Razia Cukur Rambut= Buli, Mengapa Bisa Terjadi?


Akibat razia cukur rambut (pic: mid-india.com)

Razia cukur rambut secara paksa tak beda jauh dengan pembulian, mengapa hal tersebut selalu terjadi pada sekolah-sekolah di negara kita? Berikut jawabannya!


Tampaknya cara sekolah menertibkan rambut siswa dengan Razia Cukur Rambut sudah bukan hal baru lagi di sekolah-sekolah kawasan Asia, dan juga negara kita. Hal ini selalu ada, terjadi, dan terjadi lagi. Lalu mengapa hal tersebut selalu terjadi dan seakan menjadi sebuah tradisi?

Beberapa hal di bawah ini dapat diindikasikan sebagai faktor-faktor penyebab selalu terjadinya razia cukur rambut di sebuah sekolah.


Minimnya komunikasi intensif dan positif antara sekolah dengan orangtua

Apabila komunikasi antara sekolah dengan orangtua intensif dan baik, tentu saja tidak akan mengakibatkan terjadinya beragam razia sebagai bentuk penghukuman terhadap siswa.

Sekolah menginginkan siswanya berambut rapi agar nyaman dipandang sebagai siswa terurus. Sementara di sisi lain, bak gayung bersambut, orangtua juga dapat menerima hal tersebut dengan legowo, tanpa dipaksakan.

Sebab seringkali terungkap, bahwa banyak sekolah yang memaksakan kehendaknya tanpa koordinasi dengan orangtua murid. Tak jelas aturannya, seperti apa aturan rambut pendek yang dikehendaki sekolah. Misal berapa sentimeter jaraknya dari alis, dari telinga, dan sebagainya. 

Akibat ketidakpastian ini, kerap membuat salah paham antara sekolah dengan orangtua murid. Orangtua merasa telah mengajak anaknya ke salon memotong rambut, namun ternyata sekolah menganggap rambut masih terlalu panjang, hingga kemudian dengan seenaknya main pangkas rambut. Apalagi kenyataan di lapangan, cara sekolah memotong rambut tak karuan macam nangkap maling ayam, asal sabet dan ugal-ugalan pendek, sehingga rambut makin tak karuan bentuknya.

Hal inilah yang sering membuat orangtua merasa jengkel dan tak terima, sebab mahkota anaknya dihancurkan sedemikian rupa. Mereka merasa baru saja memotong rambut anaknya ke salon, tapi toh kemudian dirazia juga. Sehingga orangtua siswa menangkap kesan sekolah bersikap egois dan memaksakan kehendak.

Bahkan yang menjadi sorotan adalah apabila sekolah tersebut ternyata menerapkan kurikulum merdeka, sebuah pola mendidik yang berpusat pada siswa. Sejatinya merdeka memang anak tidak bisa semaunya membiarkan rambutnya gondrong tak karuan. Namun disisi lain, karena kurikulum merdeka berpusat pada anak, maka sudah sepatutnya sekolah menegur namun dengan tetap memikirkan perasaan anak. 

Sekolah selayaknya menjalin komunikasi hangat dan dekat dengan anak, sehingga anak memiliki kesadaran hati nurani tentang manfaat rambut rapi. Dengan demikian tak terkesan sekolah memaksakan kehendaknya sendiri sebab memiliki kekuasaan.


Komunikasi kurang baik antara guru dengan siswa

Ketika terjalin komunikasi yang baik antara guru dengan siswa, maka masalah rambut gondrong bisa diatasi dengan baik-baik saja. Komunikasi yang terjadi haruslah antara dua pihak, tidak mungkin hanya satu pihak saja.

Di satu pihak, adalah guru sebagai kepanjangan tangan sekolah, tentu saja mengajak bicara siswa dari hati ke hati tentang rambutnya. Sedangkan pihak kedua adalah siswa, yang harus didengarkan suaranya juga.

Keinginan baik sekolah untuk merapikan rambut siswa tidak akan terlaksana apabila sekolah tidak mau mendengarkan isi hati siswa juga. Ketika sekolah hanya berbicara dari satu pihak, yakni pihaknya saja, maka inilah yang disebut egois. Sifat egois dari orang dewasa merupakan contoh mudah yang akan diadaptasi siswa dengan melakukan hal serupa, yakni tak mau memotong rambutnya, bahkan terkadang dengan unsur kesengajaan, menantang gurunya.

Hal ini tidak akan terjadi, apabila sekolah benar-benar terpusat pada siswa. Sebagaima Kurikulum Merdeka mengadaptasi pola pendidikan luhur dari Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Sudah selayaknya terjalin sebuah sikap salng memahami dan menghargai. Ketika siswa merasa hak-haknya dihargai, maka ia pun akan menghargai hak-hak orang lain, dalam hal ini guru dan warga sekolah. Maka bukan hal sulit lagi agar ia merapikan rambutnya. 

Namun bila segala sesuatu dipaksakan tanpa pengertian, maka yang akan terjadi adalah ia mempertahankan hak atas rambutnya, sehingga terjadilah pemaksaan pemotongan rambut. Mungkin memang siswa tidak melawan saat dicukur paksa rambutnya, tapi yakinkah sekolah bahwa hal tersebut tidak akan menimbulkan kebencian dan sakit hati pada anak, yang justru kian mengeraskan perlawanannya, sebab ia terlatih oleh trauma.

