Mbulet Susur Sistem Gaji Guru: Kajian Kritis Pemotongan Iuran JKN di Indonesia

Ilustrasi guru terkejut melihat slip gaji (Pic: Meta AI)


Praktik pemotongan iuran JKN dari TPG tampak “legal-formal”, namun secara substansial menyiratkan ketidakadilan struktural yang menjadikan guru sekadar obyek administratif, bukan subjek yang dihargai secara utuh


Tulisan ini menyoroti praktik pemotongan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap penghasilan guru di Indonesia, khususnya iuran 1% dari Tunjangan Profesi Guru (TPG). 


Penelitian ini mengurai “mbulet susur” birokrasi yang membingungkan dan mengikis rasa hormat terhadap profesi guru. 


Dengan pendekatan kritis dan reflektif, artikel ini mengajak pembaca untuk meninjau ulang sistem yang seolah-olah terencana, namun dalam praktiknya justru penuh paradoks.



Pendahuluan


Guru adalah pilar bangsa. Namun, sistem penggajian dan pemotongan iuran kesehatan kerap mencerminkan ketidakkonsistenan dalam menghargai jasa mereka. 


Salah satunya adalah pemotongan JKN dari Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi, keadilan, dan logika kebijakan publik.



Latar Belakang: Skema Iuran BPJS Kesehatan


Menurut Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020:

Total iuran JKN untuk PNS: 5% dari gaji.

4% ditanggung pemerintah (2% pusat, 2% daerah).

1% ditanggung pegawai.


Namun dalam praktiknya:

Gaji dan tunjangan guru dibayarkan melalui bank daerah, kemudian secara otomatis dipotong iuran JKN sebesar 1% dari gaji pokok dan TPG.



Masalah yang Timbul


1. Iuran 1% dari TPG:

Muncul anggapan bahwa tunjangan bukan bagian dari gaji tetap.

Namun tetap dipotong tanpa pernyataan eksplisit dari guru.


2. 4% Iuran Pemerintah = Realitanya?

Pemotongan dilakukan langsung dari total transfer ke rekening guru.

Sehingga terlihat seolah-olah guru menanggung semua beban iuran, termasuk bagian pemerintah.


3. Transparansi Buram:

Tidak semua guru mengetahui komponen yang dipotong.

Pemotongan dilakukan oleh sistem bank berdasarkan data dari pemerintah daerah, tanpa ruang klarifikasi.



Analisis Kritis: Di Mana Letak “Mbulet Susur”-nya?


Permasalahan dalam pemotongan iuran JKN dari penghasilan guru bukan semata-mata terletak pada angka 1% atau 4% itu sendiri, melainkan pada pola administratif yang tidak transparan dan membingungkan


Istilah “mbulet susur” tepat untuk menggambarkan kebijakan yang secara sistemik membuat guru seolah dicekik oleh ketentuan yang mereka tak pernah sepenuhnya pahami atau sepakati.


Pertama, meskipun pemotongan dilakukan oleh bank daerah secara otomatis, banyak guru yang masih mengira bahwa bank adalah pihak yang memotong gaji mereka. 


Hal ini karena bank tetap menjadi pihak yang berinteraksi langsung dengan guru—menyampaikan slip, laporan, atau konfirmasi administratif lainnya—meskipun sebenarnya tak lagi memegang kendali atas pemotongan tersebut. 


Di sinilah letak keruwetan birokrasi: tanggung jawab administratif tersebar dan kabur, sementara pihak yang paling terdampak—guru—tidak memiliki ruang kontrol.


Kedua, guru tidak diberikan hak untuk menolak atau bahkan mengklarifikasi potongan yang dilakukan. 


Mereka berada dalam posisi pasif secara struktural, tak bisa memverifikasi apakah potongan yang diambil memang sesuai ketentuan atau tidak. 


Tidak ada dialog antara sistem dan individu, sehingga potongan terasa seperti instruksi sepihak.


Ketiga, masalah akuntabilitas menjadi sangat kabur. Jika potongan terlalu besar, tidak sesuai dengan peraturan, atau terjadi kesalahan administrasi, tidak jelas siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban—bank? bendahara? Dinas Pendidikan? BPJS? Pemerintah daerah? Semua menunjuk ke arah lain.


Situasi ini menempatkan guru dalam posisi dilematis: mereka diminta taat, tapi tidak diberi ruang untuk memahami sistem secara menyeluruh. 


Alih-alih menjadi subjek yang dihormati dan dilibatkan, mereka justru dijadikan objek dari sistem otomatisasi birokratis


Semua inilah yang menjadikan sistem gaji guru di Indonesia terasa “mbulet susur”: terlalu banyak simpul, tapi tak ada ujung benang yang bisa ditarik untuk meluruskannya.



Dampak pada Profesi Guru


Psikologis: Guru merasa tidak dihargai, dipotong diam-diam tanpa kontrol.


Ekonomi: TPG yang seharusnya jadi reward, justru terasa berkurang nilainya.


Sosiopolitik: Kepercayaan terhadap sistem dan birokrasi menurun.



Kesimpulan


Praktik pemotongan iuran JKN dari TPG menunjukkan lemahnya kontrol, akuntabilitas, dan transparansi dalam sistem penggajian guru. 


Sistem ini tampak “legal-formal”, namun secara substansial menyiratkan ketidakadilan struktural yang menjadikan guru sekadar obyek administratif, bukan subjek yang dihargai secara utuh.



Rekomendasi


1. Perlu audit publik terhadap skema pemotongan iuran guru, termasuk aliran dan logika administratifnya.

2. Transparansi penuh pada slip gaji, termasuk asal-usul tiap potongan.

3. Partisipasi guru dalam proses klarifikasi dan evaluasi sistem BPJS.

4. Penghapusan potongan dari TPG, jika tidak sesuai regulasi awal tentang sifat tunjangan.

5. Perbaikan sistem payroll: Pemda harus membayar 4% langsung ke BPJS dari kas daerah, tanpa mengalirkannya melalui gaji guru.

6. Penguatan hukum: Regulasi tentang iuran perlu ditegakkan lebih ketat agar tidak disalahpahami atau disalahgunakan.









Referensi

  • Peraturan Presiden RI No. 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.
  • BPJS Kesehatan. (2022). Pedoman Pelaksanaan Iuran Pegawai ASN.
  • Kementerian Keuangan RI. (2021). Kebijakan Gaji dan Tunjangan PNS Daerah.
  • Susanto, A. (2023). Ketimpangan dalam Sistem JKN: Telaah Sosiologis. Jurnal Administrasi Negara, 10(2), 56-68.
  • Santosa, E. (2022). “Mengapa Guru Selalu Dirugikan?” Kompasiana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?