Dilema Bekerja Ibu Pekerja: Diam Ikhlas, Nangis, atau Ngamuk?

Ilustrasi dilema Ibu Pekerja (pic: dailymail.co.uk)


Ternyata menikah tidak cukup hanya bermodalkan cinta saja sebab seiring berjalannya waktu akan lahir anak-anak yang pastinya memerlukan sandang, pangan, papan, bahkan kebutuhan hidup lainnya


Bukan hal mudah bagi seorang wanita, di satu sisi mengurus rumah dan anak-anak,  sementara di sisi lain juga harus bekerja. Meskipun selintas bukan kewajibannya untuk mencari nafkah, namun perkembangan dunia yang lebih membuka kesempatan luas pada wanita untuk bekerja, membuat pria kalah bersaing. Akibatnya bukan tidak mungkin lagi, jika kemudian kaum hawalah yang banting tulang memenuhi kebutuhan keluarga.


Terkadang ada sebagian wanita  yang besar kepala dan sok kuasa karena menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga, sehingga kadang keharusan menghormati pasangan  menjadi luntur dan terabaikan. Akibatnya, pernikahan yang pada awalnya diharapkan menjadi bahtera kehidupan bahagia, malah justru menjadi bumerang kecongkakan seorang istri.


Menang tak semua wanita besar kepala dengan perannya mencari nafkah, namun memang banyak dijumpai  keadaan yang seperti itu, mengakibatkan rumah tangga yang sebelumnya indah menjadi membara bagai neraka. Bahkan terkadang hal itu tidak hanya dijumpai pada wanita bekerja, sebab ada juga wanita yang tak bekerja namun menunjukkan sikap arogan pada suaminya, bahkan berujung perselingkuhan. Seperti yang ramai diberitakan beberapa waktu lalu, saat seorang pengusaha wajan mati mengenaskan di tangan selingkuhan istrinya, yang tak lain karyawannya sendiri. Istrinya yang tak bekerja justru menjadi dalang pembunuhan karena terpikat 'berondong'.


Namun tak semua wanita memiliki kepribadian seperti itu, banyak juga wanita dengan kesetiaan tinggi rela bekerja  membanting tulang demi menafkahi anak-anaknya, akibat kesempatan bekerja tak berpihak pada suaminya. Si Ibu bekerja keras dengan upah yang tak seberapa, bahkan sepulang ke rumah pun masih harus menangani pekerjaan tumah tangga lainnya. Tak ada keluhan, tak ada penyesalan, diam ikhlas menjalani hidup. 



Ibu Pekerja ikhlas yang langka


Wanita-wanita ikhlas yang sangat langka, sebuah keberuntungan bagi pria apabila bisa menjadi pendamping hidupnya. Segala sesuatu dilakukan demi kehidupan akhiratnya, ikhlas melakukan karena ia menganggap kehidupan saat ini hanyalah kehidupan duniawi, jika pun miskin adalah miskin duniawi, berbakti dan ketaatan pada suami adalah yang utama, sebab ia berpikir bahwa tanggung jawab suaminya kelak di akhirat lebih berat, selain mempertanggungjawabkan perbuatannnya sendiri di hadapan Tuhan, juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan istri dan anak-anaknya.


Kta pasti kerap menjumpai wanita dengan tipe ikhlas seperti ini, kadang mereka bukan pekerja tetap sebuah perusahaan, ataupun sekretaris perusahaan, apalagi wanita dengan penghasilan lebih yang dapat membayar pembantu atau baby sitter untuk mengurus anak-anaknya di rumah. Mereka hanya bekerja sebagai penjual susu kedelai dengan sepeda tuanya, ataupun penjaja kue keliling kampung. Konon kabarnya, justru perempuan-perempuan seperti ini yang lebih ikhlas menjalani hidupnya. 


Benarkah demikian? Entahlah, tapi kenyataan di lapangan kita jarang menjumpai wanita yang ikhlas menjalani hidupnya dengan bekerja, tanpa ada berbagai omelan keluar dari mulutnya. Jika kita menjumpai seorang Ibu Pekerja, dengan jabatan penting, uang berlimpah, namun tetap menjaga kehormatan suaminya, sungguh wanita itu telah mempersiapkan dengan matang kehidupan akhiratnya kelak.


Memang bukan hal mudah bagi seorang wanita mapan, jika mendapatkan pasangan hidup yang tidak mapan sehingga terpaksa harus bekerja, maka beribu kesabaran akan menjadi gudang pahala. Namun bukan berarti wanita dengan kehidupan mapan dan berlimpah materi karena memperoleh suami berlimpah harta tidak mendapat pahala, sebab ujian kesabaran dan keikhlasan selalu ada, entah sikap suami yang sangat kasar, arogan, atau bahkan doyan permpuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa bekerja atau pun tidak, setiap wanita memiliki liku hidupnya sendiri. 