Kurang kuatnya ikatan batin antara sekolah dengan siswa

Ketika sekolah memperlakukan siswa sebagai anak sendiri, tentu saja tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Tujuan sekolah yang baik, tentu saja harus dikomunikasikan dengan baik pula pada siswa, sebab meskipun sekolah menganggap siswa sebagai anak sendiri, namun bila meniru tipe orangtua yang otoriter alias memaisakan kehendaknya, tentu saja tidak beda jauh dengan pembulian. Bukankah kita sering membaca bahwa sebetulnya tukang buli pertama dalam kehidupan anak adalah orangtua?

Kita pernah mendengar, orangtua kadang mengancam anaknya dengan suatu hukuman bila tidak mau melakukan hal yang dikehendaki orangtua. Bahkan ancaman hukuman yang diberikan terkadang bukan hanya secara verbal seperti menakut-nakuti. Namun sudah mengarah pada ancaman fisik, seperti memukul, mencubit' atau menampar.

Diharapkan sekolah tidak mengadaptasi perilaku orangtua otoriter terhadap anaknya. Sebab orangtua yang otoriter jelas akan melahirkan karakter anak-anak yang pembangkang dan keras kepala.

Sehingga bisa kita pahami, bahwa sebuah sekolah yang menerapkan aturan dengan otoriter, maka akan makin banyak juga pelanggaran yang tejadi di dalamnya, termasuk razia rambut. Sekolah memaksakan rambut pendek dengan otoriter, maka siswa yang berubah menjadi keras kepala akan ngeyel tidak mau memotong rambutnya sebagai bentuk pelawanan.

Ingat satu hal yang harus dipahami sekolah,terutama guru. Bahwa para siswa, apalagi yang telah memasuki sekolah menengah. Mereka memiliki jiiwa remaja peralihan, belum stabil emosinya, sehingga jiwa pemberontaknya lebih dominan. Itulah yang menjadi penyebab, mengapa makin dipaksakan sebuah peraturan, maka semakin banyak juga yang menentang, sebab jiwa mereka masih lalbil. 

Sekolah yang diwakili oleh pendidik dan tenaga kependidikan sebagai sosok sosok manusia dwasa yang sudah stabil, sudah selayaknya dapat berlaku telaten dan sabar menghadapi jiwa remaja yang labil dan pemberiontak.

Sekolah tidak bisa juga tetlalu lembek dalam mengatasi siswa. Apalagi bila siswa telah salah arah mengarah pada kenakalan rmaja, tentu saja sekolah harus siap mewakili sosok orangtua dalam menghadapi siswa-siswanya.

Hal ini tidak akan terjadi bila para pendidik di sekolah mengalami masalah psikologis, eperti tekanan dari atasan, masalah administratif menumpuk dan diatasi sendiri. Demikian juga siswa juga tidak mengalami problema di rumah. 

Kepribadian pendidik yang positif, ditunjang keadaan siswa tanpa beban masalah dari rumah, akan melahirkan kondisi yang stabil di sekolah. Sebab guru yang bahagia akan menciptakan siswa yang bahagia pula. Sedangkan guru dengan beban masalah, juga akan mengakibatkan siswa menjadi korban dari permasalahan.


Sekolah terlalu otoriter

Sudah selayaknya sekolah menjadi rumah kedua bagi siswa. Para guru sebagai oengganti irangtua di rumah. Dengn demikian maka permasalahan siswa broken home akan tertolong dengan mudah.

Bisa kita bayangkan, ketika seprang siswa berangkat dari rumah dengan seabrek permaslahan, misal orangtua yang bercerai, berkelahi, berurusan dengan polisi, dan sebagainya. Kemudian sesampai di sekoah ia menjumpai situasi yang tidak ramah, otoriter, maka yang akan timbul hanya rasa frustasi dan putus asa. 

Akibatnya siswa akan mencari pelarian ke dunia selain rumah dan sekolah. Mungkin ke warnet, jalan raya, menjual diri melakui layanan online, dan tempat-tempat negatif lainnya.. Sehingga tak heran bila kemudian perilaku siswa tak karuan, tawuran, ikut gank motor, dan sebagainya. 


Orangtua terlalu memanjakan anak

Tak sepenuhnya sekolah salah, sebab terkadang ada juga sebagian siswa, yang karena orangtua terlalu memanjakan, mengakibatkan anaknya bersifatt manja dan semaunya sendiri saat di sekoah.

Lalu apa yang harus dilakukan sekolah? 

Sebetulnya tidak berbeda dengan anak-anak dari lingkungan broken home. Anak-anak yang terlalu dimanjakan orangtuanya mengalami kekosongan jiwa juga. Hanya saja mereka terlalu berlimpah hal positif dan baik, sehingga bosan dan menyia-nyiakanya.

Sekolah yang baik pastilah memiliki pendidik yang baik pula. Tentu saja akan membimbng siswa-siswa dengan kekosongan jiwa, menjadi pribadi mandiri dan tidak semaunya sendri, tentu saja dengan cara santun dan tidak otoriter. Sebab pendidik memahami, bahwa anak berlatar belakang dimanjakan saat menghadapi masalah, justru akan lebih cepat patah dibanding anak-anak broken home. Sehingga diperlukan kesabaran dan ketelatenan ekstra dari para guru disekolah.

Ketika para orangtua telah memahami betapa berat tugas para guru di sekolah dalam memahami anak-anaknya, maka sudah pasti mereka juga akan membantu dari rumah, dengan mengarahkan anak-anaknya ke arah hal yang lebih positif.

Dengan adanya kerjasama yang baik, serta komunikasi intensif antara sekoah, siswa, dan juga orangtuanya.Maka dapat dipastikan tidak akan terjadi lagi razia pemaksaan potong rambut di sekolah. 


Guru bahagia, siswa bahagia, orangtua bahagia juga!



Comments