Pemecatan Pegawai KPK, Pelanggaran HAM yang Tertukar

Komisi Pemberantasan Korupsi (pic: republika.co.id)


Proses TWK sebagai bentuk diskriminasi sistematik dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja serta hak-hak sipil pegawai KPK yang sejatinya dilindungi oleh undang-undang nasional dan hukum internasional



Pemecatan 75 pegawai KPK secara sepihak oleh pimpinannya akibat tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dinilai banyak pihak sarat dengan motif kepentingan di dalamnya. Belum lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh para pegawai yang dahulunya bekerja membongkar korupsi dengan penuh dedikasi.


Dikutip dari kompas.com (21/6/2021) Kepala Satgas Pembelajaran Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hotman Sitompul mengungkapkan 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK diberhentikan karena dinilai tidak bisa mengikuti pelatihan dan pembinaan lanjutan, sementara 24 pegawai yang akan dibina menolak keputusan tersebut.



TWK hanya diatur PerKom bukan UU


Entah kenapa pemecatan itu tetap dilakukan, padahal kepala negara telah mewanti-wanti agar hall itu tidak terjadi, demikian juga pernyataan Mahkamah Konstitusi agar tes TWK tidak merugikan hak pegawai KPK seakan diterabas tanpa tedeng aling-aling.


Bahkan tiga organisasi internasional yakni Amnesty International Indonesia, Transparency International Indonesia, dan Greenpeace Indonesia, beberapa waktu lalu mengirim surat terbuka agar Presiden Joko Widodo membatalkan pemberhentian 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan (TWK), sebab alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak memiliki dasar hukum dan menyalahi asas-asas pemerintahan yang baik.


TWK hanya diatur oleh peraturan internal KPK yaitu Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak ada undang-undang yang mengatur TWK sebagai prasyarat peralihan status pegawai KPK dari yang semula independen menjadi bagian dari pemerintah (ASN), demikian pernyataan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko sebagaimana dikutip dari kompas.com (16/6/2021).



Beban berat pegawai KPK setelah pemecatan


Ditinjau secara psikologis maka beban yang harus dtanggung pegawai KPK setelah pemecatan antara lain:


Beban moril


Rasa malu yang ditanggung karena dicap merah dan dianggap tidak bisa dibina lagi akan ditanggung seumur hidup, apalagi adanya anggapan tidak setia pada Pancasila, padahal narapidana koruptor saja pernah diwacanakan menjadi penyuluh antikorupsi, demikian juga terpidana terosisme dan pengguna narkoba yang dianggap masih dapat dibina oleh otoritas terkait.


Beban psikologis ini bukan hanya disandang oleh 75 pegawai KPK yang dipecat, tapi juga istri dan anak-anaknya. Beratnya beban yang harus ditanggung sebab mungkin saja anak-anak mereka mendapat hinaan dan pelecehan dari teman-temannya saat di sekolah, ataupun juga beban moril yang harus dihadapi para istri saat bertemu tetangganya. Bagi tetangga yang paham politik mungkin tak bermasalah, namun bagi mereka yang tak paham politik, hobbi menggosip dan mencari sisi kelemahan orang lain, pastilah hal itu merupakan beban mental yang sangat berat dan menyakitkan bagi 75 pegawai KPK yang dipecat dan keluarganya.


Bahkan tentang isu radikalisme di lembaga antirasuah dibantah oleh Darraz, mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute sebagaimana dikutip dari kompas.com (21/6/2021), yang menyebut belum pernah ada indikator yang dapat membuktikan hal itu, sebab tidak ada staf KPK yang intoleran, anti-kebinekaan, antikonstitusi, fanatik, apalagi anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI.

 

Novel Baswedan juga membantah isu radikalisme yang sering disebut dengan istilah Taliban itu, sebab, tak mungkin jika upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh orang-orang yang berpaham radikal dan tidak nasionalis, justru pihak-pihak yang terusik dengan upaya pemberantasan korupsi berupaya menyingkirkannya dengan membangun isu radikalisme di KPK, hingga pada 2016, ia pernah diminta untuk keluar dari KPK.


Beban materiil dan waktu


Setelah bekerja sekian waktu membanting tulang menguber-uber koruptor, tiba-tiba langkah pegawai KPK terhenti sejenak untuk mengikuti tes TWK, yang kemudian secara tak dinyana dan tak diduga akan menjadi langkah terakhir 75 pegawai KPK, sebab berujung pemecatan karena dicap merah dan tak bisa dibina lagi, waktu telah banyak terbuang dengan percuma, segala dedikasi dan jerih payah sekian waktu hilang dalam sekejap.


Itulah kenapa Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menyebut penetapan status tidak bisa dibina terhadap 51 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sangat kejam, sebagaimana dikutip dari kompas.com (21/6/2021).


Setelah resmi diberhentikan, para pegawai KPK pecatan harus mencari pekerjaan baru lagi, yang tentunya menyita waktu dan tenaga, sementara anak dan istri harus tetap diberi nafkah.  Anak istri yang tak tahu apa-apa ikut terkena imbasnya, kehilangan sumber pendapatan keluarga.



