Konflik 7 Oktober: 44.786 Palestina Tewas, Mau Berapa Lagi?
Bocah Palestina tewas dibombardir Israel (pic: thetimes.com) |
Tak dapat dipungkiri bila negara penjajah yang paling lama bercokol dan selalu mendapat perlawanan hingga saat ini adalah Israel. Meski Negara Zionis ini menguasai Palestina setelah memperoleh kemenangan bersama sekutu-sekutunya saat Perang Arab pada 1967. Toh kenyataannya, Israel telah merambah Palestina, nun jauh saat banyak etnis Yahudi mengalami Holocaust di masa silam.
Seperti bagaimanapun sejarah Israel terbentuk. Tetapi andai saat Holocaust merajalela, pintu rumah negara Palestina tak terbuka, entah bagaimana nasib mayoritas warga Yahudi tersebut. Kala itu, banyak warga Palestina yang membantu dan melindungi warga Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust pada 1930-1940an.
Namun setelahnya, hubungan antara Israel dan Palestina memburuk, dan bertambah parah seusai Perang Dunia II. Intensnya gerakan Zionis yang ingin membentuk negara Yahudi membuat Israel kian semena-mena terhadap bangsa Palestina yang telah bersikap budiman dan dermawan.
Akibatnya, Palestina mengadakan banyak perlawanan, hingga melahirkan Hamas. Membuahkan dendam bom waktu yang meledak di 7 Oktober 2023. Membuat Israel melakukan serangan balik hingga menewaskan 44.786 warga Palestina (AFP, 11 Desember 2024.)
Flashback 7 Oktober
Sejak peristiwa 7 Oktober, dendam Israel seakan tak berkesudahan. Kecamuk kebencian, sakit hati, dan rasa malu berkelindan. Sebagai negara yang dianggap super power, tiba-tiba bobol pertahanannya hanya oleh kekuatan pasukan perlawanan yang dianggap ecek-ecek, sungguh merupakan aib.
Tetapi, mata dunia yang telah terbuka tak menimpakan kesalahan pada Hamas begitu saja. Sebab alasan munculnya gerakan perlawanan adalah diakibatkan penindasan oleh Israel itu sendiri.
Pemenjaraan terhadap warga Palestina yang berani sedikit bersuara atau melawan, bahkan tak tanggung-tanggung, terhadap anak-anak dan wanita juga. Keberanian dalam melakukan protes atau perlawanan, baik bentuk verbal atau fisik, jelas mengganggu keberlangsungan imperialisme. Entah telah berapa banyak warga Palestina yang berada dalam penjara negara Zionis.
Peristiwa 7 Oktober jelas menjatuhkan harga diri Israel di titik terendah. Negara super kuat dari segi apapun, tiba-tiba harus kebobolan oleh pejuang perlawanan yang dianggap primitif, baik dari segi intelijen, persenjataan, apalagi tekhnologi.
Akibat hal tersebut, bara Zionisme terbakar tanpa kendali. Bisa ditebak, berimbas pada serangan balasan yang dilakukan terhadap warga Palestina hingga diluar batas perikemanusiaan.
Dengan memahami keadaan tersebut, maka dunia dapat melihat perseteruan antar dua negara secara netral dan adil, tanpa dipengaruhi sikap rasialisme, atau keberpihakan terhadap golongan tertentu.
Hingga minggu-minggu terakhir ini, angka kematian warga Palestina di Gaza yang menjadi korban bombardir Israel telah menyentuh 44.786 jiwa (AFP, 11 Desember 2024) Tapi, tampaknya Israel dengan cuek bebek tetap melakukan pembantaian terselubung dengan alibi memburu anggota Hamas. Nyawa seakan tak ada artinya lagi di pihak Palestina.
Adilkah perlakuan Israel ini? Sebab tampaknya negara zionis melihat seluruh komponen warga Palestina, terutama yang di Jalur Gaza, sebagai bagian dari Hamas. Baik pria dewasa, wanita, anak-anak, bahkan bayi-bayi tak berdosa sekalipun.
Sedemikian sakit hatinya Israel dengan insiden 7 Oktober, yang mengakibatkan solidaritas zionisme pemicu sikap tak adil dengan membabi-buta melakukan genosida.
