56 Pegawai Pecatan KPK Ditarik Menjadi ASN Polri, Benarkah Sebuah Solusi?

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (pic: kompas.com)


Rencana perekrutan para pegawai dan penyidik pecatan KPK ke Polri memang secara kasat mata membuat mereka akan mendapatkan pekerjaan kembali dan diangkat menjadi ASN, namun inti masalahnya bukan karena mencari sesuap nasi, sebab integritas dan kepiawaian mereka diperlukan dalam menangani korupsi mega besar di negeri ini



Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keinginannya untuk menarik 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri di Bareskrim Mabes Polri. Menurutnya para pegawai dan penyidik yang dipecat dari KPK tersebut memiliki pengalaman yang dibutuhkan Polri untuk memperkuat divisi penanganan korupsi, dan hal itu telah disetujui Presiden Joko Widodo.


Benarkah dengan Polri berlapang dada menerima 56 karyawan KPK yang dipecat sebagai sebuah penyelesaian? Meskipun ketulusan Kapolri patut diapresiasi, namun saya cenderung berpikir hal itu bukan penyelesaian masalah yang baik, sebab lebih mirip dengan pengusiran secara halus para pegawai berintegritas ke lembaga lain. Padahal sudah jelas kompeten berjuang dalam lembaganya sendiri, lalu hanya akibat tidak lolos tes TWK, yang sejatinya tes ini pun dinilai banyak pihak maladministrasi, tiba-tiba wajib pecat, hingga lembaga lain turun tangan membantu, sementara lembaganya sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Terbukti dengan sikap KPK yang menyambut baik usulan Kapolri untuk merekrut pegawai pecatannya. Ajaibnya, 56 pegawai tersebut tidak lulus, tapi bisa dipindahkan ke Polri, bahkan diangkat menjadi ASN, hal ini menunjukkan bahwa Institusi Polri sakti mandraguna.



Institusi Polri sakti mandraguna


Tampaknya Institusi Polri memang sakti mandraguna dalam menyelamatkan nasib para pegawai pecatan KPK, sebab Presiden yang biasanya diam dan tak bereaksi, secara mengejutkan tiba-tiba menunjukkan persetujuannya jika 56 pegawai dan penyidik tersebut ditempatkan di institusi tersebut. 


Benarkah hal ini sebagai sebuah penyelesaian yang adil? 


Penarikan para pegawai dan penyidik pecatan KPK ke Polri, memang secara kasat mata membuat mereka akan mendapatkan pekerjaan kembali dan diangkat menjadi ASN, namun inti masalahnya bukan karena mencari sesuap nasi, sebab integritas dan kepiawaian mereka diperlukan dalam menangani korupsi mega besar di negeri ini.


Kabarnya mereka ditarik ke Polri adalah juga untuk menangani masalah korupsi, tapi sepertinya kasus yang nantinya mereka tangani mungkin tidak berskala besar seperti saat di KPK. Sehingga mereka terkesan diletakkan dalam lingkup kecil, padahal ibarat pendekar mereka telah piawai menggunakan samurai, namun kini harus memakai pisau dapur.


Kita memahami ketulusan hati Kapolri dalam membantu mengatasi nasib 56 pegawai dan penyidik KPK yang terombang-ambing, namun jika lasan mereka ditarik ke institusi Polri demi membantu menangani kasus korupsi, toh sebelumnya ada beberapa dari mereka yang sebelum bertugas di KPK sudah pernah bergabung di Kepolisian, seperti penyidik Novel Baswedan, hingga kemudian terpilih untuk bertugas di KPK. Hal ini menunjukkan bahwa kasus korupsi yang ditangani di KPK lebih berskala luas dibanding di Kepolisian, sebab bukan lingkup lembaga lagi, namun lingkup negara dengan cakupan super mega corruption.


Masih lekat dalam ingatan tentang Novel Baswedan. Sebagai salah satu penyidik senior KPK yang dibredel melalui tes TWK, sebelumnya telah didera kasus hingga mengorbankan salah satu penglihatannya demi lembaga anti rasuah. Kini setelah kasusnya diadili dengan tanpa bisa menguak aktor intelektual utama, Novel berakhir mengenaskan dengan pemecatan dirinya akibat tak lolos TWK.



Ada apa 30 September?


Gaung mahasiswa saat demonstrasi demi menyuarakan nasib 56 pegawai KPK, bahkan dengan lantang meneriakkan pemecatan Firli Bahuri dari ketua KPK karena banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan serta keputusan-keputusannya yang dinilai maladministrasi dan malhukum. Namun suara para mahasiswa saat unjuk rasa itu tampaknya hanya tinggal suara, sebab seakan tak terlalu digubris presiden, sehingga terkesan presiden cuek, padahal ketegasan sikap kepala negara sangat diperlukan demi menyelamatkan nasib pegawai KPK yang dipecat.


Meskipun Komnas HAM dan Ombudsman sudah sepakat menyatakan tes TWK melanggar hak asasi manusia, cacat prosedur, dan maladministrasi, namun ajaibnya keputusan itu tetap melenggang tanpa halangan.


Bahkan seandainya 56 pegawai dan pecatan KPK telah resmi diterima bekerja di institusi kepolisian, tetap saja ada hak mereka yang dilanggar oleh bekas lembaganya, yaitu hak mengetahui penyebab tidak lolos tes TWK, sebab sudah jelas tes itu hanya sebuah prosedur peralihan status, bukan tes seperti yang dijalani para CPNS dengan resiko digugurkan bila gagal. Sebuah tes yang sudah pasti berbeda namun disamaratakan, hingga Komnas HAM dan Ombudsman menengarainya melanggar HAM, cacat prosedur, dan maladministrasi. 


Yang menjadi tanda tanya besar adalah tanggal pemberhentian 56 pegawai dan penyidik KPK yang dimajukan ke 30 September, hingga resminya 1 Oktober. Ada tujuan apalagi di tanggal tersebut? Jangan-jangan muncul istilah seperti saat mereka dinyatakan tidak lolos TWK di hari kelahiran Pancasila 1 Juni tempo lalu dengan istilah tidak pancasilais?


Patut disayangkan jika Pancasila menjadi kambing hitam dari sebuah keputusan yang dinilai banyak pihak sebagai melanggar HAM, cacat prosedur, dan maladministrasi. Tak seharusnya Pancasila diseret-seret di tengah kasus tes TWK yang carut marut, agar tak menimbulkan kesan berlindung di balik Pancasila. 



Sebutan tak pancasilais yang kemudian dikaitkan dengan segala hal yang berbau Pancasila saat tanggal-tanggal peringatannya, sungguh sangat melukai kemurnian Pancasila itu sendiri. Pancasila yang tak tahu apa-apa jadi dibenci dimana-mana, menimbulkan kesalahpahaman dan antipati. Tak berbeda jauh seperti berbagai tindakan tak terpuji yang dilakukan oleh ormas yang bernama Pemuda Pancasila akhir-akhir ini, yang banyak menyita perhatian publik akibat tindakan penyerbuan ke beberapa organisasi kemasyarakatan lain, hingga menimbulkan peristiwa anarkhis. 


Sudah saatnya berhenti membuat Pancasila ternoda. Stop mengkambinghitamkan Pancasila!

Comments