PPKS, Setetes Air di Tengah Gurun Kekerasan Seksual Tersembunyi Kampus

Illustrasi kekerasan seksual (pic: merdeka.com)


Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi perdebatan sengit sebab bunyi klausa dari pasal-pasalnya menimbulkan kesan untuk melegalkan pergaulan bebas alias seks bebas. Kok bisa?



Permendikbud 30/2021 telah menimbulkan pro dan kontra, namun Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim membantah anggapan soal pelegalan seks bebas dalam peraturan tersebut.


Kritik keras akibat adanya kalimat consent atau persetujuan korban pada Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021, yang dalam konteks kekerasan seksual dinilai sebagai bentuk legalisasi perzinaan, perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.


Nadiem membantah hal tersebut dengan menyebut Permendikdbud Ristek 30/2021 hanya mengacu kepada satu isu untuk mencegah kekerasan seksual, yang dalam definisi permendikbudristek adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi seorang karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender yang berakibat penderitaan psikis atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.


Senada dengan Nadiem, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kemendikbud Ristek, Nizam sebagaimana dikutip dari kompas.com  (10/11/2021) membantah consent atau persetujuan adalah melegalkan zina, sebab fokus aturan ini hanya  pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.



Pelegalan Zina?


Bila dilihat secara cermat, memang wajar bila banyak orang beranggapan kalimat consent merujuk pada pelegalan zina alias pergaulan bebas, tetapi dibalik perbedaan persepsi, semuanya kembali kepada kepribadian setiap orang, apakah memang dia seorang yang teguh memegang norma-norma, ataukah justru mengambil kesempatan dalam kesempitan pada aturan PPKS.


Apabila kita hanya berkaca pada pribadi orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, maka tidak akan ada  tindakan pencegahan dan pertolongan bagi korban-korban pelecehan dan perundungan seksual di kampus. PPKS telah lama dinantikan sebab selama ini kekerasan seksual di kampus seakan terabaikan begitu saja. 


Dalam kondisi dunia yang kian bebas seperti sekarang ini, ketika sebagian negara telah melegalkan hubungan sesama jenis, maka hubungan lawan jenis menjadi dianggap lumrah, bahkan terkadang luput dari norma-norma, freesex dianggap sebagai kelumrahan tradisional yang terjadi.


Memang telah ada upaya perlindungan terhadap kekerasan dan perundungan seksual, namun belum tertuju secara khusus untuk warga kampus. Misal adanya perlindungan  bagi anak-anak yang telah ada aturannya dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, sedangkan bagi mereka yang dewasa ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, meskipun ranahnya hanya pencabulan dan pemerkosaan. Sehingga terbitnya PPKS diharapkan sebagai angin segar untuk menjerat penjahat seksual nakal dengan topeng terdidik yang berkeliaran di kampus, entah dalam wujud pendidik ataupun terdidik.


Kekerasan seksual di kampus pastinya bukan kali ini saja, telah lama terjadi, bahkan boleh jadi berpuluh-puluh tahun yang lalu telah ada, namun tak pernah terungkap ke permukaan akibat adanya rasa "ewuh pakewuh". Terselip rasa segan untuk melaporkan, bisa juga malah berimbuh kekhawatiran apabila akan berbalik menjadi bumerang bila melaporkan. Akibatnya kasus ini seperti fenomena gunung es, banyak, bahkan sangat banyak, tapi tak pernah terungkap, hingga terus menerus terjadi, dengan korban-korban berikutnya yang tak tahu harus berbuat apa. Terkungkung semacam tradisi, harus menurut pada yang lebih senior dan berkuasa, menjadikan hal tersebut terus menerus terjadi tanpa ada rasa jera karena sistem kekuasaan yang mengangkangi.


Dengan adanya aturan PPKS diharapkan akan memberi efek jera pada pengangkang kekerasan seksual atas nama kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, sebab dalam PPKS terdapat konsekuensi atau sanksi administratif bagi pelaku. 



Fenomena gunung es kekerasan seksual


Berbagai bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 PPKS di antaranya berupa  tindakan kekerasan seksual yang tidak mendapatkan persetujuan (consent) korban, diskriminasi atau pelecehan berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual, memaksa serta memperdayai korban untuk melakukan aktivitas seksual hingga aborsi.


Terbitnya PPKS boleh jadi sebagai penyelamat akibat terabaikannya batas-batas etika dan norma, sebab saat ini seluruh belahan dunia yang semula mati-matian menolak LGBTQ sebagai satu hal yang dianggap melawan batas kenormalan, namun sekarang telah luntur. Perpaduan sikap hedonisme dan atheisme menimbulkan sebuah aliran pemikiran baru, jika yang dianggap ilegal sudah legal, maka yang dianggap normal yakni antar lawan jenis, meskipun kadang "nabrak" dan ugal-ugalan pastilah masih dianggap wajar-wajar saja.


