Eksekusi, Kepemilikan, dan Kerentanan Warisan: Sengketa Tanah Adat dan Penghancuran Tongkonan Ka’pun di Tana Toraja

Ilustrasi penghancuran bangunan adat (Pic; Grok)

Kasus ini menuntut rekalibrasi kebijakan—menggabungkan perlindungan budaya, hukum adat, dan due process administratif 

 

Perusakan bangunan adat Tongkonan Ka’pun (diperkirakan ~300 tahun) saat eksekusi pengadilan pada 5 Desember 2025 menandai kegagalan multi-level tata kelola hukum, perlindungan cagar budaya, dan mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat di Indonesia. 


Artikel ini menelaah dinamika historis sengketa (dimulai dengan litigasi yang bertingkat sejak dekade 1980-an dan 2019), proses hukum yang mengarah pada eksekusi, dan implikasi kultural-politik dari penghancuran material warisan leluhur. 


Menggunakan metode studi kasus kualitatif, analisis putusan pengadilan dan laporan lapangan, serta wawancara sekunder dengan pihak keluarga dan aktivis lokal, penelitian menyimpulkan bahwa prosedur eksekusi bersifat problematik—mencampurkan kepentingan legal-formal dengan pengabaian nilai historis dan sosial budaya—serta memerlukan reformasi perlindungan situs budaya dan mekanisme mediasi adat-formal. 


Rekomendasi mencakup moratorium eksekusi untuk objek budaya, audit putusan, penguatan registrasi cagar budaya, serta mekanisme rekonsiliasi lokal. 



Pendahuluan


Latar: Tongkonan bukan sekadar bangunan: ia adalah simbol kekerabatan, hak waris, pusat ritual, dan “arsip” memori kolektif Toraja. Kehancuran satu tongkonan berarti pemusnahan fragmen identitas sosial.  


Kasus Ka’pun berakar pada konflik kepemilikan tanah yang berlarut—dokumen mengindikasikan sengketa litis yang sudah lama (perkara perdata sejak 2019, dengan akar klaim historis yang merujuk pada putusan MA dan sengketa yang punya preseden sejak 1982 dalam konteks tanah adat Toraja). 


Sengketa tanah adat di Toraja khasnya kompleks karena tumpang-tindih antara hak adat, bukti dokumen modern, dan kepentingan pihak luar.  



Kerangka Teoretik


Heritage studies (value theory, autopoiesis budaya),

Legal pluralism (interaksi hukum negara dan hukum adat),

Post-colonial property theory (bagaimana negara modern menyelesaikan konflik atas tanah adat),

Human rights & cultural rights (UNESCO conventions; perlindungan warisan budaya).



Metodologi


Studi kasus kualitatif: triangulasi sumber—dokumen pengadilan (surat PN Makale No. W22-U10/1080/HPDT/12/2025), liputan media lapangan (Detik, iNews, IDN Times, Harian Fajar, sumber lokal), opini tokoh adat, dan literature sekunder tentang sengketa tanah adat Toraja (tesis & artikel hukum).  


Analisis wacana terhadap framing media dan penalaran hukum dalam amar putusan (apabila amar tersedia); analisis etnografi sekunder atas nilai simbolik tongkonan.



Sejarah Kasus & Kronologi


1. Akar sengketa: klaim-klaim kepemilikan lahan antar-rombongan keluarga tongkonan, tercatat dalam berbagai perkara perdata (beberapa dokumentasi mengindikasikan persidangan berjenjang sejak 1980-an hingga putusan Mahkamah Agung yang membentuk preseden),—mewakili pola sengketa tanah adat Toraja yang sering berakar jauh secara genealogis.  


2. Perkara modern: gugatan perdata yang tercatat sejak 2019 (perkara No. 184/Pdt.G…), upaya banding, kasasi, hingga amar eksekusi PN Makale (desember 2025). Beberapa pihak menuding ada kekeliruan objek eksekusi yang dikerjakan (error in objecto).  


3. Eksekusi 4–5 Desember 2025: penghadangan warga, pengerahan aparat gabungan, penggunaan gas air mata, penangkapan/detensi sementara, dan pembongkaran/penyingkiran tongkonan serta bangunan terkait — secara fisik menghancurkan sampai rata dengan tanah.  



Temuan Kunci (analisis)


1. Prosedural hukum vs objek simbolik


Putusan eksekusi, walau legal secara formil, tampak tidak mempertimbangkan nilai budaya yang melekat pada objek (dokumentasi menunjukkan klaim bahwa beberapa objek tak termasuk dalam amar putusan → potensi error in objecto). 


Ini menunjukkan adanya kesenjangan epistemik antara bahasa hukum formal (objek/novumen) dan bahasa adat (leluhur/warisan).  


