Konflik Israel-Palestina Tak Beda Jauh dengan Konflik Rusia-Ukraina, Kenapa Dunia Pilih Kasih?

Anak-anak korban perang (pic: unian.info)


Dalam menyikapi invasi Rusia terhadap Ukraina, persekutuan negara barat memang sangat luar biasa dalam bersuara dengan menghujani sanksi hingga Rusia keder dan klepek-klepek, namun anehnya hal tersebut tidak pernah berlaku untuk Israel saat memperlakukan Palestina, yang notabene tidak beda jauh dengan Rusia 



Disebut perang atau pun invasi, yang dunia tahu Rusia merangsek masuk ke Ukraina dengan tujuan menunjukkan pengaruh dan kekuasaannnya. Banyak negara berpendapat, bahwa Rusia memang bertujuan untuk menguasai kembali negara yang pernah menjadi bagiannya tersebut. Namun sebagian negara dunia lainnya menyebut, upaya yang sedang dilakukan Rusia adalah hanya gertak sambal untuk menakut-nakuti Ukraina agar tidak mencoba-coba berkhianat menjadi Pro-Eropa bin Pro-Barat, apalagi berniat untuk berselingkuh dengan NATO.


Mungkin wajar jika sampai saat ini Rusia tetap 'ngeyel' dan merasa tidak rela sepenuhnya melepas negara yang pernah menjadi bagian wilayahnya tersebut, sebab keberanian rakyat Ukraina saat mendepak presidennya yang pro-Rusia dengan presiden yang anti-Rusia merupakan kenangan pahit, padahal di sisi lain, perebutan semenanjung Crimea juga merupakan kenakalan Rusia di tengah kebingungan kekosongan kekuasaan revolusi Ukraina kala itu.



Rusia salah tingkah dikeroyok barat


Marak pemberitaan yang menunjukan kenyataan di lapangan, bahwa tentara Rusia yang dikirimkan ke Ukraina sebetulnya tidak memiliki kesiapan yang mumpuni, berangkat  karena dibohongi oleh komandannya, jadi mereka seakan tidak tahu sedang dalam tugas berperang. Entah memang benar berita yang sesungguhya, ataukah hanya sebuah rekayasa keberhasilan pemberitaan propaganda demi menguasai informasi dunia.


Beredarnya berita bagaimana dipermalukannya tentara Rusia saat memasuki kota-kota Ukraina, penduduk Ukraina terang-terangan mencaci-maki dan berdebat dengan tentara Rusia yang terlihat tak berdaya. Namun hal tersebut bisa saja terjadi karena tentara Rusia lebih banyak mengalah dan diam, sebab sadar sedang disorot dunia. Jika melakukan perlawanan ataupun tindakan terlalu keras akan terkesan melanggar HAM, yang akan berakibat pada kian menumpuknya sanksi internasional.


Rusia yang serba salah dalam bertindak akibat dikeroyok negara-negara barat, sehingga terkesan salah tingkah dan salah langkah. Terbukti dengan menghilangnya puluhan helikopter Rusia yang semula banyak berseliweran di atas langit Ukraina menunjukkan kebingungan Rusia dalam bersikap. Demikian juga dengan beredarnya berita tank-tank Rusia yang dilobangi oleh tentaranya sendiri agar tidak diserang tentara Ukraina jelas menunjukan ambigunya sikap Rusia.


Hal ini jelas membuktikan, bahwa negara-negara barat memang sangat kompak dan  kuat dalam bersekutu, dengan sisi kelebihan mereka yang menghormati HAM bila dibanding Rusia ataupun negara-negara lainnya, jelas membuat semua negara di dunia  lebih mempercayai barat.



Palestina tidak beda jauh dengan Ukraina


Di saat seluruh dunia terfokus pada penderitaan Ukraina, Palestina yang telah lama mengalami nasib serupa, justru terlupakan begitu saja. Meskipun sikap Israel sudah jelas lebih dari sekedar invasi, namun tetap langgeng tidak pernah berhenti dan terus berlanjut.


