Bandang dan Longsor Sumatra 2025: Kegagalan Struktural, Ketahanan yang Rapuh, dan Infrastruktur Sosial yang Tersobek

Ilustrasi banjir dan longsor Sumatra (Pic: Grok)

Negara menerima peringatan tapi tidak siap. Daerah tahu risikonya tapi tidak tangguh. Ekosistem sudah rusak jauh sebelum hujan turun


Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra menyebabkan korban 659 tewas, 475 hilang, 538 ribu luka, dan lebih dari 1,6 juta jiwa terdampak. 


Bencana ini menguji kapasitas negara, ketangguhan masyarakat, serta efektivitas early warning system BMKG yang sudah diberikan delapan hari sebelumnya. 


Tulisan ini membedah mengapa peringatan tidak otomatis berubah menjadi kesiapsiagaan, mengapa aktor non-negara seperti FPI dapat masuk lebih cepat, dan bagaimana bencana ini menunjukkan kombinasi klasik: kerusakan ekologi, tata kelola buruk, dan respons lambat.



Pendahuluan


Bencana hidrometeorologi di Indonesia bukan peristiwa langka. Tapi skala kehancuran pada Desember 2025 menampar realitas yang sudah lama diketahui: pulau Sumatra memiliki tingkat kerentanan ekologis tinggi, sistem mitigasi yang compang-camping, dan birokrasi yang lamban saat dibenturkan dengan momentum krisis.


Sementara hujan ekstrem memicu bandang dan longsor, faktor non-alam seperti deforestasi, perkebunan sawit, sedimentasi sungai, dan pembangunan tanpa AMDAL memperparah semuanya. 


Ketika BMKG sudah memberikan early warning delapan hari sebelumnya, pertanyaannya bukan “kok bisa terjadi?” tapi “kenapa kita tetap kaget?”



Metodologi


Kajian ini memakai pendekatan:

1. Analisis kebijakan pada level pusat dan daerah.

2. Studi respons darurat termasuk TNI, BNPB, BPBD, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil.

3. Kajian ekologi bencana terkait kerusakan hutan dan pengelolaan DAS.

4. Analisis sosial-politik tentang aktor non-negara dalam penanganan darurat.



Kajian Teoritik


1. Early Warning Bukan Early Action


BMKG memberi peringatan 8 hari sebelumnya. Dalam teori manajemen bencana, ini seharusnya “golden window” untuk evakuasi, distribusi logistik, dan penguatan titik rawan.


Masalahnya:

• Pemerintah daerah minim anggaran dan koordinasi.

• Sistem komando darurat telat aktif.

• Jalur informasi putus di level desa.

• Masyarakat sudah terlalu sering dapat warning “biasa” sampai bingung kapan harus panik.


Peringatan tidak otomatis berubah jadi tindakan jika struktur yang menerima warning-nya bolong-bolong.



Kenapa FPI Masuk Lebih Cepat?


Suka atau tidak, organisasi seperti FPI memang punya model rapid mobilization berbasis jaringan lokal, relawan yang banyak, dan kultur lapangan yang responsif. Mereka tidak punya birokrasi berlapis. Mereka tinggal turun.


Apakah ini berarti pemerintah lambat?

Dalam banyak bencana, iya. Struktur formal bergerak dengan protokol, administrasi, dan hirarki komando. Dalam krisis jam-jaman, itu sering kalah cepat.


Ini bukan soal simpati politik. Ini soal mekanisme sosial: Organisasi berbasis komunitas selalu bergerak duluan dibanding negara.



Ekologi Sumatra: Kombinasi Sempurna untuk Bandang


Ini bagian yang paling bikin kita ngelus dada karena sering banget terjadi:

• Hutan gundul di ribuan hektar.

• Sungai menyempit karena sedimentasi dan limbah.

• Perkebunan sawit membuka lahan tanpa konservasi.

• Lereng gunung dipahat untuk permukiman.


