempercayai keberadaan Tuhan sama sekali.


Sorotan kita dipersempit dalam dua hal, yakni mereka yang mempercayai Tuhan, dan yang menafikkan Tuhan. Padahal diantara pembagian tersebut, masih banyak lagi pembagian yang lebih luas, misalnya pada mereka yang mempercayai Tuhan, terdapat beragam kepercayaan yang berbeda. Sehingga terkadang menimbulkan berbagai pertikaian, hal-hal seperti inilah yang kemudian dapat menyuburkan sikap atheis sebab menganggap agama hanyalah sumber pertikaian, bukan perdamaian. Pemikiran demikian tidak akan terjadi jika tidak berpikir pendek dalam menyikapi suatu pertikaian.


Pemikiran yang menafikkan Tuhan, menganggap hidup hanyalah saat ini saja, tanpa ada pertanggungjawaban di hari nanti. Pemikiran seperti ini tentu saja akan membuat sebuah langkah pintas, bahwa sementara hidup, maka dapat bebas sebebas-bebasnya melakukan apa saja, toh nanti tidak dipertanggungjawabkan, kapan lagi? Sehingga jika diibaratkan sebuah penjarahan dan perampokan, maka penjarah dan perampok dapat bebas melakukan apa pun sebab tak ada resiko hukuman yang disandangnya kelak. Yakinkah ada keadilan jika penjarahan dan perampokan yang sebebas-bebasnya dibiarkan tanpa resiko setelah melakukannya?


Sehingga tidak mengherankan, jika sebuah pemikiran menafikkan Tuhan, menganggap hidup di dunia tak ada pertanggungjawaban, maka akan banyak menimbulkan berbagai permasalahan, sebab yang berlaku adalah hukum rimba.

Pemikiran yang menafikkan Tuhan akan membuat hidup dijalani sebebas-bebasnya, demi memenuhi dan memuaskan segala nafsu duniawi, sebab pemikiran ini beranggapan bahwa hidup hanya kali ini saja, kalau sudah mati tak kan bisa lagi.


Setelah mencerna hal-hal di atas, maka kini kita tidak akan terkejut lagi dengan pemikiran yang lebih mengutamakan kehidupan duniawi karena menafikkan Tuhan, nafsu menjadi Tuhannya. Tapi pertanyaannya, sampai kapan hawa nafsu akan terpuaskan? Apakah seumur hidup? Ataukah terhenti setelah mati? 


Ternyata hawa nafsu menuntut pemuasannya hanya sebatas saat masih muda, masih sehat, masih kuat, dan masih hidup. Saat hidup telah beranjak tua, sehat berubah sakit, kuat menjadi lemah, hidup berubah mati, maka segala sesuatu yang indah itu akan berkurang kenikmatannya. 


Tentu tak akan lepas dari ingatan kita, bagaimana Bos majalah Playboy yang kaya-raya dengan limpahan kekayaan hasil majalah toplessnya, setelah tua tak berdaya lagi menikmati keindahan mansion miliknya, apalagi menikmati banyak perempuan cantik bak boneka yang telah dimilikinya. Bahkan setelah meninggal, dia tak membawa apa-apa dalam kuburnya. Tinggallah anak cucu dan para gundik sibuk berpesta ria menikmati hasil jerih payah pekerjaannya selama sekian waktu. Bagi mereka yang menafikkan keberadaan Tuhan, maka meninggal ya sudah meninggal. Namun bagi mereka yang beragama, akan ada keharusan pertanggungjawaban dari seluruh kehidupannya selama di dunia pada Tuhan. 



Bagi mereka yang beragama, kehidupan duniawi adalah ujian ketaatan pada Tuhan, akankah kelak lolos ujian dan kekal dalam Surga-Nya, atau justru terjerat dalam kesesatan hawa nafsu duniawi yang mengakibatkan terjerembab kalah dalam neraka. 


Sementara bagi mereka yang tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mati, memuaskan hawa nafsu duniawi adalah yang utama, sebab hidup hanya sekali saja, Namun mereka lupa, meskipun berhasil sepuas-puasnya memanjakan hawa nafsu, ternyata kehidupan duniawi memiliki banyak resiko. Resiko bencana alam, wabah penyakit, sifilis, raja singa, HIV/AIDS, cacar monyet, dan lain sebagainya. 


Tenyata, kehidupan dunia ada batasnya.









Sumber: Hindustan Times, detik.com, cnnindonesia.com, suara.com, sindonews.com, kompas.com

Comments