Cancel Culture, Bukan Artisnya Tapi Perilaku Amoralnya

Illustrasi amoral (pic: thecompanion.in)


Masalah pelecehan, korupsi, perbuatan cabul, perzinahan dan sejenisnya adalah hal krusial yang tidak bisa dianggap enteng karena dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan terutama moral bangsa



Cancel culture terjadi ketika masyarakat tidak suka dan mulai memblokade public figure. Mungkin terkesan kejam, tapi bila ditujukan pada seseorang yang pernah melakukan tindakan amoral, maka hal itu  pertanda baik, sebab menunjukkan bahwa masyarakat kita masih menjunjung tinggi norma-norma.


Sebaliknya bagi para pemuja tokoh yang amoral, cancel culture adalah kiamat, sebab mereka beranggapan, bahwa jika si tokoh amoral sudah menjalani hukuman di jeruji besi, maka dianggaplah telah menebus dosa dan kesalahan alias bertobat, tapi benarkah benar-.benar tobat? Perlu waktu untuk membuktikan.



Mengelu-elukan tokoh amoral


Sebetulnya perilaku memuja berlebihan terhadap sebuah sosok amoral selepas dari penjara bukan hanya terhadap Saipul Jamil saja, pernah juga terjadi  terhadap vokalis band Ariel, bahkan di luar negeripun sering dijumpai hal seperti itu, misal Bill Cosby dan aktor-aktor Hollywood lainnya.


Jadi apa yang salah dari semua itu? Tak ada yang salah, si tokoh tidak bersalah, tapi yang bersalah adalah perilakunya yang amoral, karena perilakunya lekat dengan sosoknya, maka sudah pasti dia menanggung resikonya.


Jika belum terbukti bertobat sungguh-sungguh namun sudah disambut seperti pahlawan, dielu-dielukan bak super hero, ini sudah jelas salah kaprah. Memangnya dia usai melawan penjajah darimana? Andai yang keluar dari penjara adalah Bung Tomo, atau Pangeran Diponegoro yang berani melawan penjajah Belanda, jelas wajar dielu-elukan bak super hero, namun ini tokoh amoral dengani kesalahan nista melecehkan anak-anak di bawah umur yang seharusnya dilindungi, sudah jelas tidak patut.


Terdapat pola pikir salah kaprah dari sebagian masyarakat yang mengelu-elukan tokoh amoral sebagai sosok yang mereka anggap segalanya, semacam pengkultusan tanpa pemikiran mendalam, ibarat cinta yang membabi buta, bisa Anda bayangkan seperti apa cinta yang membabi buta itu? Sudah jelas salahpun tetap dibela mati-matian.



Salah kaprah kultus individu


Kultus individu ibarat kisah seorang gadis yang jatuh cinta setengah mati pada kekasihnya, mabuk kepayang, apalagi itu cinta pertamanya. Namun orang tuanya yang lebih mengenal asam garam kehidupan paham bahwa si pemuda bermaksud buruk pada anak gadisnya, memahami ada udang di balik batu. Maka dilaranglah si gadis menemui pemuda idamannya itu, bahkan disuruhlah untuk memutuskan cintanya, tapi apa yang terjadi pada si gadis yang telah dibutakan oleh cinta dan nafsu sesaat itu, dia akan melawan, sebab mabuk kepayang telah membutakan mata dan mematikan nuraninya, sehingga enggan berpikir tentang kebenaran, kewaspadaan, dan norma-norma.


Kebutaan itulah yang membuat si gadis berani melawan orangtu yang telah membesarkan, membersihkan kotorannya sewaktu bayi, dan membanting tulang mencari nafkah. Si gadis rela melupakan semua jasa orangtuanya demi pemuda yang baru dikenalnya sesaat, yang belum jelas latar belakang dan asal-usulnya.


