Ketika Hakim Djoko Adalah Hakim Pinangki Juga

Djoko Tjandra dan jaksa Pinangki (pic: beritapapua.id)


Berkembang sebuah spekulasi, jika Jaksa Pinangki divonis ringan, apalagi si pemberi suap yang pastinya akan mendapat keringanan yang serupa, dan ternyata memang terbukti, Djoko Tjandra mendapat vonis lebih ringan dari dugaan



Masih ingat kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari yang mengurus fatwa MA agar Djoko Candra tersangka kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman beberapa waktu lalu? 


Selain itu Djoko juga ingin menghilangkan namanya dari daftar red notice keimigrasian, dengan cara memberi suap kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte sejumlah 200.000 dollar Singapura dan 370.000 dollar Amerika Serikat, serta kepada mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo sebesar 100.000 dollar AS. Tujuannya adalah agar Napoleon dan Prasetijo membantu proses penghapusan namanya dari daftar pencarian orang (DPO) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.


Berdasar putusan MA Nomor 100 Tahun 2009, Djoko dinyatakan bersalah pada kasus pengalihan hak tagih Bank BalI sebab terbukti menghindari hukuman, menyuap sejumlah aparat penegak hukum dan melakukan pemufakatan jahat, sebagaimana dikutip dari kompas.com (29/7/2021).



Vonis dagelan Pinangki


Pinangki yang juga menjadi terdakwa dalam kasus di atas, terbukti melakukan tiga tindak pidana sekaligus, yaitu menerima suap, melakukan pencucian uang, dan melakukan pemufakatan jahat.  


Hingga saat vonis hukumannya dijatuhkan, yang semula 10 tahun penjara, ternyata dipangkas sangat minim menjadi 4 tahun penjara, membuat banyak pihak terperangah, yang pada titik kulminasinya dianggap dagelan politik.


Apalagi hukuman yang diterima Pinangki lebih ringan jika dibandingkan vonis  6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta terhadap Andi Irfan Jay yang sengaja memberi bantuan pada  Djoko dalam melakukan tindak pidana, sebagaimana dikutip dari kompas.com (6/7/2021).


Vonis terhadap Pinangki dianggap publik sebagai prediksi kelanjutan dari  amburadulnya KPK dengan tes wawasan kebangsaannya (TWK), yang kemudian terbukti pada vonis hakim yang diperoleh jaksa Pinangki.


Bahkan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkritisi KPK dalam kasus Djoko Tjandra hanya formalitas saja, sebab seharusnya menelisik pihak yang berada di balik Pinangki Sirna Malasari yang belum diusut oleh kejaksaan atau kepolisian.



Vonis Djoko setali tiga uang Pinangki


Hingga prediksi itu kembali berkembang dengan sebuah spekulasi, jika Jaksa Pinangki divonis ringan, apalagi si pemberi suap yang pastinya akan mendapat keringanan yang serupa, dan ternyata memang terbukti, Djoko Candra mendapat vonis lebih ringan dari dugaan, yang menimbulkan kekhawatiran publik bahwa di kemudian hari tidak akan ada efek jera bagi koruptor.


Dikutip dari kompas.com (29/7/2021) Upaya banding Djoko S Tjandra dikabulkan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuai Muhamad Yusuf memberi potongan hukuman, dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara. Muhamad Yusuf adalah juga majelis hakim yang memangkas hukuman Pinangki.


Alasan majelis hakim meringankan hukuman adalah karena Djoko telah menyerahkan dana dalam Escrow Account atas nama rekening Bank Bali qq PT Era Giat Prima milik Djoko senilai Rp 546 miliar kepada negara.


Pemotongan hukuman Djoko sudah diprediksi pada Juni 2021 oleh anggota Komisi III DPR Arsul Sani, yang  menyebut bahwa pengurangan hukuman terhadap jaksa Pinangki akan menjadi pintu masuk untuk meringankan vonis terhadap Djoko, apalagi jika majelis hakimnya sama, karena secara logika hukum, pejabat yang menerima suap harusnya memperoleh hukuman lebih berat daripada penyuapnya


Bahkan peneliti dari ICW Kurnia Ramadhana menilai Djoko Tjandra layak memperoleh vonis penjara seumur hidup dari kasus suap yang dilakukannya, meskipun regulasi hukum di Indonesia tak mengatur seperti itu, karena berdasar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pemberi suap hanya memperoleh hukuman maksimal lima tahun. 




Dus, tampaknya UU Tipikor memang perlu mengatur secara khusus mengenai pemberian suap kepada penegak hukum, agar tak makin terbukti bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas, sehingga keadilan lebih terasa bagi rakyat kecil.


Akankah Komisi Yudisial (KY) melakukan anotasi terhadap putusan pengadilan yang mengurangi hukuman Djoko Tjandra? Wait and see.


 

Comments