Jadi bagi Anda wanita pekerja, tidak perlu pesimis dan merasa menjadi wanita dengan nasib paling buruk sedunia, sebab kesetiaan serta sikap pengertian pasangan hidup Anda adalah sebuah anugerah keindahan terbesar dari Tuhan.



Faktor penyebab wanita harus bekerja


Seorang wanita pekerja,setelah menikah dan menjadi Ibu karena memiliki anak, tetap harus bekerja, biasanya faktor penyebab wanita bekerja kembali setelah memliki anak, diantaranya adalah:


  • Kebutuhan hidup yang mendesak dan tidak bisa ditunda
  • Penghasilan suami yang tidak mencukupi
  • Suami yang tidak bekerja
  • Telah berada di puncak karir
  • Bekerja lebih menarik daripada di rumah saja


Bagi wanita pekerja yang belum memiliki momongan, mungkin bekeja tak menjadi masalah besar, namun beda masalahnya ketika telah lahir anak-anak. Apalagi ketika anak baru satu, masih kecil, akan terasa berat untuk memulai bekerja kembali.

Memang saat melahirkan, wanita pekerja memiliki hak cuti yang berhak dinikmati, tapi saat cuti telah habis, kewajiban kembali bekerja memanggil, saat itulah terasa berat meninggalkan anak. Mengapa hal ini bisa terjadi?


Wanita yang baru melahirkan terbiasa dekat dengan buah hatinya, saat harus meninggalkan, maka akan berkecamuk segala macam rasa kekhawatiran tentang nasib anak, khawatir terjadi sesuatu, khawatir hilang, dan segala macam kekhawatiran lain. Akibatnya kaki berat melangkah.


Kecemasan berganda sebab harus meninggalkan anak pada orang yang dirasa  kurang bisa dipercaya, atau pada sebuah tempat penitipan yang jauh dari rasa aman.

Cemas kalau  anak akan disakiti, kelaparan, dilukai oleh pembantu, sehingga memicu kegelisahan saat meninggalkannnya.


Berbahagialah Anda para Ibu Pekerja, jika saat berangkat bekerja meninggalkan anak bersama dengan orang yang bisa dipercayai, dalam tempat dan kondisi lingkungan yang aman, sehingga saat bekerja, kondisi batin Anda tenang, maka hasil kerjapun optimal.



Dilema Ibu Pekerja Sebatangkara


Berikut cerita seorang Ibu Pekerja yang sempat berkonsultasi pada saya beberapa waktu lalu. Saat usai menjalani operasi besar di sebuah Rumah Sakit, dia dihadapkan pada dilema sulit, harus bekerja kembali, sementara kondisi tubuhnya belum pulih. Namun ia sudah harus dihadapkan kondisi kebingungan dimana akan menitipkan anaknya, sementara orangtuamya sudah tiada lagi. 


Ingin menitipkan ke tempat penitipan, rasa tak mungkin sebab uangnya telah habis terkuras untuk biaya operasi. Tak ada pilihan lain selain memnta bantuan pada keluarga suaminya untuk menjagakan anak saat bekerja. Tapi ketulusan dan kebaikan istri yang patuh dan taat hingga bersedia mengorbankan kebahagiaannya mengikuti langkah suaminya ke tanah kelahirannya justru tak diimbangi keadilan sikap yang baik dari keluarga suaminya. Mereka menolak secara halus untuk menjagakan anaknya dengan seribu alasan yang dibuat-buat.


Ibu pekerja itu hanya bisa sedih, menangis, dan segala rasa berkecamuk. Ikatan pernikahan telah memaksanya jauh dari keluarganya sendiri, hingga harus pasrah pada nasib, bekerja kembali lebih keras agar mendapatkan uang lebih banyak demi dapat membayar pembantu yang akan menjaga dan merawat anaknya.


Sungguh sebuah kisah yang pahit, sebab kesetiaan dan ketulusan berkorban tak disertai keadilan sikap dari pihak yang dicintai. Kita serng menjumpai keegoisan seperti itu, keluarga pasangan yang selalu memaksa saat memerlukan bantuan materiil ataupun moril, namun di lain waktu saat diperlukan bantuannya, justru menolak mentah-mentah dan menghindar.


Dilema Ibu Pekerja di atas memang sangat mengharu biru akibat kondisi hidupnya sangat minus, Usahanya bersikap baik dan ramah pada pembantu, demi agar pembantu bersikap serupa pada kepada anaknya kerap tak membuahkan hasil. Hingga suatu hari saat tak sengaja pulang ke rumah mengambil berkas yang ketinggalan, ia menjumpai pembantu melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Dalam keadaan shock, ia memberhentikan pembantu yang pintar bersandiwara itu. 