Kekerasan dan perundungan seksual yang terjadi di kampus-kampus hanyalah fenomena gunung es yang tidak terdeteksi, seandainya terdeteksi pastilah sangat banyak. Akibat tidak adanya aturan jelas yang mengatur, ditambah sikap "ewuh pakewuh" melaporkan, membuat kasus ini seakan tak ada, samar-samar terendus, ada namun tak terdengar, tak ada yang berani menyuarakan, hilang ditelan bumi, akibatnya terus menerus berlanjut. Bahkan jika si korban mencoba berani membagi lukanya melalui media sosial, maka jeratan UU ITE menunggunya, namun jika melapor ke pihak institusi, justru diajak untuk berdamai secara kekeluargaan, padahal sudah jelas terbaca melanggar asas kekeluargaan yang terpenting yakni melindungi dari kekerasan dan perundungan seksual, sehingga terkesan kata kekeluargaan justru dipakai untuk menolerir tindak kekerasan.


Dengan disahkannya PPKS maka para korban kekerasan seksual di kampus.tidak perlu bingung mencari tempat mengadu, sebab bisa langsung mendatangi Satgas yang dimiliki perguruan tinggi. Tim dalam Satgaslah yang akan memproses pengaduan, melakukan investigasi dan berkoordinasi dengan rektorat.


Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai payung hukum untuk melindungi korban di dalam lingkungan kampus, sebab selama sekian waktu terjadi kekosongan hukum untuk menindak pelaku kekerasan seksual di sana.


Kekerasan dan perundungan seksual yang terjadi di lingkungan sivitas akademika dan tenaga pendidikan bukan rahasia umum lagi, bila ditelusuri mendalam akan sangat banyak dijumpai, namun tertutup oleh kepatutan norma dan masih adanya rasa malu untuk melapor. Bahkan jikapun melapor, terkadang tidak ada tindak lanjut, apalagi bila hanya mengambil langkah curhat dengan teman-temannya, terkadang justru disarankan untuk memaafkan karena besarnya resiko,  padahal tindakan pelecehan dan perundungan seksual tidak bisa dibenarkan.


Berbeda dengan si korban yang masih memiliki rasa malu untuk melaporkan, justru rasa malu yang dimiliki telah terabaikan akibat pengaruh globalisasi dan berubahnya pola pikir manusia. Ketidakmampuan mengendalikan rasa malu serta memperturutkan hawa nafsu muncul ke permukaan yang berwujud perilaku perundungan dan kekerasan seksual.



Perguruan Tinggi Wajib Satgas


Dalam Permendikbud Ristek 30/2021 yang  diterbitkan pada 31 Agustus 2021 disebutkan juga ranah kekerasan seksual yang meliputi tindakan secara fisik, verbal, nonfisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi. 


Kekerasan dan pelecehan seksual mustahil bila baru saja terjadi beberapa tahun terakhir ini, sebetulnya telah berlangsung lama, bahkan bisa jadi berpuluh tahun lalu, namun baru terungkap beberapa waktu terakhir karena faktor nekat dan keberanian mengungkap, ditambah dengan telah diakuinya hak asasi manusia.


Kini para wanita yang kerap menjadi korban pelecehan dan perundungan telah berani blak-blakan buka suara mengungkap, apalagi ditunjang dengan kemajuan tekhnologi yang makin memudahkan penyebaran informasi. Bahkan bukan hal mengejutkan lagi jika korban pelecehan bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki, hal ini menunjukkan peningkatan kasus penyuka sesama jenis karena ketidakmampuan lagi mengendalikan hawa nafsu dan rasa malu.


Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30/2021, mengharuskan perguruan tinggi memilki Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang akan memimpin edukasi tentang pencegahan, menangani semua laporan, hingga melakukan pemantauan dan evaluasi terkait kasus kekerasan seksual dalam kampus. Satgas PPKS nantinya akan berasal dari berbagai macam kompenen sivitas akademika, seperti mahasiswa, dosen dan warga kampus lainnya. 




Dengan kewenangan berkolaborasi dengan pihak eksternal dan internal  maka diharapkan tidak terjadi lagi kekerasan dan perundungan seksual di kampus, tidak akan ada lagi korban-korban yang terabaikan dan menutup diri karena mengkhawatirkan resiko yang dhadapi. Kedepannya akan diupayakan pencegahan hal-hal kecil yang bisa merambat ke resiko besar seperti bimbingan skripsi dilakukan di rumah, ataupun di ruang tertutup pada malam hari. 



Comments