KPI Beraksi KPI Dimaki

 

Komisi Penyiaran Indonesia (pic: pikiran-rakyat.com)


KPI baru-baru ini melarang 42 lagu yang sebagian besar dari barat diputar dibawah jam 22.00, dengan alasan lagu-lagu tersebut terlalu vulgar, tidak mendidik, dan banyak mengandung konten seksualitas



Sudah lumrah terjadi bila lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan sikapnya menyensor sebuah tayangan tertentu, pasti diikuti dengan beragam komentar masyarakat, entah komentar positif, mengamini, atau malah bereaksi negatif dan mencaci maki.


Dikutip dari kompas.com (29/6/2021), KPI Pusat telah menerbitkan surat edaran kepada Persatuan Siaran Radio Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) tentang pembatasan pemutaran 42 lagu berbahasa Inggris di radio swasta sebelum pukul 22.00 WIB. Jika ingin memutar sebelum jam yang ditentukan, maka harus ada versi edit, sebab lirik lagu yang dilarang banyak mengandung konten seksualitas.



Keselamatan moral generasi penerus


Memang sudah selayaknya dan seharusnya KPI bertindak membredel serta menyensor bila mendapati tayangan yang sudah melampaui kadar etika, tak sesuai dengan budaya dan norma-norma. Namun tidak dapat disangkal, bila ada pihak-pihak yang merasa  uring-uringan dan kebakaran jenggot dengan tindakan itu, meskipun ada tujuan positif di dalamnya, sebagai penanda bahwa masih ada yang peduli terhadap keselamatan moral remaja dan anak-anak Indonesia.


Beberapa waktu lalu, saat KPI melarang pemutaran sebuah film kartun anak-anak karena adanya adegan tak layak, kontan beribu caci maki diterima KPI, bahkan yang membuat miris justru protes terbesar datang dari para orang tua yang merasa hak anaknya menonton film favorit diberangus. Padahal setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata para orang tua itu  tak paham dengan alasan pelarangan film tersebut, mereka hanya tahu tentang cuplikan berita sepihak yang menyatakan bahwa film itu dilarang tanpa mengetahui alasannya.


Akibatnya, mengamuklah para orang tua, terutama para ibu yang merasa hak privasi keluarganya dilanggar, bila selama ini mereka merasa pekerjaannya terbantu dengan meletakkan anaknya di depan tv menonton film kartun yang disukainya, sementara orang tua bisa sambil mengerjakan pekerjaan lain, namun dengan adanya larangan itu membuat mereka kerepotan,  akibatnya lahirlah protes dan caci maki. Padahal kalau dipahami dengan kepala dingin dan sumber berita yang akurat, harusnya mereka tahu bahwa tujuan KPI adalah untuk menyelamatkan anak-anak mereka dari degradasi moral, namun mereka salah paham. 



Dewasa sebelum waktunya


Seandainya semua orang tua  memahami propaganda yang ditanamkan film-film kartun luar negeri terhadap otak anak-anak mereka, pastilah para orang tua tak mengijinkan anak-anaknya menonton film itu, namun karena keterbatasan tenaga dan waktu membuat mereka mengambil jalan pintas untuk mengijinkan anak-anaknya menonton, tanpa sadar adanya cuci moral yang terlewatkan. Sedikit demi sedikit hingga kemudian anak-anak mereka tumbuh dewasa berkat asuhan film kartun luar negeri, bahkan menjadi ironi jika mereka dewasa sebelum waktunya.


Mereka lupa bahwa film kartun barat dibuat dengan budaya barat, yang tentu saja berbeda jauh dari budaya timur, akibatnya mulai balita, anak-anak mereka telah dicekoki segala hal yang serba boleh, sehingga mata, hati, dan telinga terbiasa mendengar kata-kata film-film kartun balita itu mengajarkan kata-kata kencan, membunuh, menggoda. Kata-kata itu tak terdengar atau mungkin terlewat begitu saja karena kesibukan orang tua, yang mungkin hanya menitipkan anak-anak mereka pada pembantu yang kurang memahami pencucian moral.