Apabila diperhatikan dengan seksama dari kacamata negara yang menghormati HAM, yakinkah yang diperbuat Israel sesuai dengan nilai nilai kemanusiaan? Mengusir warga Palestina dari rumah-rumah huniannya, menganiaya bocah-bocah kecil Palestina, memenjarakan, main tembak, asal bunuh, benarkah semua tindakan tersebut mengedepankan nilai-nilai HAM dan tidak melangggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang?


Palestina terlupakan, berbeda jauh dengan Ukraina. Yang disaat disentil oleh Rusia, dunia langsung beraksi dengan cepat, dengan gegap gempita memberikan sanksi ekonomi, politik, isolasi keuangan dunia, dan beragam sanksi lainnya, terbukti efektif membuat Rusia salah tingkah dalam bersikap.


Banding terbalik dengan Israel yang notabene adalah sekutu barat. Propaganda yang dibuat bahwa segala yang dilakukan terhadap Palestina adalah sebagai upaya membela diri dari si pengganggu. Dan dunia mengamini hal tersebut, lalu membenarkan segala yang dilakukan sebagai sebuah hukuman.


Berbeda dengan Ukraina yang memisahkan diri dari Rusia, Palestina adalah pemilik asli negaranya. Israel yang numpang hidup akibat holocaust di masa lalu, diterima dengan tangan terbuka oleh warga Palestina. Namun karena keserakahan dan eksodusnya keturunan Yahudi, ditambah pertambahan penduduknya, berakibat merangsek menduduki wilayah Palestina. Apalagi terjadinya perang di 1967 yang membuat Palestina mengalami kekalahan, yang berujung kemalangan, menjadii jajahan di tanah airnya sendiri. Yakinkah hal ini sebagai sebuah hukum alam yang wajar terjadi, ataukah sengaja direkayasa dari sebuah propaganda agar dunia menyetujuinya bak terkena hipnotis?



Memakai tentara Chechnya: propaganda ala Putin


Persekutuan negara-negara barat memang super sakti, ditambah dengan gencarnya propaganda, apalagi media massa internasional hampir seluruhnya dikuasai barat. Sehingga dapat ditebak jika seluruh pemberitaan dunia akan bersumber pada sumber informasi paling kuat.


Dahsyatnya kekuatan persekutuan negara-negara barat memberi pilihan pada Putin, antara linglung atau bergerak menyerap ilmu dari propaganda tersebut. Namun Putin tampaknya tidak bodoh, sebagai seorang mantan intelejen KGB terlatih sudah pasti akan menyerap berbagai strategi penguasaan dan perebutan pengaruh dunia.


Kecerdikan penyerapan ilmu propaganda tengah dilakukan oleh Putin. Selain mengirimkan tentara Spetsnaz yang terkenal, ternyata  dia juga memakai kekuatan tentara Chechnya, yang mayoritas adalah muslim. Mungkin dalam ilmu yang diserap Putin, apabila berkaitan dengan muslim, maka dunia akan terbelah menjadi dua suara, bersimpati, ataupun antipati karena muslim kerap disebut sebagai teroris akibat propaganda barat.


Putin beranggapan dunia akan simpati, sebab banyak muslim minoritas yang mengalami ketertindasan telah menumbuhkan empati dari dunia internasional, terutama badan-badan dunia, seperti WHO dan yang lainnya. Nasib muslim yang tertindas di Myanmar, juga etnis Uighur di China. Boleh jadi Putin ingin meraih simpati dunia dengan menggerakkan tentara Chechnya yang mayoritas muslim. 


Bahkan bisa jadi dengan memakai tentara Chechnya, Putin ingin lepas tangan jika terjadi antipati terhadap invasinya, sebab dunia akan menyorot tentara Chechnya sebagai mayoritas muslim, bahwa memang terbukti teroris. Putin ingin menguasai Ukraina tapi memakai kepanjangan tangan lain, sehingga tangannya sendiri bersih dari noda.



Chechnya juga pernah diinvasi Rusia


Padahal bila ditelisik ke belakang, di masa silam Chechnya adalah juga merupakan bagian negara dari Rusia yang ingin memisahkan diri. Banyaknya pembantaian dan kekejaman Era Soviet karena adanya keyakinan agama di Chechnya menjadikan negara itu ladang pembantaian dan genosida. 


