Krisis Ekologis Kalimantan: Analisis Deforestasi, Ekspansi Sawit, Pertambangan, dan Mitigasi Risiko Banjir Besar
![]() |
| Ilustrasi krisis ekologis (Pic: Grok) |
Langkah-langkah mitigasi berbasis sains dan kebijakan yang tegas merupakan syarat mutlak agar banjir besar tidak menjadi bencana tahunan
Kalimantan merupakan salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, namun saat ini berada dalam tekanan berat akibat deforestasi masif, perluasan perkebunan kelapa sawit, dan kegiatan pertambangan.
Kombinasi tekanan ekologis tersebut menyebabkan penurunan daya dukung lahan dan meningkatkan risiko banjir ekstrem.
Tulisan ini mengkaji hubungan antara perubahan tutupan hutan, degradasi tanah, dan frekuensi banjir, serta menawarkan strategi ilmiah untuk mitigasi dan pemulihan lanskap Kalimantan.
Pendahuluan
Kalimantan dikenal sebagai “paru-paru dunia”, namun tingkat kehilangan hutannya mencapai level kritis sejak tiga dekade terakhir.
Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan batubara telah memicu fragmentasi habitat, perubahan hidrologi, dan kerentanan sosial-ekologis terhadap banjir besar.
Kejadian banjir di Kalimantan Selatan pada 2021 menjadi penanda bahwa perubahan struktural di lanskap telah melampaui kapasitas sistem alami untuk mengatur air.
Metodologi
Kajian ini menggunakan:
1. Analisis literatur terkait ekologi hutan hujan, hidrologi DAS, dan dampak industri ekstraktif.
2. Data citra satelit land cover change untuk menjelaskan pola deforestasi.
3. Studi kasus banjir besar dan hubungan dengan intensitas curah hujan serta penurunan kapasitas resapan.
4. Model konseptual keterkaitan antara penggunaan lahan, infiltrasi, dan limpasan permukaan.
Kajian Teoritik
1. Deforestasi dan Kerusakan Hidrologi
Hutan tropis Kalimantan memiliki struktur akar yang mampu menyerap, menyimpan, dan melepaskan air secara lambat.
Ketika hutan ditebang, kapasitas infiltrasi tanah menurun drastis, menyebabkan air hujan mengalir cepat sebagai limpasan.
Deforestasi juga meningkatkan erosi tanah dan pendangkalan sungai, yang memperburuk banjir.
2. Perkebunan Sawit dan Gangguan Ekosistem
Ekspansi sawit menggantikan hutan primer dengan monokultur. Vegetasi sawit memiliki kemampuan resapan air yang jauh lebih rendah, menyebabkan ketidakseimbangan hidrologi.
Selain itu, pembukaan lahan melalui clear-cutting dan drainase gambut mempercepat degradasi lahan serta emisi karbon.
3. Pertambangan Batubara dan Ketidakstabilan Lahan
Kalimantan merupakan pusat produksi batubara nasional. Aktivitas tambang terbuka menghilangkan struktur tanah, menciptakan cekungan air, mengubah aliran sungai, dan memicu longsor.
Limbah tambang juga mempengaruhi kualitas air dan memperburuk kemampuan sungai menahan debit tinggi.
4. Pola Banjir Baru di Kalimantan
Kombinasi hilangnya hutan, perubahan struktur DAS, dan curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim menciptakan pola banjir yang lebih parah, lebih cepat, dan lebih meluas.
Banjir tidak lagi hanya terjadi di hilir, tetapi juga di wilayah hulu yang terdampak deforestasi.
Strategi Mitigasi dan Intervensi Kebijakan
1. Reforestasi Berbasis Jenis Lokal
Pemulihan hutan dengan spesies endemik meningkatkan kemampuan retensi air dan mempercepat pemulihan ekosistem.
Reforestasi harus berbasis biofisik DAS, bukan sekadar penanaman simbolis.
2. Pembatasan Ekspansi Sawit
Moratorium sawit perlu diperketat dengan audit transparan atas izin yang bermasalah.
Diversifikasi ekonomi lokal dapat mengurangi tekanan terhadap ekspansi lahan.
3. Reklamasi Tambang yang Dipimpin Ahli Geologi
Reklamasi harus mengikuti standar konservasi tanah dan air, termasuk pemadatan kembali lapisan tanah, penataan aliran permukaan, dan penanaman vegetasi penahan erosi.
4. Infrastruktur Hijau untuk Mitigasi Banjir
Restorasi rawa, rehabilitasi gambut, dan penguatan hutan riparian membantu menyerap air secara alami dan mengurangi kecepatan aliran deras.
5. Kolaborasi Pengetahuan Lokal dan Sains Modern
Masyarakat adat Dayak memiliki praktik pengelolaan lahan yang lebih berkelanjutan.
Integrasi kearifan lokal dengan teknologi hidrologi modern dapat menciptakan model adaptasi yang lebih efektif.
Krisis ekologis di Kalimantan bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi krisis keberlanjutan jangka panjang yang memengaruhi ekonomi, kesehatan, dan masa depan manusia.
Menyelamatkan Kalimantan berarti memulihkan struktur ekologisnya dan mengembalikan fungsinya sebagai penyangga hidrologis utama.
Langkah-langkah mitigasi berbasis sains dan kebijakan yang tegas merupakan syarat mutlak agar banjir besar tidak menjadi bencana tahunan yang tak terhindarkan.
Referensi
Smith, C., et al. (2023). Tropical deforestation causes large reductions in observed precipitation downwind of forest loss. Nature Communications.
Ishiwatari, M., & Sasaki, A. (2025). Natural flood risk management in tropical Southeast Asia: a review.WIREs Water.
Naciri, W., et al. (2023). Massive corals record deforestation in Malaysian Borneo: downstream effects on sedimentation and coastal systems. Biogeosciences.
Matthews, S. / (or appropriate authors). (2020). Compounding impacts of deforestation on Borneo’s climate during El Niño events.
Kumagai, H., & Porporato, A. (2024). Temperature and precipitation extremes over Borneo Island: observed shifts and links to land cover change. International Journal of Climatology.
Sun, Q., et al. (2025). Integrating climate change and land use change into storm surge and flood quantification frameworks for coastal/riverine cities. Science of the Total Environment (or similar).
Ardiansyah, M., et al. (2021). Impact of land use and climate changes on flood inundation projections in Indonesian watersheds. Journal of Soil & Water (IPB/Indonesia).
Dampak Eksplorasi Sumber Daya Alam Terhadap Keberlanjutan Ekosistem Hutan Tropis di Kalimantan — Loso Judijanto & Saputra Adiwijaya (2023).
Studi Kajian Dampak Perubahan Tutupan Lahan terhadap Kejadian Banjir di Daerah Aliran Sungai — Muhammad Ridwan & Joko Sarjito (2024)

Komentar
Posting Komentar