Pergilah sang gadis dari rumah dengan angan-angan serta harapan yang membumbung tinggi. Namun apa yang terjadi sebulan kemudian, pemuda itu telah mencampakkannya, bahkan menawarkan si gadis pada pria hidung belang dengan alasan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua, yang tentunya dengan ancaman akan memutuskan cinta bila menolak. Sekali lagi si gadis yang sudah sangat tergila-gila terjebak dalam cinta tak berujung, rela menjual diri hingga tubuhnya remuk redam. 


Puncak pengorbanannya berakhir setelah pada suatu malam menjumpai kenyataan bahwa pemuda yang dicintainya tetnyata penyuka sesama jenis. Dunia terasa gelap, hancur lebur hatinya, segalanya telah terjadi, terbayang wajah orangtua yang sedemikian baik telah disakitinya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, kemana lagi dia akan kembali kalau tidak ke orangtuanya? 


Akhirnya orangtua yang berhati tulus kembali menerima pulang anak yang hilang,  sekian waktu berani melawan, durhaka dan mennggalkannya. kini datang tidak sendiri, bersama bayi dalam kandungannyya. Sungguh malang nasib orangtua seperti itu, bukan hanya terbebani keadaan anak, namun bertambah beban bayi tak berdosa dalam kandungan anaknya yang tak jelas siapa bapaknya.


Demikian juga yang terjadi pada masyarakat kita, mengelu-elukan siapapun yang baru keluar dari penjara tanpa melihat atau bahkan tak mau tahu dengan masa lalu amoralnya. Sama persis seperti Saiful Jamil saat keluar dari penjara, atau juga Ariel vokalis sebuah band yang dipenjara karena masalah amoral, justru malah penggemarnya menangis meraung-raung tak rela tokoh idolanya dipenjara, tanpa sedikitpun berpikir alasan yang melatarbelakangi pemenjaraannya.



Amoral jangan dianggap enteng


Masalah pelecehan, korupsi, perbuatan cabul, perzinahan dan sejenisnya adalah hal krusial yang tidak bisa dipandang sebelah mata, tidak bisa dianggap enteng begitu saja, sebab akan merusak sendi-sendi kehidupan terutama moral bangsa. Jika kelaparan saja bisa membuat bangsa menjadi penjarah, apalagi kalau ditambah moralnya amburadul, maka kehancuran yang datang akan lebih maha dahsyat. 


Saat segalanya dianggap boleh, tidak ada perbedaan antara kebaikan dan keburukan, maka hukum rimbalah yang akan terjadi. Sehingga asal muasal sebuah uang tak dipermasalahkan, sebab yang dilihat hanya uang, tak peduli sumbernya, apakah merampok, korupsi, prostitusi, ataupun hal-hal amoral lainnya. Karena hukum rimba yang berlaku, maka siapa yang kuat ekonominya akan berkuasa, terjadilah hukum mafia, contoh yang paling mudah adalah di Italia, Meksiko, dan Columbia. Bagaimana para mafia narkoba bisa berlalulalang berkuasa di negara itu, sebab mereka raja uang, yang menjadi raja adalah uang, tak peduli dihasilkan dari apapun.


Negara kita masih memiliki aturan, dan masyarakatnya masih mematuhi norma-norma, itulah kenapa mereka akan risih dan terganggu ketika melihat hal yang amoral  terjadi, mereka akan segera melakukan blokade demi keselamatan anak cucu serta generasi mendatang.


Bahkan dalam aturan kenegaraan seperti Pemilu, calon anggota legislatif tidak boleh mantan koruptor, apalagi mantan pelaku pelecehan seksual, sebab kerusakan moral dan perilaku terbukti sangat sulit memperbaikinya. Memang kita tidak boleh menafikkan tobat, sebab hal itu adalah urusan Tuhan, tapi tidak bisa dipungkiri sisi manusiawi kita mengatakan tobat memerlukan bukti, dan bukti perlu proses waktu. Mungkin tiulah yang menjadi alasan bahwa mantan napi koruptor bisa mencalonkan diri menjadi caleg setelah jangka waktu lima tahun, bisa jadi lima tahun cukup menjadi jeda waktu tobatnya.