Kekaisaran Rusia pada abad ke 19 menguasai Chechnya, akibatnya, bangsa Chechen dan Ingush yang merupakan penduduk asli dari wilayah tersebut memilih meninggalkan tanah kelahirannya dan mengungsi ke Timur Tengah.


Saat pemerintahan Uni Soviet runtuh di tahun 1991,  Ingushetia memilih untuk berdiri menjadi negara republik di dalam Rusia. Sementara Chechnya mendeklarasikan kemerdekaannya. Akibatnya tahun 1994 hingga 1996 Chechnya yang ingin mempertahankan kemerdekaannya diperangi oleh Rusia, sama persis dengan yang terjadi pada Ukraina saat ini. Meskipun perang itu berakhir dengan perjanjian damai, namun di tahun 1999 Rusia kembali menginvasi negara tersebut, yang melahirkan kesepakatan sepihak dari Rusia pada tahun 2003 bahwa Chechnya harus tetap menjadi negara bagian Rusia dengan imbalan kekuasaan yang lebih besar.


Sebelum kesepakatan terjadi, pada 2002, gerilyawan-gerilyawan Chechnya melakukan penyanderaan di sebuah gedung teater Moskow, Rusia, demi meminta pembebasan kawan-kawannya yang dipenjara oleh pemerintah Rusia saat itu. 


Namun bukannnya perundingan yang dilakukan saat itu, namun justru pasukan elite Rusia menggunakan gas beracun dalam proses pembebasan sandera. Bahkan menurut Kepala Departemen Ilmu Racun Klinik Universitas Munich Jerman Thomas Zilker dan Andrei Naumov, mantan sandera yang selamat, gas yang digunakan pasukan elite Rusia lebih ganas dari khloroform, zat bius, sehingga banyak sandera yang tewas, termasuk seluruh gerilyawan Chechnya meninggal dalam senyap.


Memang Rusia sering melakukan kekejaman diluar rasa perikemanusiaan terhadap Chechnya, demikian terhadap Ukraina. Peristiwa Holodomor dan perebutan semenanjung Crimea merupakan beberapa contoh yang membuat Ukraina 'emoh' menjadi bagian adari negara beruang putih itu lagi.


Memakai tentara Chechnya sebagai bagian tentara Rusia untuk menginvasi Ukraina,  dapat diindikasikan agar seluruh dunia kian memberi cap muslim memang terbukti teroris, dengan ikut mendukung invasi Rusia, membantu persenjataan dan tenaga. Disatu sisi Putin ringan pekerjaan dengan menerjunkan secara gratis tentara Chechnya, disisi lain tangannya akan bersih, sebaliknya caci maki akan diarahkan pada tentara Chechnya yang mayoritas muslim.


Disisi lain dari santernya berita, tentara Chechnya pun kabarnya terpecah menjadi dua kubu, mereka yang tetap menginginkan kemerdekaan dan tidak ingin bergabung dengan Rusia, serta mereka yang saat ini dekat dengan pemerintahan Putin. Terbukti adanya sebagian gerilyawan Chechnya di tempat persembunyian yang siap membantu Ukraina, sementara tentara Chechnya Pro-Rusia lainnya siap membantu Putin. Hal ini menunjukan bahwa Chechnya pun telah terbelah, mereka yang anti, dan mereka yang pro sudah pasti akan memperoleh kedekatan hubungan dengan Sang Penguasa Kremlin namun dengan resiko siap bersedia disuruh-suruh melakukan sesuatu, termasuk membantu negara menginvasi Ukraina. 


Kabarnya pemimpin Chechnya mengerahkan 12.000 militer dalam invasi Rusia terhadap Ukraina. Meskipun kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah yang dilakukan tentara Chechnya yang pro pemerintah adalah benar-benar dari kesungguhan hati, ataukah karena tekanan Rusia?" Jika dipaksakan tentu saja tidak akan berbeda jauh dengan nasiba tentara Rusia lainnya yang berperang tanpa persiapan matang, bahkan tak tahu kalau mereka akan diperintahkan untuk berperang.



Sanksi tak pernah berlaku: Israel bukan Rusia


Dalam menyikapi invasi Rusia terhadap Ukraina, persekutuan negara barat memang sangat luar biasa dalam bersuara. Berbagai sanksi getol diberikan, bahkan sanksi keuangan, yang tentunya membuat Rusia keder dan klepek-klepek. Namun anehnya hal tersebut tidak pernah berlaku untuk Israel, yang notabene berperilaku tidak beda jauh dengan Rusia dalam memperlakukan Palestina.


Sudah pasti hal tersebut tidak akan diberlakukan pada Israel, karena negara zionis ini merupakan bagian dari persekutuan barat. Jadi meskipun Israel sudah jelas melakukan genosida pada Palestina, tetap saja tak ada satu negarapun yang mempan memberi sanksi, apa tah lagi negara-negara barat terkuat sebagai sekutunya justru pura-pura menutup mata dan mengamini bahwa yang diperbuat Israel adalah sebuah pembelaan diri dari terorisme.


Bahkan FIFA (Federation International de Football Assosiation) sebagai badan sepakbola internasional yang seharusnya bersih dari politik, namun tetap dalam sebuah persekutuan negara barat toh menunjukkan sikapnya dengan menendang Rusia, namun tak berbuat apa-apa terhadap Israel.


Israel memang seorang anak manis yang menjadi kesayangan di belahan dunia manapun. Senakal-nakalnya perbuatan dan tingkah polah yang dilakukan, dia akan tetap terlihat manis dan tak bersalah karena kecerdikannya dalam membela diri. Sementara di sisi lain, Palestina sebagai sosok anak yang selalu dicap nakal, pengganggu, dan tidak bisa tenang sebab selalu menyerang Israel. 


Tak semua orang memahami, bahwa si Palestina melakukan semua itu akibat sikap frustasi karena selalu dianaktirikan, tak tahu harus mencari pembelaan sebab terlampau miskin papa. Sementara saudara-saudaranya yang sesama Timur Tengah pun telah banyak meninggalkan dan tak membelanya akibat faktor kepentingan dan kemanisan propaganda Israel.


Dunia tak memahami mengapa Palestina melakukan hal-hal yang dirasa mengganggu Israel, sebab negara itu tak begitu pandai berpropaganda dan membela diri, bahkan boleh jadi tak ada biaya untuk itu karena kemiskinan negaranya sebab selama sekian waktu dijajah Israel, negara yang oernah diberinya tumpangan tempat tinggal akibat holocaust di masa silam.


Yang dunia pahami saat ini, bahwa Palestina adalah pengganggu, selalu mengusik ketenangan Israel denan melontarkan bom-bom molotovnya. Padahal dunia lupa, satu lontaran bom molotov, ataupun rudal balistik kelas kambing, ataupun satu lemparan batu dari bocah-bocah Palestina, akan berbuah balasan rudal super canggih yang dalam hitungan detik mampu meluluhlantakkan kota-kota di Palestina. 


Israel berubah menjadi negara kaya karena kecerdikannnay dan bantuan induk semang Amerika, sementara Palestina tetap miskin dan tak berdaya apa-apa. Israel memiliki pelontar rudal dan segala macam kecanggihan alutsista, bisa memenjarakan orang-orang Palestina, bahkan bocah-bocah kecil Palestina yang dicurigainya, namun banding terbalik dengan Palestina yang tak mampu berbuat apa-apa. Tak ada yang bisa dilakukan negara ini saat penduduknya diusir dengan paksa oleh Israel dari rumah-rumah yang sekian waktu menjadi tempat tinggalnya hanya karena pengadilan Israel menghasilkan putusan pengusiran paksa demi memberi hunian bagi pemukim-pemukim Yahudi.


Kta sering disuguhi pemberitaan tentang penembakan semena-mena dari tentara Israel terhadap warga Palestina hanya karena alasan hendak melakukan penyerangan meskipun kemudian tak terbukti, bahkan boleh jadi saat warga Palestina melintas dengan batuk-batuk pun bisa diklaim sebagai mencurigakan dan diberondong peluru tanpa ampun.


Israel dapat melakukan tindakan apa pun tanpa dicap bersalah oleh dunia, karena mereka pintar bersilat lidah dan membela diri. Kecerdikannya memutar balik fakta, membuat propaganda, kian membuat Palestina berada pada posisi bersalah dan selalu salah.


Dunia melupakan ada berapa banyak bocah-bocah Palestina yang berada di balik jeruji penjara Israel, hanya karena timpukan batu, atau akibat memetik sayuran liar di daerah yang diklaim sebagai tanah pendudukan Israel. Kesalahan tak berarti yang dibuat besar sebab yang terganggu adalah mereka yang kuat dan memiliki kekuatan senjata, bahkan boleh dikatakan penjajah.


Begitulah nasib rakyat terjajah, mereka akan selalu salah meskipun melakukan hal yang kecil sekalipun. Di mata penjajah segala keputusan yang dilakukan adalah sebagai pembelaan sebab yang diperbuat si terjajah adalah pemberontakan dan gangguan. Penjajah selalu benar dan si terjajah selalu salah!


Seperti yang pernah menimpa Indonesia saat penjajahan Belanda dahulu kala dengan semboyannya 'Devide et impera' (pecah belah dan jajahlah). demikian juga yang berlakui di Palestina saat ini, negara terpecah menjadi dua kubu, Hamas dan Fatah, sungguh membuka jalan mudah bagi Israel untuk menguatkan cengkeraman kekuasaann pada tanah jajahan yang pernah memberinya tumpangan hidup.


Indonesia tak akan pernah mengalami kemerdekaan seandainya dahulu tetap dalam  kubu-kubu kedaerahan yang diciptakan penjajah. Jong Java, Jong Ambon, dan segala macam organisasi yang bersifat kedaerahan tak pernah membuahkan kemenangan melawan penjajah.


Kecerdasan pola pikir para pemuda Indonesia di 1928 untuk bersatu yang akhirnya membuahkan hasil kemerdekaan di 1945. Tak kan ada sebuah kemenangan hakiki melawan penjajah jika terpecah belah menjadi bagian kecil, hanya semacam ombak dan riak-riak kecil yang tak berarti apa-apa. Namun bila ombak itu bersatu menjadi sebuah kekuatan besar, maka akan dapat memporak porandakan semuanya, bahkan membuat sebuah pulau tenggelam.


Kembali ke masalah konflik Rusia-Ukraina, meskipun NATO tidak memberikan wujud nyata pembelaannnya karena Ukraina belum menjadi bagian anggotanya. Namun sikap dan perlakuan khusus yang diberikan oleh negara barat dan sekutunya, jelas menunjukkan pembelaan yang luar biasa. Namun beranikah mereka secara tegas memberi sanksi pada Israel sebagaimana memberi sanksi pada Rusia?, Sepertinya jauh panggang dari api.


Palestina bukan Ukraina, dia bukan sekutu barat, tak akan ada negara yang mau membela mati-matian terhadap nasib malang yang menimpanya. Palestina hanya berharap pada negara-negara yang masih memiliki empati dan rasa kemanusiaan. Palestina tidak pernah akan menjadi negara berdaulat yang diakui di seluruh dunia, jika seluruh dunia masih berhegemoni pada egosentris kepentingan politik, ekonomi, perluasan pengaruh,dan berkelindan dalam egoisme kepentingan negaranya sendiri,  sementara negara-negara terbelakang lainnya pun terpaksa hanya menjadi penggembira demi keselamatan dan keuntungan negaranya


Jika dunia tidak sedang tenggelam dalam egoisme, propaganda kepentingan, dan perebutan pengaruh, pastinya penderitaan Palestina akan sama terekspos seerti Ukraina. Sama mendapat perlakuan dan perhatian, tidak justru tenggelam dalam tudingan kesalahan dan ekstrimisme. Tampaknya sangat mustahil jika ada negara yang berani memberi sanksi politik, embargo, ekonomi, dan keuangan kepada Israel sebagaimana memberi sanksi terhadap Rusia. Meskipun pelanggarannnya tidak berbeda jauh, bahkan justru Israel yang lebih parah, karena menjajah negara yang memberinya tumpangan hidup. Mungkin hanya negara-negara berkembang kurang berpengaruh tapi memiliki nurani saja yang berani melakukan hal itu, sementara negara-negara kuat tak akan melakukan hal yang sama, sebab masih berkelindannya faktor egoisme dan kepentingan.



Membela Ukraina tapi jangan lupakan Palestina juga, jika masih memiliki hati nurani.



 

Comments