Sungguh tak mudah memperoleh pembantu kembali di saat mendesak dan dibutuhkan seperti itu, hingga dipilih cara menitipkannya pada sebuah tempat penitipan yang sekaligus sekolah untuk anak-anak balita, namun harus melalui beragam tes terlebih dahulu.


Tak ada pilihan lain, Ibu Pekerja itu dihadapkan padai dilema antara harus bekerja atau menitipkan anak, unuk kemudian masih dibenturkan dengan keharusan anak menjalani beragam tes sebelum dititipkan.


Dalam kondisi shock dan kebingungan, dengan kondisi keuangan yang pas-pasan karena membayar pembantu jahat serta membayar biaya tes penitipan, sehingga tak ada pilihan lagi, sebab hanya itu satu-satunya tempat penitipan yang searah dengan tempatnya bekerja. Akhirnya meski harus menyita waktunya bekerja maka beragam tes pun dijalani oleh anaknya.


Meskipun telah menguras uang demi membayar beragam tes, ternyata hal itu tidak mudah. Anak yang  telah sekian waktu mendapat kekerasan fisk dan verbal dari pembantu masih mengalami trauma. Sehingga dapat ditebak kalau tempat penitipan itu menolaknya mentah-mentah, dengan alasan gagal tes psikologis sebab menangis terus dan tak bisa adaptif dengan balita lain. 


Ibu Pekerja kembali shock untuk kedua kalinya, hingga pedih luka  bekas operasinya terdahulu tak dirasakannya..Ibu itu tak menyangka ada tempat penitipan yang tidak berempati dengan trauma anak. Bahkan tak ambil pusing dengan kondisi Ibu Pekerja yang kesulitan mencari tempat penitipan yang aman untuk anaknya, sungguh tempat penitipan yang  angkuh dan bersikap dingin. Penolakan dengan alasan tak lolos tes psikologis, padahal kalau kita berkaca pada kasusnya, justru terlihat kalau tempat penitipan tersebut yang layak tidak lolos tes psikologi, sebab tak memahami kondisi psikologis seorang anak.


Ibu pekerja itu kembali jungkir balik kesana kemari mencari tempat untuk menitipkan anaknya, namun tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan tertatih menahan pedihnya luka bekas operasi, Ibu Pekerja itu bekerja sambil menggendong anaknya, bukan hal mudah, namun terpaksa harus dilakukannya. Ia tak memiliki siapapun yang memahami keluh kesahnya, menanggung beban sendiri, menyeka air mata. Keyakinannya yang kuat pada Tuhan sebagai tempat kembali membuatnya diam dan tak banyak mengeluh, meskipun bisa ditebak beratnya beban kepedihan hatinya.


Mungkin ada Ibu-ibu Pekerja lain yang bernasib seperti cerita di atas,, namun terkadang tak terungkap ke permukaan karena mereka memendam masalahnya sendiri, menutupinya penderitaannya, agar dunia tak tahu, demi kehormatan suaminya agar tetap terjaga.


Saat seorang wanita menikah, sementara di sisi lain ia juga harus bekerja, maka di saat itulah ia harus siap dengan beragam resiko yang harus dihadapinya sendiri, sebab patriarkhi di negara kita sedemikian  mendarahdaging.


Memang tak bisa menyalahkan sistem patriarkhi sepenuhnya, sebab di satu sisi terdapat wanita-wanita baik yang pendiam dan ikhlas bekerja, sementara disisi lain ada juga wanita-wanita pekerja dengan beragam keluhan dan kecerewetan dari mulutnya yang pedas karena selalu melukai hati suaminya.


Diperlukan sebuah solusi yang mencerminkan keadilan terhadap wanita pekerja yang  diam dan ikhlas  menjaga kehormatan suami, sudah seharusnya hidupnya tak dipersulit, sebab setelah lelah membantu mencari nafkah, separuh hidupnya lagi harus mengurus anak-anak dan suaminya, hingga kadang waktu untuk diri sendiri tak terpikirkan lagi.


Bekerja tidak akan menjadi sebuah dilema bagi wanita, jika ia menjalaninya dengan cinta dan keikhlasan. Disaat ia dituntut harus bekerja karena penghasilan suaminya tak cukup untuk lehidupan anak-anaknya, maka kedewasaan sikap akan muncul di saat menghadapi dilema seperti di atas. Ternyata menikah tidak cukup hanya bermodalkan cinta saja, sebab seiring berjalannya waktu, akan lahir anak-anak yang pastinya memerlukan sandang, pangan, papan, bahkan kebutuhan hidup lainnya



Jika Anda seorang Ibu Pekerja, mana yang Anda pilih, tetap bekerja atau lebih baik merawat anak di rumah saja? Segala pilihan adalah jawaban untuk menentukan nasib masa depan Anda sendiri.


Mari bijak memilih, Salam!

Comments