Demikian juga yang terjadi pada Saipul Jamil, meskpun telah bebas dari penjara, belum membuktikan waktu tobatnya. Jika sudah dielu-elukan bak pahlawan, maka patut dipertanyakan sikap moral mereka yang mengelu-elukan. Mungkin mereka tak memahami perilaku amoral, atau ada tujuan eknomi di balik semuanya, seperti agar diliput media massa supaya ikut terkenal. Bahkan stasiun-stasiun televisi yang antusias mengundangnya untuk wawancara, sudah pasti bisa ditebak motif eknomi dari semua itu, karena bila sebuah peristiwa menjadi perhatian masyarakat, maka iklannya bejibun karena ratingnya tinggi. Makin jelas tujuan stasiun-stasiun televisi dan para simpatisan itu, mencari perhatian demi mendatangkan nilai materi!.


Menyikapi hal hal seperti itu, sebaiknya kita bersikap bijak, sebab jika makin emosi, maka akan makin menaikkan pamor si tokoh amoral, karena rating makin berkibar. Lagipula apa hebatnya dia sih, bukankah masih banyak penyanyi-penyenyi atau selebritis lain yang tidak terlilit kasus seperti dia, bahkan bersih dari kasus? Sekali lagi masalahnya hanya mencari perhatian demi nebeng terkenal dan masalah materi.


Ibarat gosip, kelakuan amoral dan tidak patut dari para artis makin digosok makin sip, makin banyak yang membicarakan maka makin menjadi trending topic. Jadi apa yang harus kita lakukan tatkala menjumpai hal itu? Bisa dengan membuat petisi penolakan, bukan penolakan artisnya, tapi penolakan kelakuannya di masa lalu yang amoral. Cuekin, jangan pedulikan, jangan dengar, jangan tonton, jangan lihat! Lama lama juga tenggelam sendiri.


Para penjahat amoral perlu waktu tobat yang panjang untuk membuktikan bahwa mereka telah bersih. Dan dari sekian banyak pengelu-elunya sudah pasti bukan korban pelecehannya di masa lalu, dan bisa jadi tidak pernah mempunyai keluarga yang pernah dilecehkan, maka tidak heran bila mereka menganggap enteng masalah itu. Padahal jika berkaitan, maka sudah pasti akan merasa jijik, benci, emosi, serta dipenuhi kemarahan dendam kesumat.


Ketika mantan narapidana amoral disanjung-sanjung saat keluar dari penjara, maka akan terjadi hal bias dalam masyarakat, sebab hal buruk yang pernah dilakukan tertutup oleh hiruk pikuk sambutan bak pahlawan. 


Lalu bagaimana nasib para bocah yang pernah dilecehkannya, bisa jadi mereka jadi malu, minder, merasa dipojokkan, sebab pelaku pelecehan justru menjadi pahlawan. Pahlawan di bidang apa? Tidak melawan penjajahan amoral, malah menjajah bangsanya sendiri dengan pelecehan seksual, jadi dimana sisi pahlawannya? Demi tujuan apa kemeriahan sambutannya? jika yang dimaksudkan adalah sambutan kemeriahan atas tobatnya karena telah menjalani hukuman, maka tunggu dulu! Sebab diperlukan waktu untuk membuktikannya..


Tanpa harus negative thinking, sebab siapa tahu mereka benar-benar akan bertobat, namun waktu yang akan membuktikan, bukannya hiruk pikuk sambutan bak pahlawan kesiangan bolong yang tidak jelas juntrung kepahlawanannya!




Marilah tidak asal ikut-ikutan memuja-muja, buktikan dan selidiki dulu benarkah pertobatannya. Jangan hanya gara-gara kecintaan yang membabi buta, justru nilai moral, norma, dan aturan dikorbankan. 


Indonesia masih negara beradab, mengedepankan budaya timur dan menjunjung tinggi nilai moral!.


 

Comments