Merubah Gender, Sedemikian Pentingkah?

Illustrasi dilema (pic: raisingchildren.net.au)


Benarkah Tuhan sedemikian bodoh hingga salah menentukan jenis kelamin? Jikalau pun salah, pasti ada tujuan di balik semua itu, yaitu ujian dan cobaan sebelum menuju pertanggungjawaban di hari akhir



Di zaman sekarang ini, seseorang yang merubah gendernya sudah bukan hal mengherankan lagi. Bukan hanya di luar negeri, bahkan di Indonesia jamak kita jumpai hal tersebut. Namun di balik keputusan nekat itu, benarkah sedemikian mendesak?


Sebagaimana kita ketahui, bahkan di dalam kitab suci apapun, terang sekali firman Tuhan menyebut bahwa  gender terbagi menjadi dua, yakni laki-laki dan perempuan. 

Jika kemudian ada istilah yang mengarah ke gender yang baru, sebetulnya hal itu hanyalah sebutan yang dibuat oleh manusia, karena istilah tersebut pasti condong ke salah satu gender yang digariskan Tuhan. Misal yang disebut waria, sudah pasti laki-laki namun cenderung bertingkah laku seperti wanita, ataupun sebaliknya jika seorang perempuan yang cenderung perkasa, pasti pola tingkah lakunya mengarah menjadi seperti pria. Jadi kalau kita dalami lebih lanjut, tetap saja gender itu mengarah ke laki-laki dan perempuan.


Namun karena perilaku menyukai sesama jenis dianggap tidak sewajarnya, melanggar norma-norma yang telah digariskan, terutama norma agama sebagai kepatutan yang digariskan Tuhan, maka perilaku tersebut sering dianggap menyimpang dari kewajaran.



Faktor penyebab perilaku menyimpang


Mengapa bisa terjadi perilaku menyimpang dan tidak sewajarnya?



Kesalahan pergaulan semasa kecil


Mungkin sewaktu kecil dia telah diperkenalkan oleh orangtuanya dengan pergaulan yang berbeda, sehingga dia bisa jadi merasa tidak nyaman dengan pergaulan itu, atau malah tertekan, sehingga ketika dewasa dia memiliki kecenderungan fantasi ketertarikan pada yang dianggapnya sebagai wujud kemerdekaannya.



Trauma masa lalu


Orangtua sangat berperan penting mencetak anak untuk masa depan, sedikit saja goresan luka batin ataupun mental yang digoreskan orangtua akan sangat membekas pada kehidupan anak di masa mendatang. Misal seorang ayah yang sangat kejam dan temperamen, pada anak perempuan yang trauma, bisa jadi dia jadi membenci laki-laki, sehingga dalam kehidupan masa depannya dia akan selalu menyakiti laki-laki sebagai dendam masa lalunya yang terpendam. Namun bisa jadi juga dia jadi membenci gender laki-laki.


Demikian juga bila trauma itu menimpa anak laki-laki, dia cenderung menjadi tertutup, merindukan sosok ayah namun tak didapatkannya, sehingga bahayanya jika dia bertemu dengan seorang pria pedhopilia, dia akan salah beranggapan bahwa pria tersebut menyayanginya, padahal justru menjadikannya sebagai pelampiasan hawa nafsu. Dan si anak laki-laki akan cenderung rela diperlakukan seperti apapun sebab dia telah memiliki ketergantungan pada pria phedophilia tersebut karena dia merasa sosok itu lebih baik daripada ayahnya.



Menjadi korban pelecehan


Saat seseorang mengalami pelecehan, maka terkadang ada rasa terpuruk yang membuatnya menyetujui pelecehan tersebut, akibatnya dia menerima keadaan itu dan merasa enggan untuk berubah.



Kebingungan menentukan sikap


Masifnya pergaulan saat ini, disertai kebebasan yang meraja lela, bukan hanya dalam kehidupan nyata, bahkan dalam dunia maya, bisa menjadi penyebab penyimpangan. Pengaruh para selebritas dunia, tontonan-tontonan dan pergaulan yang ditunjukkan dalam hal menyimpang oleh mereka bisa menjadi semacam hal biasa, sehingga bagi jiwa yang kebingungan cenderung merasa bahwa perilaku menyimpang tidak menjadi masalah, karena toh semua orang juga melakukannya. Semacam peribahasa ala bisa karena biasa, ditambah ketidak kuatan mental, dan kurangnya kepercayaan diri, membuatnya ikut tenggelam dalam situasi tersebut.



