7 Kilometer Air Mata: Jalan Pulang Tanpa Rumah
Pengungsi Palestina (pic: metrotvnews.com) |
Penderitaan para pengungsi Palestina kembali ke rumah mereka sejauh 7 kilometer. Tidak sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan penuh penderitaan, kesengsaraan, dan ketidakpastian. Bukan menuju rumah yang hangat, tapi ke reruntuhan yang tak lagi bisa disebut rumah.
Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada 19 Januari 2025, ribuan warga Palestina mulai kembali ke rumah mereka yang hancur akibat perang. Banyak dari mereka yang harus berjalan kaki sejauh 7 hingga 8 kilometer melalui Jalan Al-Rashid di pesisir pantai.
Perjalanan ini sangat berat, terutama bagi anak-anak dan orang tua. Mereka harus menempuh jarak yang jauh dengan membawa barang-barang seadanya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pasukan Israel sempat menembaki warga yang mencoba kembali ke rumah mereka di lingkungan Zeitoun, Gaza selatan.
Anak-Anak Tanpa Keluarga
Meskipun rumah-rumah mereka telah hancur, banyak warga yang merasa bahagia bisa kembali ke tanah kelahiran mereka. Seorang pemuda Palestina mengatakan, "Hal terpenting adalah saya kembali." Sebagaimana dikutip dari merdeka.com (28/01/2025).
Para pengungsi Palestina berjalan kaki di bawah terik matahari atau di tengah dinginnya malam, sering kali tanpa cukup makanan dan air. Sebagian membawa barang-barang seadanya---kantong plastik atau koper kecil yang berisi sisa-sisa kehidupan mereka sebelum perang. Banyak yang kelelahan, terutama anak-anak dan orang tua, tapi mereka tidak punya pilihan selain terus melangkah.
Di sepanjang perjalanan, mereka melewati puing-puing bangunan yang dulu adalah rumah mereka, sekolah anak-anak mereka, atau pasar tempat mereka mencari nafkah. Ada yang menangis melihat rumahnya hanya tinggal reruntuhan, ada yang berdiri lama di depan bekas rumahnya sambil berusaha menerima kenyataan pahit.
Beberapa orang yang kembali tidak lagi menemukan keluarga mereka. Ada yang kehilangan orang tua, pasangan, atau anak-anak, dan mereka harus berjalan pulang dengan hati yang hancur. Yang paling memilukan adalah anak-anak yang berjalan sendirian karena keluarga mereka sudah tiada atau terpisah entah di mana.
Di tengah perjalanan, mereka juga masih menghadapi ancaman: ranjau darat, reruntuhan yang bisa roboh kapan saja, dan ketakutan akan serangan mendadak. Bahkan ketika sudah sampai di tujuan, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tempat yang dulu mereka sebut rumah kini hanya tinggal kenangan.
Mereka kembali, bukan karena segalanya sudah aman, tapi karena mereka tidak punya tempat lain untuk pergi. Mereka ingin kembali membangun kehidupan, meski dengan tangan kosong dan hati yang penuh luka.
Sikap Israel
Israel, sebagai pihak yang melakukan pendudukan dan serangan, punya beragam respons terhadap penderitaan rakyat Palestina. Tapi kalau kita bicara secara umum, ada beberapa kemungkinan sikap yang bisa mereka miliki:
1. Ketidakpedulian -- Sebagian besar otoritas dan militer Israel mungkin menganggap penderitaan Palestina sebagai konsekuensi yang tidak bisa dihindari dari kebijakan mereka. Mereka lebih fokus pada kepentingan strategis dan politik daripada kemanusiaan.
2. Justifikasi -- Banyak dari mereka yang mendukung tindakan ini dengan alasan "keamanan nasional" atau "melawan terorisme," meskipun kenyataannya banyak korban adalah warga sipil tak bersalah, termasuk anak-anak dan perempuan.
3. Perayaan & Rasa Bangga -- Ada kelompok ekstrem di Israel yang bahkan merayakan penderitaan Palestina. Beberapa video dan laporan menunjukkan warga Israel bersorak saat Gaza dibombardir atau ketika pengungsi kesulitan kembali ke rumah mereka.
4. Empati (Tapi Terbungkam) -- Tidak semua orang Israel mendukung kekejaman ini. Ada juga warga Israel yang merasa bersalah, marah, atau menentang tindakan pemerintah mereka. Tapi sering kali suara mereka ditekan atau tidak mendapat perhatian besar karena media dan politik di sana lebih banyak dikendalikan kelompok pro-perang.
5. Manipulasi Media -- Pemerintah Israel sering mencoba mengontrol narasi global. Mereka bisa saja berpura-pura peduli atau mengalihkan perhatian dunia dengan berbagai alasan lain, sementara penderitaan Palestina terus berlanjut tanpa solusi nyata.
Banyak rekaman video dan foto yang beredar di media sosial menunjukkan kondisi para pengungsi Palestina yang kembali ke rumah mereka dengan berjalan kaki dalam keadaan lelah, kelaparan, dan penuh kesedihan.
Pada akhirnya, bagi mereka yang benar-benar berkuasa di Israel, penderitaan rakyat Palestina bukan prioritas. Mereka lebih peduli pada kepentingan politik, ekonomi, dan militer mereka sendiri. Tapi dunia melihat, dan semakin banyak yang sadar bahwa keadilan harus diperjuangkan.
Sumber:
AlJazeera
BBC
Reuters
banten.nu.or.
antaranews.com
merdeka.com
cnnindonesia.com
m.tribunnews.com
newsrepublika.co.id
dottcom.id
Comments
Post a Comment