Tak Semua Pria Bule Sontoloyo

Illustrasi pria bule (pic: bp-guide.in)


Kenal  dengan bule, siapa sih yang tidak senang? Sudah ganteng, ramah pula. Tapi kenapa bisa kenal, hal itu yang sering dipertanyakan banyak orang



Cerita ini berawal dari perkenalanku dengan pria tampan warga negara asing (WNA)  Irlandia yang kukenal saat penerbanganku ke New Zealand. Bukan suatu hal kebetulan bila kami tiba-tiba berada pada penerbangan yang sama, sebab saat itu kami dipertemukan oleh sebuah agen travelling karena sama-sama doyan melancong.


Setelah jenuh dengan pekerjaan di belakang meja membantu orangtuaku menangani perusahaan, adalah hal melegakan bila bisa membuang kejenuhan dengan menikmati keindahan belahan dunia yang berbeda.


Entah mengapa hari itu kami bisa sama-sama memilih business class, sebab biasanya travelling langgananku menawarkan first class, atau bila sudah jenuh dengan kesendirian, maka economy class menjadi tawaran pelepas rasa bosan.


Lega bisa mengistirahatkan tengkuk yang telah pegal-pegal ketika aku merasa ada yang mengamatiku sedari tadi, kebetulan aku belum memasang penutup pembatas sebagaimana kebiasaanku agar tak terganggu privasiku. Saat aku mengarahkan pandanganku ke arah kanan tempat dudukku, senyuman manis pria Amerika itu mengembang dengan sempurna. 


Aku tak pernah serius menanggapi keramahan seorang pria, bagiku biasa saja tanpa ada rasa suka, sebab bisa saja seorang pria bersikap manis seperti itu karena ada sesuatu yang disimpan di dalam hatinya, ada niat terselubung, atau bisa juga memang benar-benar ramah. Apalagi ini pria ras kaukasoid, yang pastinya terbiasa dengan kehidupan bebas semaunya, tak seperti pria ras melanesoid atau mongoloid yang lebih teguh memegang adat dan tradisi.


Setelah membalas senyuman yang kurasa basa-basi itu, aku segera memasang tutup pembatas antara tempat dudukku dengan tempat duduknya. Hingga beberapa saat kemudian aku tenggelam dalam duniaku sendiri, mendengar musik sambil menulis sesuatu di smartphoneku.


Namun aku tak menyangka setelah tatapan mata yang singkat itu, dia terus berusaha berkenalan denganku, bahkan saat tiba di tempat-tempat pelepas kejenuhan, seperti saat bertemu suku Maori, ataupun saat terbang di atas pegunungan salju bersama helikopter, dia berusaha mendekati. Memang dia berhasil membuat kami berkenalan, tapi aku tetap menjaga jarak.


Tak disangka sikap acuh dan cuekku justru membuatnya makin menggila, sebaliknya aku makin menjauhinya, sebab dalam pandanganku pria bule itu gombal, playboy, penyuka kebebasan, dan tak setia. Namun semua anggapan itu musnah berkat kegigihannya, hingga kamipun menjadi sepasang kekasih dan sempat bertunangan cukup lama.


Entah kenapa aku memutuskan pertunangan itu, padahal telah berjalan dua tahun, yang pasti keteguhan kami memegang keyakinan agama masing-masing membuat kami memutuskan berpisah. Sebetulnya dia rela mengorbankan keyakinan agamanya untuk mengikuti keyakinan agamaku agar aku tak meutuskan cintanya, tapi aku justru yang menolaknya, sebab aku tak yakin dengan sebuah perpindahan keyakinan agama hanya karena mencintai seseorang, pastilah tak ada ketulusan murni pada Tuhan, aku tak mau ada permainan keyakinan hanya karena mengatasnamakan cinta.


Namun dari sekian waktu setelah memutuskan jalinan hubungan yang erat itu, ada beberapa kesimpulan yang mampu kupetik, diantaranya:


Tak semua pria bule sontoloyo


Pandanganku selama ini menjebakku pada pemikiran sempit bahwa pria bule pasti playboy dan penipu,ternyata tidak terbukti, entah para pria-pria bule lainnya, tapi mantan kekasihku ternyata tak seperti itu, jadi mungkin bila ada pria bule setia, mungkin dia adalah pria langka.


Komitmen menjaga kesucian


Sejak pertama mengenal hingga kemudian bertunangan, lalu putus, aku baru tahu bahwa ternyada ada pria bule yang mampu menjaga kesuciannya. Sebab bukan rahasia lagi bila kehidupan cinta di barat sangat bebas, namun berbeda dengan mantan tunanganku, mungkin keteguhan agamaku membuat dia mengambil langkah menghormati perbedaan.


Berpikiran terbuka


Satu hal yang menyenangkan saat menjalin hubungan dengan pria bule adalah pemikirannya yang terbuka dan tak berpandangan sempit, mereka sangat menghargai wanita, dan selalu enak diajak diskusi, tidak ada ngeyel atau gontok-gontokan seperti saat berhubungan dengan pria lokal, meskipun tak menutup kemungkinan ada juga pria lokal berpikiran terbuka.


Meningkatkan kepercayaan diri


Menjalin hubungan khusus dengan pria bule menambah tingkat kepercayaan diri, sebab dengan penerimaan pemikiran, ide baru yang dihargai, empati yang tinggi, bukan hanya sebuah hubungan saling mempercayai satu sama lain, tapi juga persahabatan erat yang terjalin.




Setelah pertunangan yang putus, tiba saatnya bagiku untuk introspeksi diri dan menikmati hari-hariku kembali, meski aku tahu pria Irlandia dengan pupil mata biru itu tetap menunggu dan mengharapkanku. Bahkan kudengar dia sudah berpindah keyakinan sama seperti keyakinanku, namun aku tetap tak bisa menerimanya dengan mudah, sebab dia harus lebih mengenal dan memahami keyakinan barunya dulu, sebab pindah keyakinan bukanlah semudah berganti baju.


Yang pasti, tak ada larangan memiliki kekasih bule, sebab hubungan beda negara makin menambah pengalaman budaya dan pengetahuan, tapi wajib memiliki persiapan mental yang super kuat untuk menghadapi perbedaan tradisi, norma-norma, bahkan bisa juga, keyakinan!


 

Comments