Godaan materi


Di jaman serba sulit seperti selarang ini, jika iman tidak kuat, sementara kebutuhan duniawi mendesak, maka amburadul lah segala yang dipertahankan. Pada awal melakukan masih dipenuhi rasa bersalah, dan ketika dilakukannya terus menerus maka segalanya menjadi biasa, namun disaat ada jeda waktu berhenti melakukan, tak bisa dipungkiri, di saat itulah hati nuraninya pasti berbicara, meskipun dia berusaha melawan dan mengingkari.



Angan-angan yang terlampau tinggi


Setiap orang pasti memiliki keinginan dan harapan, namun jika kurang realistis maka akan menjadi musnah dan omong kosong. Pengaruh pergaulan dunia yang serba bebas sebab saat ini dunia cenderung menafikkan Tuhan, membuat segalanya serba boleh. 



Pengorbanan tak sepadan akibat propaganda


Banyaknya propaganda-propaganda manis pernikahan sesama jenis. Mungkin memang bisa diwujudkan, namun apa tujuan pernikahan tersebut? Seperti pernikahan berbeda jenis yang dipenuhi kerumitan hidup, pastilah juga pernikahan sejenis akan diliputi suasana seperti itu, manis pada awalnya, namun setelah sekian waktu akan diliputi kebosanan, pengkhianatan, dan perselingkuhan.


Akan sangat melelahkan menjadi sosok yang berbeda dari sosok asli, mungkin di awal pernikahan bisa terjadi, namun di hari-hari selanjutnya, ada kebosanan dan kelelahan sehingga sulit mewujudkannya. Misalnya bagi transgender saat memulai hidup baru akan tampil cantik sempurna layaknya wanita, tapi hal ini akan berlangsung beberapa lama? Apakah saat bangun dari tempat tidur  bisa hidup dalam polesan kepalsuan terus menerus? Pengorbanan besar yang dlakukan sepadankah dengan perlakuan jika tampil apa adanya sebagai laki-laki? Suntik silikon pada dada, operasi jakun, mati-matian diet agar tetap langsing bak wanita, bahkan operasi kelamin yang berujung pada pendarahan beberapa waktu, mungkin memang segalanya menjadi sempurna saat yang diinginkan terwujud, tapi bagaimana bila tiba-tiba kemiskinan melanda, tak ada biaya lagi untuk ini-itu, keadaan berubah, akankah keindahan dan kesempurnaan yang diimpikan akan terwujud? Masih bersediakah pasangan menerima penampilan apa adanya dengan kaki yang berbulu lebat, suara besar, dan segala keaslian lain tanpa polesan ataupun operasi?


Apalagi sudah pasti tak bisa memiliki keturunan, meskipun solusi yang ditawarkan anak adopsi, perlu sebuah komitmen besar untuk mendidiknya, agar kelak dia tidak menjadi penentang, karena ketidakmampuan menerima keadaan orangtua yang membesarkannya.


Sudah selayaknya berpikir mendalam sebelum melakukan sesuatu, sebelum menyesalinya di hari kemudian. Pernahkah merenung, benarkah Tuhan sedemikian bodoh hingga salah menciptakan jenis kelamin? Jikalau pun salah, pasti ada tujuan di balik semua itu, yaitu ujian dan cobaan sebelum menuju pertanggungjawaban di hari akhir.


Inti semua perbuatan hanya satu, kemampuan untuk mengendalikan diri, mengendalikan hawa nafsu, serta kesadaran tingkat tinggi bahwa Tuhan tidak pernah bodoh.


Resiko sebuah perbuatan pastinya ada dua akibat, di dunia dan di akhirat. Di dunia bisa terkena penyakit, semisal HIV/AIDS sebagai akibat perilaku menyimpang, sementara di akhirat adalah kesiapan mempertanggungjawabkan segala perbuatan di hadapan Tuhan.



Sanggupkah mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita? Sebab setiap dari kita adalah pendosa, yang pasti tidak luput dari dosa, meski sekecil apapun, haruskah kita menambahnya terus menerus, sementara di sisi lain kita tak tahu kapan "game over" itu akan tiba.





 

Comments