Cetak Biru Transformasi Digital, Asa Digitalisasi Perbankan Sepenuhnya

Illustrasi nasabah ragu (pic: steemit.com)



Di era digitalisasi sekarang ini semua bank memang telah menjalankan aktivitas digital, namun belum digital sepenuhnya (fully digital)



Sadar tidak kalau tingkat keprofesionalan digital bank di Indonesia belum optimal? Hal itu terbukti pada rendahnya dimensi manajemen risiko dan tatanan institusi di aspek data, teknologi, kolaborasi, dan nasabah.


Oleh karena itu digitalisasi perbankan di tanah air sudah selayaknya harus didukung budaya digital, kapasitas organisasi dan manajemen risiko yang kuat.



Cetak biru perbankan tahan banting


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 26 Oktober lalu meluncurkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan di Jakarta, dengan tujuan mendorong akselerasi transformasi digital perbankan. 


Dengan adanya landasan cetak biru, perbankan nasional diharapkan lebih tahan banting, berdaya saing, dan kontributif mendorong akselerasi transformasi digital.


Lima hal krusial yang patut menjadi perhatian penting dan patut disimak dalam Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan sebagaimana dikutip dari Investor Daily (26/10/2021) yaitu:


  • Kebijakan perlindungan data, transfer data, dan tata kelola data yang bertujuan agar masyarakat makin mempercayai layanan perbankan digital.


  • Adopsi teknologi yang bertanggung jawab


  • Manajemen risiko teknologi informasi yang mencakup keamanan siber bank umum dan alih daya (outsourcing). 


  • Kolaborasi bank dalam ekosistem digital. 


  • Tatanan institusi meliputi dukungan pendanaan, kepemimpinan, desain organisasi, talenta sumber daya manusia, dan budaya. 


Kelima hal penting diatas sangat menarik sebab berorientasi pada konsumen sehingga diharapkan mampu mendorong inovasi produk perbankan.



Keamanan siber


Masifnya serangan siber beberapa waktu terakhir ini pada perbankan ditunjukkan dari banyaknya dana pada rekening tabungan nasabah yang hilang akibat skimming dan sejenisnya. Sedangkan serangan offline dibuktikan dengan raibnya dana nasabah disebabkan kelakuan karyawan bank yang kurang terpercaya.


Disinilah pentingnya keamanan siber(cybersecurity) dan manajemen risiko tekhnologi Informasi (TI) pada perbankan demi memitigasi berbagai risiko tersebut.


Insiden dan serangan siber di sektor perbankan di seluruh dunia setiap tahunnya meningkat. International Monetary Fund (IMF) mencatat estimasi total kerugian rata-rata tahunan mencapai US$ 100 miliar.


Sedangkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengklaim jumlah serangan siber sepanjang Januari hingga Juli 2021 mencapai 741,4 juta serangan. Meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2020, yaitu 495,3 juta serangan.


Kerugian riil  yang dialami nasabah bank  menurut versi otoritas jada keuangan (OJK) sebesar Rp 11,8 miliar, dengan potensi kerugian (potential loss) sebesar Rp 4,5 miliar, dan nilai pemulihan (recovery) Rp 8,2 miliar.


Berdasar laporan Global Cyber Security Index, tingkat keamanan siber di Indonesia dibanding tahun 2018 mengalami peningkatan, menduduki peringkat ke-24 dari 194 negara. Sedangkan secara regional di Asia Pasifik, berada di peringkat ke-6.



Di era digitalisasi sekarang ini semua bank memang telah menjalankan aktivitas digital, namun belum digital sepenuhnya (fully digital). Hal itu disebabkan karena maturity digitalnya perlu pemeriksaan, apalagi Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan baru diterbitkan.


 

Comments