Air yang turun tidak punya tempat lari selain ke kampung manusia. Longsor hanya tunggu momen.


Kematian seekor gajah sumatra yang terkubur lumpur bukan sekadar detail tragis, tapi indikator ekosistem yang runtuh.



Infrastruktur Negara: Gagah dalam Dokumen, Rapuh di Medan


Dalam teori administrasi publik, kegagalan respons bencana biasanya disebabkan oleh:

• Fragmentasi kelembagaan.

• Lemahnya rantai komando daerah.

• Minimnya pre-positioned logistic.

• Ketergantungan pada intervensi pusat.


Kalau sistemnya rapuh, bencana apa pun akan menghasilkan skenario serupa: negara datang setelah kerusakan selesai.



Siapa yang salah?


Kalau jawabannya hanya “cuaca”, itu pembohongan diri.


Yang salah adalah:

• Penggundulan hutan.

• Tata kelola daerah yang mengabaikan peringatan.

• Sistem mitigasi yang tidak diurus serius.

• Infrastruktur lama dan tidak adaptif.

• Kombinasi teknokrat lambat plus birokrasi yang ruwet.


Respons masyarakat sipil lebih cepat bukan berarti mereka paling siap, tapi negara paling lambat.



Konsekuensi Jangka Panjang


• 1,6 juta jiwa terdampak berarti trauma massal.

• Infrastruktur hancur berarti kemiskinan baru.

• Ekosistem rusak berarti Sumatra siap banjir lagi tahun depan jika pola ini terus.

• Kepercayaan publik pada negara makin menipis.


Bencana bukan cuma soal air, lumpur, dan rumah hanyut. Ini soal reputasi negara sebagai pelindung warganya.



Bandang dan longsor Sumatra 2025 bukan bencana alam murni. Ini bencana buatan manusia yang dipicu hujan.


Negara menerima peringatan tapi tidak siap.

Daerah tahu risikonya tapi tidak tangguh.

Ekosistem sudah rusak jauh sebelum hujan turun.


Kalau pola seperti ini terus, Indonesia bukan cuma menghadapi bencana, tapi siklus kepanikan yang tak pernah selesai.









REFERENSI


BMKG. (2025). Peringatan dini hujan ekstrem Sumatra 24 November–2 Desember 2025. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Republik Indonesia.


BNPB. (2025). Laporan situasi darurat bencana hidrometeorologi Sumatra: 1–5 Desember 2025. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.


Dinas Kehutanan Sumatra. (2024). Laporan kajian kerusakan hutan dan perubahan tutupan lahan Sumatra 2019–2024. Pemerintah Provinsi.


Global Forest Watch. (2023). Indonesia deforestation data 2001–2023. https://www.globalforestwatch.org


Humanitarian Data Exchange. (2025). Indonesia: Floods and landslides situation update, December 2025. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.


IFRC. (2024). Asia Pacific disaster response and preparedness report. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.


International Organization for Migration. (2025). Displacement tracking update: Sumatra floods/landslides December 2025. IOM Indonesia.


Kompas Research & Analytics. (2025, December 2). Korban banjir bandang dan longsor Sumatra melonjakKompas.


Mongabay Indonesia. (2024). Deforestasi, ekspansi sawit, dan risiko banjir di Sumatra. Mongabay.


Pusat Studi Kebencanaan UGM. (2023). Analisis risiko banjir bandang dan longsor di wilayah barat Indonesia. Universitas Gadjah Mada.


Republika. (2025, December 2). FPI terjun cepat bantu evakuasi korban banjir bandang SumatraRepublika.


Tempo. (2025, December 2). Banjir bandang Sumatra: Infrastruktur rusak, korban terus bertambahTempo.


UNEP. (2023). Environmental degradation and disaster vulnerability in Southeast Asia. United Nations Environment Programme.


UN OCHA. (2025). Indonesia: Flash update on Sumatra floods and landslides. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd