Sopan Santun Kenegaraan KPK dalam Kasus TWK

Komisi Pemberantasan Korupsi (pic: kompas.com)


Presiden diharapkan tidak hanya bersandar pada laporan resmi yang bersumber pada informasi-informasi publik sebab berpotensi disinformatif dan dimanipulatif oleh pihak-pihak tertentu



Kaget, sedih, tidak menyangka, bengong, shock, dan tak habis pikir. Kenapa presiden belum bertindak apa-apa saat 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) akan diberhentikan pada 1 Oktober mendatang?


Diantara 56 pegawai itu, terdapat penyidik Novel Baswedan, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK. Sedangkan enam pegawai meskipun diberi kesempatan mengikuti diklat bela negara dan wawasan kebangsaan, namun demi kesetiakawanan tidak mengikutinya.



Menunggu reaksi Presiden


Dahulu saat pertama dinyatakan tidak lolos TWK, para pegawai KPK menginginkan adanya reaksi perlindungan dan pembelaan dari kepala negara, namun presiden tak bereaksi. Hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berupaya membantu meski hasilnya nihil. Bahkan usaha terakhir Ombudsman RI, sekali lagi presiden tetap tak bereaksi, sunyi senyap tak membuahkan hasil.


Hal itulah yang saat ini menjadi alasan kuat bagi Komnas HAM dan Ombudsman untuk segera bertemu presiden demi membahas nasib 56 pegawai KPK agar tidak dipecat pada 30 September mendatang. Sebuah pertemuan yang diharapkan tidak hanya sekadar di level pembantu presiden, sebagaimana dikutip dari detik.com (19/9/2021).



Sopan santun kenegaraan kasus TWK


Ada semacam misteri panjang yang sulit terkuak  dalam kasus keharusan memecat pegawai KPK yang tak lolos tes TWK. Seakan tak mudah di bela, tak bisa diusik, sehingga mau tak mau, rela tak rela, harus rela menjalani pemecatan. Seperti pemaksaan yang betul-betul tidak bisa diganggu gugat, KPK kokoh berdiri menantang dibalik keinginannya tanpa siapapun bisa merubahnya, meskipun itu Komnas Ham ataupun Ombudsman. Padahal Ombudsman telah merekomendasikan adanya maladministrasi dalam proses TWK KPK. Sehingga kesan yang bisa ditangkap, KPK adalah lembaga super power yang sulit diajak musyawarah mufakat sebagai ciri khas asli demokrasi Pancasila.


Ada apa di balik keputusan kuat KPK untuk tetap ngotot bin ngeyel memecat anak buahnya sendiri? Benarkah hanya demi alasan tak lolos TWK, atau adakah alasan lain di balik semua itu yang menjadi misteri tanda tanya hingga saat ini?  Sebab bukan rahasia umum jika dari sekian banyak pegawai KPK yang mengalami pemecatan adalah sosok-sosok berdedikasi tinggi, berjiwa pemberani, serta sukses membongkar kasus-kasus korupsi kelas kakap.


Jika hanya alasan tidak lolos TWK sebagai alasan, sepertinya kurang masuk akal, sebab tes yang dilakukan adalah terhadap pegawai lama, dan bukan untuk menjaring pegawai negeri baru. Apalagi MK menyebutkan tes tersebut tidak boleh merugikan pegawai KPK, sebab hanya berupa persyaratan.


Tampaknya sopan santun ketatanegaraan kasus perlu juga diperhatikan dalam kasus tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK, sehingga pemerintah tidak bersikap diskriminasi dan menutup pintu saat kasus dianggap tidak baik untuk pemerintah, demikian pernyataan anggota Ombudsman RI Robert Endi Jaweng dalam siaran langsung di kanal YouTube Sahabat ICW, Minggu (19/9/2021).


Presiden diharapkan tidak hanya bersandar pada laporan resmi yang bersumber pada informasi-informasi publik, sebab berpotensi disinformatif dan dimanipulatif oleh pihak-pihak tertentu.


TWK hanya sebagai prasyarat peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, dan bukan tes CPNS. Jika tidak lolos saat tes CPNS, sangat wajar jika tidak dapat diterima menjadi ASN, namun apabila hanya sebagai persyaratan peralihan status, memang sudah selayaknya hanya sebuah persyaratan, yang tentunya jika gagal bisa diperdalam wawasan kebangsaannya, bukannya harga mati divonis tidak pancasilais.


Bahkan beredar rumor yang menimbulkan tanda tanya, sebab para pegawai KPK yang dinilai gagal dalam tes TWK, akan resmi diberhentikan pada 30 September, sehingga banyak pihak mengaitkan hal tersebut dengan sebuah momen atau peristiwa yang pernah melukai bangsa kita, yakni pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965.



Ngeyelnya KPK dalam mempertahankan pilihannya untuk memecat pegawainya yang tak lolos TWK, bisa menimbulkan rumor-rumor yang akan menjadi bola liar, menggelinding dan menimbulkan tanda tanya besar tentang apa yang terjadi di lembaga anti rasuah. 


Apalagi beberapa waktu terakhir, terpidana kasus-kasus korupsi di negara kita mendapatkan hukuman ringan, belum lagi bonus remisi yang diperoleh saat peringatan hari kemerdekaan,  sungguh mengusik rasa keadilan bagi pegiat anti korupsi dan rakyat jelata negeri ini.



 

Comments