Putin: Antara Harta, Tahta, Wanita, dan G20

Alina Kabaeva yang dikabarkan sebagai kekasih Putin (pic: tempo.co)



Selain mendapat keistimewaan dari Swiss karena berhasil menyembunyikan kekasihnya di sana, Putin juga akan mendapat perlakuan istimewa dari Indonesia saat G20 nanti sebab Menko Marves Luhut Panjaitan telah memberi tugas spesial pada Panglima TNI Andika Perkasa untuk mempersiapkan pengamanan  khusus



Penyelenggaraan pertemuan G20 dengan tuan rumah Indonesia, yang rencananya digelar di Bali terasa bagai dilema. Sebuah dilema akibat dampak dari adanya perang Rusia-Ukraina.


Sebagai empunya rumah, tentu saja Indonesia salah tingkah. Sebab jika mengikuti pendapat Amerika dan negara-negara barat lainnya, tentu saja Indonesia harus berkomitmen untuk tidak mengundang Vladimir Putin dalam pertemuan ekonomi tingkat dunia tersebut, sebab danggap penjahat perang dan pelanggar hak asasi kemanusiaan. 


Sementara disisi lain, jika Indonesia tidak mengundang Putin, pastinya sangat kikuk bersikap, terutama terhadap China. Sebab negara tirai bambu secara terang-terangan menyebut Indonesia harus menghargai perbedaan multidimensi dan urusan dalam negeri negara lain. Sementara jika menyangkut China, tentunya Indonesia memiliki dilema dalam bersikap karena memiliki pinjaman cukup besar.



Tentang Rusia: Indonesia ewuh pakewuh


Indonesia salah tingkah, antara mengundang Rusia atau tidak, serba ewuh pakewuh, seperti peribahasa memakan buah simalakama, mengundang tapi tidak enak bersikap pada Amerika dan sekutunya. Namun jika tidak mengundang, juga tidak enak bersikap pada Rusia, apalagi bila dikaitkan dengan "sungkanisasi" terhadap China yang menghendaki Rusia hadir.


Perang Rusia dengan Ukraina sedikit banyak pasti membawa dampak terhadap negara kita. Jika saat ini terasa kikuk saat harus bersikap dalam pertemuan G20, maka ke depannya akan berpengaruh pada hal-hal lainnya. Apalagi jika perang terus berlanjut dengan kian panasnya Rusia akibat keroyokan negara-negara barat terutama AS. Maka yang dikhawatirkan dapat memicu ketegangan tingkat tinggi dengan senjata pamungkasnya, apalagi kalau bukan nuklir.


Bagi Indonesia sebagai negara netral tentunya tidak menjadi masalah, meskipun terkadang ditanggapi negara lain sebagai negara dengan sikap membingungkan. 


Perang Rusia-Ukraina pastinya akan sangat berdampak terhadap Indonesia, apalagi jika negara kita memiliki kepentingan ekspor impor terhadap dua negara tersebut. Belum lagi ditambah porak-porandanya Ukraina saat ini, tentunya membawa dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi jangka panjang. Sedangkan Rusia, mungkin tidak terlalu berdampak, namun lama kelamaan embargo dari barat bisa mempengaruhi jika rakyatnya kurang solid.      



Netralitas Indonesia dan pengendalian emosi para Raja nuklir


Kekhawatiran dunia adalah jika Rusia tidak dapat mengendalikan emosinya, demikian juga dengan AS dan negara-negara sekutunya, yang notabene pemilik nuklir, dikhawatirkan akan terjadi perang nuklir yang tentunya dapat memicu Perang Dunia Ketiga. 


Negara kita tentunya harus benar-benar konsisten menjaga netralitas karena tak memiliki nuklir. Tanpa harus diperdebatkan, nuklir dengan banyak dampak negatifnya membuat negara kita memanfaatkan nuklir hanya untuk kepentingan tekhnologi dan pengetahuan. Terbukti dampak negatif dari nuklir, hingga Jerman telah lama meninggalkannya. Bahkan berita bocornya Chernobyl di Ukraina, yang hingga saat ini masih memiliki radiasi tinggi.


India, meskipun dari segi ekonomi dinilai ngos-ngosan, namun dari segi persenjataan,  sepertinya negara Brahmana ini tidak mau kalah dengan negara lain, terutama Pakistan, dalam hal kepemilikan nuklir.


Jika India tidak mau kalah, apa tah lagi negara-negara besar yang sudah mapan. Sebagai cikal bakal pemula kepemilikan nuklir, pastinya memiliki nuklir lebih banyak demi ambisi besar menstabilkan dunia. Terutama bagi negara yang memiliki kecenderungan membentuk blok ataupun sekutu, memiliki nuklir adalah suatu keharusan sebelum mati kutu.


Meskipun Perang Dunia Dua telah usai, dan kabarnya dunia telah damai, tapi toh dunia tetap berada dalam sikap blok yang berbeda. Amerika dengan kekuatan sekutu terbesar pastinya berdiri di atas angin dengan tergulungnya blok timur Kremlin di masa lalu. Namun saat ini, AS sepertinya paranoid berhadapan dengan negara-negara yang dianggap setali tiga uang dengan blok Timur, yakni China, Rusia, Korea Utara, dan Iran.


Tak ada negara yang berani melawan kebijakan AS dan sekutu-sekutunya, sebab jika  berani, maka akan dikeroyok beramai-ramai. Siapa sih yang berani melawan Amrik? Berani melawan, berarti berani menghadapi konsekwensinya, entah dipropaganda, diembargo, dan sebagainya. Kuba adalah salah satu contoh negara yang ngos-ngosan dan miskin karena hukuman AS.   


Namun akan beda jauh perlakuan dan sikap jika menjadi sekutu AS, apalagi anak kesayangan. Misalnya Israel, tentunya tak akan ada embargo dan kekejaman propaganda, meskipun melakukan kejahatan kemanusiaan genosida di Palestina. 


AS dan sekutu-sekutunya memang sedang berada di atas angin setelah jatuhnya Uni Soviet di era komunisnya. Namun, seandainya pun saat ini yang memenangkan adalah blok timur dan konco-konconya, tak menutup kemungkinan perlakuan sewenang-wenang juga bisa didapatkan warga dunia, bahkan bisa jadi lebih parah dari AS dan sekutunya. Contoh paling mudah adalah kejamnya perlakuan China terhadap suku Uighur, demikian juga perlakuan Rusia terhadap aktivis Alexein Navalni setelah diekstradisi kembali ke negaranya, ataupun bengisnya perlakuan Kim Jong Un di Korea Utara terhadap pamannya sendiri, hanya karena ketakutan takhtanya raib.


Tanpa harus memuja AS dan konco-konconya, sebab tak semua yang mereka lakukan positif, namun masih ada sedikit sisi kemanusiaan yang mereka miliki, mungkin karena mereka lebih memahami Hak asasi manusia (HAM) bila dibandingkan dengan China, Korea Utara, dan negara penganut komunis lainnya.



Belitan harta, tahta, dan wanita Putin

 

Yang menjadi korban terbesar dari peperangan adalah wanita, anak-anak, dan kaum lanjut usia.  Jika wanita mungkin masih dianggap tangguh dan kadang berpartisipasi dalam perang, namun anak-anak dan orang lanjut usia, mereka dipaksa kehilangan rumah, kelaparan, kedinginan di tempat pengungsian, dan tak jelas harus kemana.


Di balik semua perang besar, pasti tersimpan ambisi kaum Adam, yang pada awalnya hanya berupa ambisi pribadi, namun kemudian berubah menjadi ambisi komunitas, kelompok, hingga kemudian menjadi skala besar, negara.


Ambisi kaum Adam biasanya dilatarbelakangi ambisi harta, tahta, dan wanita. Jadi mungkinkah dalam perang Rusia-Ukraina akibat ambisi Putin agar 'harta' Crimea diakui Ukraina sebagai wilayah Rusia. Selain itu diai juga menginginkan kelanggengan 'tahta' kepresidenan tanpa terrganggu keinginan Ukraina yang Pro-Eropa bergabung ke NATO. 


Selain harta dan tahta, terjadinya invasi Rusia terhadap Ukraina diindikasikan adanya peran 'wanita' yang mempengaruhi Putin. Sebab bukan rahasia lagi jika dia memiliki daun muda. 


Dikutip dari CNN.com (7/3/2022) bahwa pada 2014 saat perceraiannya dengan mantan istrinya, Lyudmila Aleksandrovna Ocheretnay belum tuntas, ternyata Vladimir Putin memiliki kekasih bernama Alina Maratovna Kabaeva, seorang atlet senam ritmik Rusia kelahiran 12 Mei 1983, yang kemudian menjadi anggota parlemen pro-Putin. Namun Kabaeva diberitakan menghilang sejak bertunangan dengan presiden Rusia Vladimir Putin pada April 2008. 


Setelah menjadi kekasih Putin, Kabaeva diduga berpenghasilan lebih dari £ 7,5 juta atau Rp 141 miliar setahun sebagai bos raksasa media pro-Kremlin. Hingga status hubungan mereka muncul kembali pada 2013, saat Kabaeva dikabarkan melahirkan bayi perempuan di rumah sakit VIP Saint Ann di Ticino, Swiss. Meskipun Kabaeva membantah, toh dua tahun kemudian, ia dilaporkan kembali melahirkan anak kembar di klinik bersalin Kulakov di Moskow.


Selain terpikat pada harta dan tahta, tentu saja ada wanita di balik semangat hidup Putin. Sebagai pria yang telah berumur, tentu saja mempertahankan harta dan tahta adalah prioritas utama, agar tidak ditinggalkan oleh anak-anak dari istri pertama, dan tentu saja, anak-anak dari kekasih mudanya.


Akibatnya saat terjadi perang Rusia dengan Ukraina, Putin segera menyembunyikan istri pertama dan anak-anaknya di kota bawah tanah mewah di Siberia, sementara Kabaeva dan keempat anaknya diterbangkan ke Swiss. Mereka disebut memiliki identitas, tanda pengenal, dan paspor, sehingga memudahkan tinggal di sana sementara waktu. 


Meskipun puluhan ribu orang telah menandatangani petisi memprotes pemerintahan Swiss karena tidak memberi sanksi pada kekasih Putin dan anak-anaknya, toh hingga hari ini mereka aman-aman saja di sana.



Tak beda jauh dengan Swiss, tampaknya Vladimir Putin juga akan mendapat perlakuan istimewa di Indonesia saat G20 nanti. Sebab kabarnya, Menko Marves Luhut Panjaitan memberi tugas spesial pada Panglima TNI Andika Perkasa untuk mempersiapkan pengamanan  khusus terhadap tiga negara adidaya, yakni Amerika Serikat, China, dan tentu saja, Rusia.. 


Comments