Pemerintah Ambil Alih Kewenangan Halal Ulama, Ada Apa?

Logo halal versi lama dari MUI dan terbaru dari pemerintah (pic: republika.co.id)


Pengambilalihan kewenangan otorisasi label halal oleh pemerintah dikhawatirkan akan dikaitkan dengan viralnya tagar bubarkan MUI beberapa waktu lalu akibat salah satu petingginya ditangkap karena dugaan berafiliasi dengan organisasi teroris



Keputusan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mengambil alih tugas Majelis Ulama Indonesia dalam memberi label halal menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Keputusan yang disampaikan langsung melalui Menteri Agama menimbulkan bola liar panas, sehingga membuat publik memberi jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk.


Penetapan label halal yang tercantum dalam Keputusan Kepala BPJH Nomor 40 Tahun 2022 ditetapkan di Jakarta pada 10 Februari 2022, berlaku efektif sejak 1 Maret 2022.


Sebagai bagian dari perpindahan wewenang sertifikasi halal dari LPPOM MUI ke BPJPH Kemenag, maka bukan hanya logo halal yang berubah, namun Kemenag kini juga memiliki kewenangan mengeluarkan sertifikasi Halal.



Logo halal terbaru simbol intervensi kekuasaan?


Kemenag beralasan penetapan label halal yang baru adalah sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH.


Akibat perpindahan wewenang atas lembaga yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan sertifikasi halal, yakni  dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama (Kemenag) menjadi alasan kuat mengganti logo halal dari hijau menjadi ungu.


Publik berupaya menjawab pertanyaannya sendiri terhadap perpindahan kewenangan memberi label halal Kemenang. Tanpa masyarakat harus mengemukakannnya di area publik karena kekhawatiran akan terjerat pasal-pasal karet ataupun pasal-pasal dalam Undang-undang ITE, sebab kedepannya dirasa bakalan merepotkan diri sendiri.


Bentuk logo Halal Indonesia terdiri dari dua objek, yaitu bentuk Gunungan dan motif Surjan atau Lurik Gunungan pada wayang kulit berbentuk limas, lancip ke atas. yang melambangkan kehidupan manusia. Bentuk gunungan berupa susunan kaligrafi huruf arab yang terdiri atas huruf Ḥa, Lam Alif, dan Lam dalam satu rangkaian sehingga membentuk kata Halal.


Logo terbaru ini sempat dikritik ketua YLKI karena dinilai terlalu memaksakan dengan ilustrasi tertentu, sehingga terkesan ada intervensi dari pemegang kekuasaan.



Bola liar dalam masyarakat


Meskipun beberapa waktu lalu Presiden Jokowi pernah menjanjikan keamanan bagi masyarakat untuk memberi kritikan terhadap pemerintahannya, namun tetap saja ada rasa tidak 'ngeh' dan kekhawatiran bagi sebagian masyarakat jika melontarkan kritikannya. Sehingga secara samar-samar terdengar bisik-bisik rakyat kecil bahwa "iyo presidene apik, tapi wong-wong bawahane.....", titik-titik ini yang kemudian memiliki jawaban dan penafsiran tersendiri bagi tiap golongan masyarakat.


Keputusan pemerintah mengambil alih kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam memberi label halal menimbulkan bola api yang terasa liar beredar di masyarakat. Diantaranya adalah:


Anggapan pembunuhan karakter ulama MUI


Adanya penangkapan terhadap ulama di MUI beberapa waktu lalu karena diduga berafilasi dengan organisasi teroris, berakibat banyak masyarakat mencibir dan berprasangka negatif terhadap perkumpulan ulama yang sangat disegani dinegara kita ini.


Dengan adanya pengambilalihan kewenangan memberi label halal oleh pemerintah, seakan menjadi sebuah jawaban tersendiri di masyarakat, bahwa penangkapan terhadap ulama yang menjadi petinggi MUI serta tudingan berafiliasi  terhadap teroris, adalah sebuah pembunuhan karakter terhadap organisasi ulama. Dengan tujuan memberi citra negatif dan kesan kurang baik pada publik terhadap MUI, sehingga kredibilitasnya menurun, mengakibatkan masyarakat menjadi kurang percaya lagi terhadap lembaga ini, yang kemudian menjadi peluang mudah bagi pemerintah untuk mengambil alih kewenangan memberi label halal.



Berkaitan dengan Omnibus Law


Kewenangan memberi label halal yang diambil alih pemerintah, dianggap berkaitan erat dengan adanya kepentingan Undang undang Ketenagakerjaan (Omnibus Law), yang didalamnya sarat dengan kepentingan bisnis dan investasi, setelah sebelumnya dihembuskan kabar bahwa MUI sangat lelet dalam memberi izin kehalalan suatu produk.


Jika dilihat dari kacamata bisnis, keleletan ini dinilai sangat tidak menguntungkan. Padahal dari sisi ulama, lamanya waktu untuk menentukan suatu produk halal atau tidak, memang memerlukan ketelitian dan kehati hatian, tidak asal sembarangan, sebab berkaitan dengan hukum Tuhan karena penduduk negara kita agamis dan berpegang teguh pada norma-norma.


Kelambanan MUI dalam memberikan label halal dianggap pemerintah sangat bermasalah dan menghambat investasi, padahal pemerintahan negara kita  saat ini sedang gencar-gencarnya menggenjot investasi demi pemasukan negara. Apalagi adanya rencana pembangunan IKN (Ibukota Negara Baru) yang tentunya memerlukan dana investasi besar. Belum lagi persaingan dengan negara lainnya yang tentunya juga berlomba memberi kemudahan bagi investor.



Hedonisme dan Atheisme membudaya


Memang di zaman yang super matetialistis seperti sekarang ini, segala sesuatu mengatasnamakan uang dan materi, akibatnya norma agama dan hati nurani sering terlupakan begitu saja, bahkan bisa jadi dianggap sebagai penghambat kesuksesan duniawi.


Salah satu contoh paling mudah adalah, dahulu Bank dianggap lebih parah dari rentenir. Namun setelah keuntungan bank dari bisnis keuangan sangat menggurita dan menggairahkan ekonomi, maka pada akhirnya segala hal yang berkaitan dengan uang memang harus bersumber pada bank, bahkan tujuan ibadah haji pun memakai jasa bank. Hingga pada akhirnya lahir bank syariah yang dianggap lebih mendekati nilai-nilai keagamaan, meskipun perkembangannya tak secepat bank-bank konvensional biasa pada umumnya.


Demikian juga dengan rokok. Pada awalnya dihukumkan sebagai makruh karena dianggap pekerjaan yang sia-sia, membakar uang, yang justru menyebabkan beragam penyakit, terutama kerusakan paru-paru. Namun seiring dengan perkembangan zaman, ternyata makin banyak jumlah perokok aktif, yang tentunya mampu menaikkan pemasukan pemerintah melalui cukai. And toh pada akhirnya  menggerus kemurnian hati nurani saat bea siswa pendidikan anak bangsa dan  pertandingan-pertandingan olahraga disponsori oleh perusahaan rokok.


Bahkan yang paling nyata terlihat, sampai saat ini wakil rakyat di DPRD DKI Jakarta sampai hari ini pun belum sepakat dan selalu menemui jalan buntu bila harus melepaskan sebagian sahamnya pada pabrik minuman keras terbesar di negara ini.


Banyak hal-hal lain yang pada awalnya bertentangan dengan agama dan hati nurani, namun pada akhirnya menjadi bisa diterima karena pola kebiasaan dan menjadi budaya. Sehingga saat ini sudah bukan hal aneh lagi bila orang membicarakan bank ataupun rokok.


Bahkan beberapa waktu lalu juga sempat beredar kabar, tentang lahirnya pemikiran agar prostitusi dilegalkan. Dengan alasan agar penyakit menular yang ditimbulkan tidak menyebar dimana-mana, dan pastinya, bisa dipajaki. Dengan adanya pajak, maka akan menambah pemasukan pada keuangan negara. Namun wacana ini kemudian ditolak oleh sebagian masyarakat yang masih berpegang teguh pada agama dan memiliki hati nurani. Bahkan jikalau pun hal tersebut dilegalkan, akan makin berimbas pada moral gebnerasi muda negeri ini. Boleh jadi suatu hari nanti, generasi muda di negeri ini bisa memiliki cita-cita terjun dalam dunia prostitusi, it's crazy!


Tanpa dlegalkan pun, sekarang telah banyak dijumpai kasus-kasus prostitusi online yang melibatkan anak-anak dibawah umur, Semua bermuara pada kebutuhan uang, uang dianggap sebagai simbol kemenangan di atas segalanya menjelang akhir zaman. Meskipun pada akhirnya ternyata tidak dibawa ke alam kubur.


Kasus binary option yang berkedok trading baru-baru ini, jelas menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang mabuk uang, mabuk kekayaan dan keduniawian. Sehingga ketika sadar telah ditipu, barulah terbangun dari impiannya. Bahkan jika pun telah berlimpah harta benda dan kekayaan, terkadang malah mencoba melawan dan melupakan Tuhan, dengan sikap congkak menyebut bahwa tidak ada campur tangan Tuhan sedikit pun di dalam hartanya.


Terkadang kita tidak pernah menduga, bahwa anak bangsa yang dahulunya santun dengan budaya timur, namun kini ternyata bisa tega melakukan penipuan terhadap saudara sebangsanya..Tapi kita jangan pernah lupa, globalisasi telah lama merambah dan mencengkeram dunia, sehingga gaya hidup ala barat, ataupun sikap hidup hedonisme yang jauh dari nilai ketuhanan, sudah bukan hal baru, bahkan telah lama membudaya di negara kita.


Melupakan agama dan hati nurani akan berujung pada pelanggaran norma hukum dan norma kesopanan. Sehingga bukan hal mengeherankan bahwa mereka yang berani 'tipu-tipu' demi gaya hidup hedonisme, akan berakhir pada sanksi hukum dan  cemoohan masyarakat.



Pengambilalihan kewenangan otorisasi label halal berkaitan dengan tagar pembubaran MUI?


Jika kemudian kewenangan label halal diambil alih pemerintah, lalu apa fungsi ulama di negara ini? Bukankah mereka yang lebih berhak memberi label tersebut karena lebih menguasai dan memahami ilmu agama dan ketuhanan?


Pengambilalihan kewenangan otorisasi label halal dikhawatirkan akan dikaitkan dengan viralnya tagar bubarkan MUI beberapa waktu lalu akibat salah satu ulama MUI ditangkap karena dugaan berafiliasi denan organisasi teroris. Membuat masyarakat mengaitkan tujuan penangkapan adalah demi menimbulkan sikap kontra, hingga berujung pada keinginan membubarkan perkumpulan ulama ini. Sehingga apabial MUI benar-benar bubar, maka pemerintah akan lebih leluasa dalam hal pengambilalihan wewenang pemberian label halal.


Beragam kejadian yang dianggap sebagai gesekan antara ulama dengan pemerintah, seyogyanya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk lebih bijak dalam bersikap, sebab kita masih memerlukan ulama karena sila pertama Pancasila mengakui Tuhan yang Esa. Jangan sampai teorinya sebagai negara yang mengakui Tuhan, namun pada prakteknya justru atheis, hedonisme, dan penghalalan segala menjadi jawaban dari segala permasalahan bangsa. 


Dengan penghormatan setinggi-tingginya tehadap pendapat ulama, tentunya kita akan mampu menepis anggapan masyarakat yang menyebut bahwa secara teori negara kita Pancasila, namun dalam prakteknya PKI tak pernah mati. Memang secara teori, organisasi tersebut telah dibubarkan, namun ajarannya tetap dapat kembali tumbuh subur jika masyarakat negara ini doyan melakukan penghambaan terhadap hedonisme, mentuhankan materi, dan menghalalkan segala cara. Teorinya membenci PKI tapi dalam kesehariannya justru berperilaku seperti PKI, lalu untuk apa menggembar-gemborkan Pancasila? 


Saat sekarang ini, masyarakat sedang dalam kebingungan menginterpretasikan sikap. Misalnya saat melihat tingkah polah negatif organisasi Pemuda Pancasila, maka masyarakat akan cepat mengambil kesimpulan bahwa pancasila adalah sumber keonaran dan keributan. Bahkan yang lebih miris, masyarakat terkadang menyinonimkan Pancasila sebagai PKI hanya karena melihat perilaku sebagian petinggi masyarakat dan wakil rakyat yang katanya pembela pancasila, namun justru berperilaku tidak sesuai norma dan etika. Salah anggapan yang sungguh tragis dan menyedihkan!



Kembali ke pengambilalihan wewenang label halal oleh pemerintah, benarkah MUI dan suara rakyat benar-benar telah didengarkan, ataukah memang benar pemerintah  telah mengambil keputusan sendiri dalam pengambillalihan wewenang pemberian label halal? Entahlah.









 





 

Comments