Pemecatan 75 pegawai KPK melanggar HAM


Pembuktian pengamalan dan kesetiaan pada Pancasila sebetulnya tidak bisa hanya berpatokan pada beberapa lembar kertas tes yang berisi pertanyaan lisan ataupun tulisan, akan lebih mumpuni dan bernilai tinggi ketika sudah diejawantahkan dalam kehidupan, seperti yang telah ditunjukkan para pegawai KPK selama puluhan tahun mengabdi dengan menangkap para tikus-tikus koruptor yang menggerogoti lumbung negara, inilah perwujudan kesetiaan pada  yang sesungguhnya. Sebab bila hanya sekedar bukti hitam di atas putih, hal itu bisa saja direkayasa demi sebuah kepentingan. Jika hal itu yang terjadi, maka akibatnya saat betul-betul terjun ke lapangan, bukti kesetiaannya pada pancasila yang tadinya luar biasa dalam tes, ternyata amburadul, hingga kebablasan mengkorupsi duit negara.


Diperlukan pembuktian nyata tentang kesetiaan terhadap pancasila, bukan hanya sekedar lolos tes, hanya sayangnya mereka yang telah berhasil membuktikan keberaniannya menyelidiki pelanggaran pancasila di lapangan berupa perbuatan korupsi malah terjerat dalam kegagalan tes yang hanya berupa teori semata.


Mengapa 75 pegawai KPK harus dipecat padahal putusan MK telah menyatakan bahwa pegawai KPK tidak boleh dirugikan dengan adanya tes TWK?, Bukankah tes TWK hanyalah sebuah simbolitas peralihan pegawai KPK menjadi ASN, kalau hanya sebuah simbolitas mengapa harus ada pemecatan, bukankah hal ini merugikan sebab bertentangan dengan keputusan MK?, Apakah MK hanya dianggap macan ompong dari setiap keputusan-keputusan yang dibuatnya?


Isu radikalisme telah lama diembuskan pada KPK, yang menurut Analis media sosial dan digital Universitas Islam Indonesia (UII) Ismail Fahmi tepatnya di 7 September hingga 13 September 2019 oleh kelompok pendukung revisi UU KPK, demikian dikutip dari kompas.com (21/6/2021.


Hingga akhirnya berita ini menjadi blur, seakan-akan 75 pegawai KPK yang mengadu ke Komnas HAM dianggap salah sasaran karena mempermasalahkan soal tes TWK, padahal kasus dasar sesungguhnya bukan soal tes TWK, namun pelanggaran hak asasi menyuarakan hati dan pikiran memberantas korupsi dengan bekerja, hak itu dilanggar dengan pemecatan sepihak berdasar alasan gagal tes TWK, padahal tes TWK disisi lain hanya sebagai formalitas peralihan pegawai KPK menjadi ASN, apalagi diperkuat putusan MK yang melarang adanya kerugian pada pegawai KPK dengan adanya tes TWK ini, maka dengan adanya pemecatan, berarti merugikan pegawai yang bersangkutan, yang tentu saja melanggar hak asasi manusia.


Dikutip dari kompas.com (21/6/2021), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai proses TWK sebagai bentuk diskriminasi sistematik dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja serta hak-hak sipil pegawai KPK yang sejatinya dilindungi oleh undang-undang nasional dan hukum internasional.


Lima dasar hukum yang berpotensi dilanggar KPK karena tidak sejalan dengan prinsip HAM, yaitu:


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 terkait uji materi UU No. 19/2019 tentang KPK, yang menegaskan jika pengalihan status ASN “Tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.” 


Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak-hak pegawai KPK untuk mendapat perlakuan adil serta layak maupun hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. 


Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 yang mengatur bahwa diskriminasi pekerja atas dasar pemikiran dan keyakinan pribadi melanggar hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan. 


Pasal 2 dan 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) bahkan menjamin hak setiap orang atas kesempatan yang sama untuk dipromosikan, direkrut, dan diberhentikan tanpa adanya diskriminasi dan tanpa pertimbangan apa pun selain senioritas dan kemampuan. 




Yang patut menjafi catatan bersama, tes TWK untuk pegawai KPK tentunya berbeda jauh dengan tes CPNS yang menjaring calon pegawai negeri baru, sebab tes TWK sebagai sebuah formalitas dan prasyarat peralihan pegawai KPK menjadi ASN, yang pastilah seharusnya tidak seperti CPNS yang menjaring PNS baru, sebab tes TWK dilakukan terhadap pegawai lama yang sudah teruji dedikasinya. Sebab untuk apa sebuah tes jika hanya menjadi sebuah ajang pembunuhan karir yang telah cemerlang? 


Apalagi tes TWK sebagai syarat peralihan pegawai KPK menjadi ASN tertera dalam UU KPK terbaru, yang sebelumnya juga telah menuai kontroversi karena perumusannya tidak melibatkan KPK sehingga tidak disetujui pegawai KPK. Sebuah efek pemaksaan, hingga akhirnya diterima, menimbulkan efek domino, terus-menerus memicu hal berkelanjutan yang berawal dari keterpaksaan.


Dus, setelah ini, apalagi?


 

Comments