Israel selalu menolak disebut melakukan genosida, padahal dunia tahu sasaran penyerangan yang dilakukan Israel adalah mayoritas warga sipil. Secara "gebyah uyah" dan membabi-buta semua diserang, hingga pengungsi yang secara hukum perang internasional tak boleh diusik, toh dibombardir juga. Demi alibi memburu Hamas, manusiawikah itu?
Mari berpikir secara rasionil dan adil, masih adakah yang berani membela Palestina? Bila sikap membela bangsa tertindas, lalu mengecam di penindas, justru disebut antisemit? Hingga kemudian hak veto menjadi lebih berkuasa dari hak asasi manusia. Masih adakah keadilan di dunia ini terhadap sekelompok bangsa yang ingin melepaskan diri dari penjajahan?
Penjajahan sangat berkuasa dalam beragam hal, tekhnologi, persenjataan, diplomasi, propaganda. Bila sudah demikian, maka apa yang bisa dilakukan bangsa terjajah tertindas yang hidup dibawah garis kemiskinan dan kalah dalam hal apapun?
Aroma imperialisme itu ternyata masih ada, bercokol diseluruh wilayah global. Bila negara merdeka saja dikangkangi, apatah lagi negara yang tak diakui kemerdekaannya. Benarkah masih ada sikap keunggulan suatu ras dibanding ras lainnya, lalu menguasai dan merajai?
Ketika telah memahami semua itu, batin kita jadi terusik. Sudah seharusnya pembelaan bukan karena sesama ras. Sikap adil adalah dengan tidak memandang suku, agama, ras dan antar golongan. Sikap eksklusivisme, rasisme, ekstrimisme yang berlebihan sangat berbahaya, sebab akan melahirkan kebencian. Kebencian mendalam tidak hanya menghancurkan kedamaian dunia, tapi juga dapat memicu sikap genosida berlebihan.
Proyek pengendalian tanah jajahan
Sejak peristiwa 7 Oktober, Israel senantiasa memposisikan negaranya sebagai korban. Mereka selalu bertitik tolak pada tanggal tersebut tanpa flashback ke belakang tentang pemicu kejadian. Sekian dekade Palestina menjadi bulan-bulanan Israel, wilayah diduduki, tanah dan properti dirampas, serta anak-anak dipenjarakan, namun Palestina yang miskin tak pernah menyebut mereka sebagai korban. Mereka hanya diam, karena kalah dalam hal diplomasi, tekhnologi, ekonomi dan persenjataan.
Banding terbalik dengan Israel. Negara Zionis ini selalu sibuk berdiplomasi, propaganda, dengan segala macam taktik dan strategi, mampu menghipnotis wilayah global untuk manggut-manggut. Bahkan raksasa kekuatan ekonominya mampu membuat Google dan Amazon setuju dengan proyek Nimbus, sehingga mudah memata-matai warga Palestina.
Perlakuan Israel yang betul-betul menunjukkan sebagai penjajah sejati. Dibuktikan dengan pengawasan menyeluruh terhadap warga Palestina, hingga bekerjasama dengan Google dan Amazon dalam proyek Nimbus, demi memasok layanan komputasi awan kepada Israel dan militernya. Yang tentu saja, memiliki resiko kepada warga Palestina.
Menurut Cloud William (Billy) Van Der Laar, ahli perangkat lunak Google, kode Nimbus untuk memata-matai warga Palestina tersebut dapat digunakan oleh militer Israel untuk melakukan genosida dengan dukungan Artificial Intelligence (AI), sebagaimana dikutip dari tempo.co (18/04/2024).
Meski kepada Majalah Time, Google berkilah bahwa proyek hanya berkaitan dengan kementerian pemerintah Israel, seperti keuangan, kesehatan, transportasi dan pendidikan. Tapi toh, proyek dianggap dapat membantu Israel melanjutkan sistem penindasan, dominasi, dan segregasi terhadap rakyat Palestina. Apalagi setelah peristiwa 7 Oktober, hampir 45 ribu warga Palestina tewas dibombardir Israel.
Bahkan lebih mirisnya lagi, Israel juga pernah menyebarkan kampanye kotor melalui Google Ads terhadap Badan Pengungsi PBB untuk Palestina (UNRWA) sebagaimana dikutip dari antaranews.com (01/09/2024).
Bahkan saat International Criminal Court (ICC) menyatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai buronan, toh ia masih mampu melenggang bebas. Meskipun banyak negara sepakat akan menangkap bila memasuki negaranya, toh semua terdengar hanya basa-basi semata. Tak segarang seperti saat Presiden Rusia, Vladimir Putin, dinyatakan sebagai buronan karena Perang Ukraina, padahal korban jiwa yang ditimbulkan tak segila di Jalur Gaza. Dapat dipahami bahwa betapa persekutuan barat sedemikian sangat kuat berkelindan.
Puluhan karyawan Google yang merupakan lulusan kamp pelatihan pengkodean Gaza Sky Geegs tahun 2020 dipecat karena berani melakukan protes atas project Nimbus. Mereka menganggap proyek ini sarat sikap apartheid terhadap warga Palestina. Meskipun dipecat tapi tampaknya para karyawan itu justru bangga sebab menolak terlibat genosida, sebagaimana dikutip dari kompas.com (20/04/2024)
Memang harus diakui ketangguhan bangsa Palestina dibanding bangsa-bangsa terjajah lainnya. Tanpa ketangguhan, tentu saja nasib mereka tidak akan beda jauh, dengan suku Indian yang tak memiliki Amerika lagi, atau Aborigin yang tak memiliki Australianya, atau bahkan Maori yang bagai tontonan di tanah leluhurnya sendiri.
Proyek pengendalian tanah dan rakyat jajahan memang sering di luar batas kemanusiaan. Dengan dalih pengaturan, kerapian, ketertiban tanah jajahan, maka bangsa terjajah harus tunduk patuh.
Sebagaimana saat ini kita melihat keteraturan dan modernisasi di Amerika, namun jangan lupakan, bahwa sejarah mencatat perlawanan suku Indian yang gigih. Bukan hanya resiko pemenjaraan, pembantaian, tapi juga pelecehan serta berbagai perlakuan tak manusiawi lainnya. Perlakuan serupa juga terjadi di negara jajahan lainnya. Tak ada kata manis, semua pahit serta menimbulkan trauma. Dan tentu saja, yang terjajah harus pasrah dijajah.
Di zaman yang telah modern, ternyata masih berlangsung sebuah penjajahan. Tanpa kegigihan perlawanan, maka dunia tidak akan menyadari sebuah imperialisme yang abadi.
Imperialisme akan terkuak ketika bangsa terjajah berani melakukan perlawanan tanpa henti. Jelas menunjukkan sebuah bangsa yang memiliki harga diri, nasionalisme, serta patriotisme tinggi terhadap negara dan bangsanya. Bila tidak, maka mereka akan tenggelam, tunduk patuh dan akhirnya melebur bersama negara penjajahnya.
Akibat perlawanan yang tiada henti, akhirnya mata dunia terbuka lebar. Bahwa ternyata masih ada bangsa terjajah yang masih gigih melakukan perlawananan hingga detik ini. Bangsa terjajah itu bernama Palestina!
Bila dikaitkan dengan nurani kita sebagai bangsa yang berhasil lepas dari belenggu penjajahan. Tentu saja imperialisme jelas bertentangan dengan Pembukaan UUD alinea pertama, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Jelas menyiratkan, bahwa penjajahan telah melanggar hak asasi sebuah bangsa untuk memerdekakan diri.
Apalagi parlemen Israel beberapa waktu lalu menentang resolusi dua negara. Jelas kian memupuskan harapan Palestina untuk merdeka, bagai panggang kian jauh dari api.
Kini dunia memahami. Mengapa Israel sampai saat ini tetap betah bercokol di Palestina, mengapa tak ada yang berani terang-terangan menghentikan genosida di Jalur Gaza, mengapa penyerangan terus tak berhenti di Tepi Barat.
Air mata dan duka terdalam atas tragisnya kelaparan serta kematian bocah-bocah Palestina yang tak berdosa. Masihkah nurani dunia terketuk untuk menyelamatkan mereka? Entah.
Comments
Post a Comment