Terlalu banyak film kartun anak-anak dari luar negeri yang sedemikian cerdik menyelipkan pergaulan bebas dalam tayangannya. Jika film produk barat mempengaruhi anak-anak perempuan untuk bertindak genit, agresif dan berani menggoda, maka film produk Asia ada juga ajarannya jauh dari nilai-nilai luhur budaya dan norma Indonesia, seperti melakukan cat talking, menggoda lawan jenis yang lebih dewasa, ataupun gambaran sosok ayah di negara pembuat kartun tersebut yang tidak pernah jauh dari minuman keras setiap pulang kerja.


Hal-hal negatif dari film kartun seperti itulah yang sering luput dari perhatian orang tua, bahkan bisa jadi mereka tak pernah ikut menonton bersama anaknya, akibatnya para orang tua tak begitu memahami makna tersirat dalam film, sebab yang mereka tahu bahwa anaknya duduk diam manis, tidak cerewet, tenang saat menontonnya. Sehingga saat KPI tiba-tiba bertindak menyensor, langsung mencak-mencaklah mereka tanpa memahami alasannya karena merasa ketenangan hidupnya terganggu.



Lembaga penyiaran wajib melindungi anak dan remaja


Apalagi KPI baru-baru ini melarang 42 lagu yang sebagian besar dari barat diputar dibawah jam 22.00, dengan alasan karena lagu-lagu tersebut terlalu vulgar, tidak mendidik, dan isinya tidak jauh dari selangkangan. Apakah KPI salah? Dimana letak kesalahan itu jika tujuannya demi menyelamatkan moral anak-anak dan remaja di negara ini? Haruskah kembali mencak-mencak dengan niat baik KPI?


Keputusan yang diambil KPI mengacu pada Undang Undang Penyiaran yang diturunkan dalam Peraturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS), Pasal 15 tentang kewajiban lembaga penyiaran melindungi dan memperhatikan hak serta kepentingan anak dan remaja.


Mungkin yang menjadi permasalahan adalah wajib adanya pengeditan terhadap lirik lagu yang vulgar, tentunya bagi sebagian pihak yang berkeberatan sangat mengganggu sebab tak sesuai dengan lagu aslinya. Meskipun sebetulnya lagu-lagu  semisal 24K yang dinyanyikan Bruno Mars,  memang musiknya enak didengar namun isinya hanya berkutat pada dunia prostitusi.


Itulah kecerdikan dunia barat dalam meramu film dan lagu, seberapa buruknya pesan di dalamnya akan berhasil tersamarkan oleh manisnya penampilan dan keasyikan musiknya menggoyang iman. Seperti film-film kartun yang sudah diceritakan di atas, demikian juga lagu-lagunya, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah mereka yang    merasa terusik dengan sensor KPI sudah memahami arti lagu-lagu itu, atau sekedar hanya suka goyangan musiknya aja?


Memang beberapa waktu lalu KPI sempat menuai kontroversi karena dianggap abai saat terlambat menindak sinetron yang menayangkan tokoh perempuan di bawah umur berperan sebagai istri ketiga, sehingga banyak mendapat protes dari masyarakat. Namun keterlambatan itu bukan berarti akan membuat KPI lalai mengawasi semua tayangan yang berpotensi merusak generasi negeri ini, bukankah justru orang tua harus berterima kasih sebab ada yang memperhatikan perlindungan moral terhadap anak-anaknya di saat nereka tidak paham dengan tontonan anak-anaknya?




Kuncinya hanya satu jika tidak ingin KPI mencampuri ranah domestik, yaitu para orang tua harus sanggup  meluangkan waktu mengawasi moral anak-anaknya lebih baik lagi. 


Alangkah kokohnya ketahanan nasional negeri ini bila setiap keluarga Indonesia menjaga dan melindungi anak-anaknya utuh lahir batin dari pengaruh negatif dunia luar ataupun dunia maya, jika hal itu dapat diwujudkan maka akan tercipta sebuah ketahanan nasional yang tak dapat dirusak oleh negara manapun.


Comments