2. Militarisasi eksekusi


Penggunaan ratusan aparat (Polri, Brimob, TNI, Satpol PP) untuk mengeksekusi lahan sipil adat memunculkan isu penggunaan kekuatan negara terhadap komunitas adat—menghambat proses rekonsiliasi dan memicu trauma kolektif.  


3. Kerentanan warisan budaya


Bangunan berusia ratusan tahun tidak mendapat prioritas perlindungan dalam proses eksekusi meski potensial sebagai cagar budaya—indikator lemahnya mekanisme registrasi/penetapan cagar budaya setempat dan kurangnya intervensi instansi konservasi kebudayaan.  


4. Krisis legitimasi peradilan lokal


Tuduhan bahwa eksekusi mencakup objek yang tidak tercantum dalam amar menimbulkan pertanyaan integritas administratif pengadilan/rangka kerja juru sita. 


Tuntutan audit administratif dan moratorium eksekusi untuk objek budaya muncul sebagai tuntutan komunitas.  



Makna Politik Budaya & Implikasi Hukum


Legal pluralism problem


Hukum negara cenderung melihat objek sebagai aset yang bisa dieksekusi; hukum adat melihat tongkonan sebagai entitas moral-sosiokultural tak terpisah dari identitas. 


Ketika negara tak mengakui sepenuhnya nilai ini, terjadi benturan hak dan kehilangan tak tergantikan. (Lihat teori hukum adat & studi Toraja).  


Perlindungan cagar budaya yang lemah


Jika objek bernilai kultural tak terdaftar/terlindungi formal, ia rentan dieksekusi bahkan ketika masyarakat menuntut perlindungan. 


Perlunya kebijakan nasional/regional untuk moratorium eksekusi terhadap objek berpotensi cagar budaya sampai statusnya diverifikasi.


Politik eksekusi & legitimasi negara


Mengerahkan aparat besar untuk urusan sengketa lahan adat memperlihatkan prioritas aparatur negara yang lebih pada penegakan putusan formal ketimbang pendekatan restoratif yang mempertimbangkan aspek budaya. Akibatnya, kepercayaan publik menurun.



Rekomendasi Kebijakan


1. Moratorium sementara terhadap eksekusi objek yang berpotensi sebagai cagar budaya sampai verifikasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek)/badan budaya daerah.


2. Audit administratif putusan eksekusi (periksa apakah eksekusi sesuai amar dan prosedur verifikasi objek). Jika ditemukan error in objecto, segera hentikan langkah dan lakukan restitusi.  


3. Pendaftaran proaktif situs budaya lokal: Program inventarisasi tongkonan bersejarah, prioritas perlindungan hukum, dan dana konservasi lokal.


4. Prosedur prioritas mediasi adat-formal sebelum upaya eksekusi; integrasikan peran hakim adat/penyelesaian adat dalam jalur formal.


5. Pendekatan rekonsiliasi pasca-eksekusi: kompensasi budaya, dokumentasi, dan program restorasi (jika memungkinkan).



Eksekusi Tongkonan Ka’pun memperlihatkan problem struktural: sistem hukum formal yang bekerja secara teknis bisa menghancurkan warisan budaya yang tak ternilai. 


Kasus ini menuntut rekalibrasi kebijakan—menggabungkan perlindungan budaya, hukum adat, dan due process administratif sehingga tidak ada lagi tongkonan yang “diratakan” atas nama putusan yang mungkin cacat.








Referensi 

1. Detik Sulsel. (2025, 5 Desember). Eksekusi Tongkonan Ka’pun di Tana Toraja ricuh, 2 orang diamankan. Detik.  

2. iNews Sulsel. (2025, 6 Desember). Eksekusi rumah adat Tongkonan di Tana Toraja ricuh, belasan orang luka. iNews.  

3. IDN Times (Sulsel). (2025, 7 Desember). Eksekusi Tongkonan Ka’pun berusia 300 tahun di Toraja ricuh; belasan orang luka. IDN Times.  

4. Harian Fajar. (2025, 7 Desember). Salah Sasaran Hukum: Eksekusi Tongkonan Ka’pun Dinilai Langgar Putusan Pengadilan. Harian Fajar.  

5. Kareba Toraja. (2025, 5–7 Desember). Memprihatinkan, eksekusi rumah adat berusia 300 tahun di Tana Toraja / peliputan lapangan. Kareba-Toraja.com.  

6. Putusan Mahkamah Agung RI & arsip perkara pertanahan Toraja (referensi dokumen hukum historis). (lihat direktori putusan MA untuk nomor perkara relevan).  

7. Literasi akademik: Saad, S. (1997). Kasus tanah tongkonan di kabupaten dati II Tana Toraja (artikel). (untuk konteks historis sengketa tanah adat).  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd